Kritik Walhi Jawa Barat pada Debat Soal Lingkungan oleh Cawapres Pilpres 2024
Debat tiga Calon Wakil Presiden (Cawapres) Pilpres 2024 tidak menyentuh substansi krisis lingkungan di Indonesia. Masih penuh gimik.
Penulis Awla Rajul24 Januari 2024
BandungBergerak.id - Tiga Calon Wakil Presiden (Cawapres) Pilpres 2024 baru saja menjalani debat bertema “Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup, Energi dan Sumber Daya Alam, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa”. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat menilai debat para Cawapres masih sebatas gimik (trik), tak ada komitmen serius mengatasi kerusakan lingkungan khususnya krisis ekologis yang terjadi di Jawa Barat.
Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, Inas mengungkapkan, persoalan lingkungan akan berdampak banyak di Jawa Barat sebab menjadi lokasi tujuan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Dalam catatan Walhi, Jawa Bara menjadi salah satu primadona untuk PSN. Beberapa proyek infrastruktur di sektor energi seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), hingga yang baru ditandatangani adalah Pembangkit Tenaga Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPA Legok Nangka yang akan beroperasi pada 2028 mendatang.
“Berani tidak para paslon ini menghentikan PSN yang sudah ada? Kenapa begitu catatan kami, karena kalau itu tidak berani diberhentikan, siapa pun yang nanti jadi Presiden, maka problem lingkungan hidup di Jawa Barat tidak akan menjadi janji-janji yang bagus buat ekologis (sebab) berdampak untuk Jawa Barat,” ungkap Inas pada Konferensi Pers Walhi Jabar bertajuk "Apakah Penyampaian Visi dan Misi Cawapres 2024 Menjadi Jawaban dari Problem Ekologi Kita?" di Sekretariat Walhi Jawa Barat, Senin, 22 Januari 2024.
Inas menegaskan, ketiga paslon cawapres sudah menyebut bahwa perubahan iklim yang demikian nyata dirasakan. Tapi jika tidak ada upaya untuk menutup segera PLTU, maka penyebab perubahan iklim di hulu masih terus terjadi.
Dari sektor kebijakan, kata Inas, apa yang disampaikan para paslon hanyalah gimmick belaka, ketiga Cawapres tidak membicarakan upaya memberhentikan tambang atau penutupan izin. Tambang merupakan sektor yang memberi pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi. Sayangnya, ketiga cawapres dinilai tidak berani, karena tidak ada yang menawarkan penawaran alternatif menggantikan sektor tambang untuk pendapatan nasional maupun daerah.
Inas juga menyebut, selama berjalannya debat, ketiga cawapres abai terkait sisi lain dari isu ekologi. Misalnya, dalam debat banyak disampaikan soal keberpihakan pada UMKM. Inas mengaku bahwa Walhi tengah mendampingi UMKM yang akan terdampak pertambangan di Sukabumi. Ketika pertambangan ini beroperasi, UMKM ini akan merasakan dampak karena mereka sangat bergantung terhadap sumber mata air di dekat lokasi pertambangan tersebut.
Baca Juga: Orang Muda Berkoalisi Menuntut Keadilan Ekologis di Jawa Barat, Soroti Penanganan Sampah Hingga Proyek Strategis Nasional
Bandara Kertajati masih Dihinggapi Sepi, Warga Berharap ada Banyak Moda Transportasi
Menengok Warga Terdampak Pembangunan Kereta Cepat di Purwakarta
Tak Ada Komitmen Serius
Inas juga menyampaikan catatan kritisnya terkait Energi Baru Terbarukan (EBT) yang didefinisikan oleh ketiga cawapres salah satunya panas bumi (geothermal), pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Berdasarkan data dari ESDM Jawa Barat, terdapat 39 titik panas bumi di Jawa Barat yang merupakan 20 persen yang ada di Indonesia.
Jawa Barat akan menghadapi persoalan ekologis tambahan, di samping tambang ketika geothermal menjadi solusi untuk transisi energi. Dalam pembacaan Walhi, geothermal kerap ditemukan di hutan lindung dan hutan konservasi. Transisi energi yang mengarah pada geothermal akan mengancam hutan lindung, hutan konservasi, dan pembalakan hutan untuk sumur geothermal.
“Hutan lindung kita di Jawa Barat semakin berkurang, wilayah hutan konservasi juga tidak bertambah-tambah, tetapi ketika ada geothermal status hutan konservasi dan hutan lindung itu akan diturunkan, dalam artian karena akan dieksploitasi,” kata Inas. “Ketika itu berkurang akan berakibat bencana ekologis.”
Jawa Barat akan menghadapi bencana ekologis pada musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau memanen kekeringan, musim hujan menuai banjir dan longsor. Persoalan ekologis ini juga akan berpengaruh pada ketahanan pangan karena sektor pertanian sangat bergantung pada iklim dan ketersediaan air.
Inas menyimpulkan, ketiga cawapres ini tak akan berani mengubah kebijakan. Keberpihakan para cawapres pada lingkungan perlu ditunjukkan dengan langkah konkret mengubah kebijakan yang berdampak buruk bagi lingkungan. Beberapa kebijakan tersebut seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, hingga UU ITE.
“Mau tidak membubarkan UU Cipta Kerja, UU Minerba. Kalau mau itu akan berkontribusi terhadap lingkungan. Tapi kalau itu tidak dikoreksi bahkan dihilangkan, itu sama saja, hanya gimmick saja apa yang disampaikan para pasangan calon,” ungkap Inas.
Klistjart Tharisa, Manajer Pendidikan dan Kaderisasi Walhi Jabar berpendapat, ketiga cawapres dalam debat terus menyebutkan persoalan iklim yang buruk. Tetapi keseriusan ketiga cawapres masin minim. Ketiga cawapres belum memiliki gagasan yang menunjukkan komitmen serius pada persoalan lingkungan.
Misalnya pada persoalan ekonomi sirkular, khususnya penjelasan program daur ulang yang belum komprehensif. Persoalan daur ulang perlu dijelaskan lebih jauh karena akan menimbulkan polusi dan emisi. Makanya ia berharap, penjelasan mengenai sektor ini perlu lebih detail. Sistem daur ulang sangat erat kaitannya dengan sistem produksi, distribusi, dan tata kelola persampahan yang ada.
“Kalau catatan tadi malam pada sektor persampahan dan pengelolaannya masih sangat amat sedikit yang tersentuh. Padahal isu sampah ini sangat erat kaitannya dengan aktivitas dan kegiatan sehari-hari. Dampaknya juga sangat dirasakan terhadap krisis iklim yang juga berkaitan dengan kondisi kesehatan masyarakat,” terang Klistjart.
Klistjat berpendapat, ketiga cawapres masih minim gagasan, belum ada target yang ambisius dan isu persampahan masih dipandang sebagai isu yang tidak penting. Padahal kondisi kedaruratan sampah sudah terjadi beberapa kali di kota-kota Indonesia, misalnya di Bandung Raya. Klistjar menyimpulkan, masih banyak pekerjaan rumah pemerintah dan paslon capres terkait isu persampahan.
“Yang jadi catatan adalah isu persampahan ini masih dilihat sebagai isu yang tidak penting, isu yang tidak prioritas padahal kita sedang di dalam kondisi kedaruratan,” ungkap Klistjart.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Proyek Strategis Nasional