Menengok Warga Terdampak Pembangunan Kereta Cepat di Purwakarta
Kereta cepat Whoosh sudah hilir mudik Jakarta Bandung. Sejumlah warga di Purwakarta masih merasakan dampak buruk pembangunan proyek strategis nasional ini.
Penulis Iman Herdiana8 Desember 2023
BandungBergerak.id - Warga Desa Sinarmanah, Purwakarta, yang sawahnya tertimbun urukan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung yang kini bernama Whoose, mengeluh kepada Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum. Mereka mengeluhkan dampak dan kerugian yang disebabkan proyek strategis nasional tersebut.
Warga mengadu bahwa urukan proyek kereta cepat tak hanya menutupi persawahan seluas kurang lebih 6 hektare di blok 8 Parakanleuwi, tapi juga menutupi aliran irigasi sawah.
Sakah seorang warga, Atini mengatakan dirinya sudah tiga kali melakukan pertemuan dengan pihak pengembang tetapi waktu itu belum menerima kompensasi.
“Saya minta dibayar per meter 1 juta (rupiah). Tapi KCIC memintanya 50 ribu rupiah per meternya. Kami nggak kasih, tapi proyek malah (terus) berjalan. Kalau nggak dibayar, ya, kami rugi karena dari sini (sawah) sumber penghasilan saya dan (sekarang) saya nggak punya gaji (pemasukan),” ujar Atini.
Keluhan warga terdampak kereta cepat tersebut dimuat di laman resmi bappeda.jabarprov.go.id dengan tanggal tayang 19 Februari 2020.
Warga Sinarmanah lainnya, Iwan, juga mengaku sawah miliknya tertimbun tanah galian proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan belum menerima pembayaran ganti rugi. “Kami tidak mau di sewa, area persawahan sudah seperti ini sudah tidak bisa ditanami padi, apalagi irigasi yang biasa mengairi persawahan di sini sudah tertimbun,” kata Iwan.
Mendapat keluhan dari warga, Uu Ruzhanul Ulum mengatakan, pihaknya berencana mengundang warga dan pihak terkait, termasuk PT KCIC, duduk bersama di kantor kelurahan setempat untuk mencari solusi untuk memenuhi harapan dari kedua belah pihak alias win-win solution.
Selain itu, Uu juga mengingatkan warga bahwa proyek kereta cepat ini merupakan proyek strategis pemerintah pusat untuk meningkatkan aksesibilitas wilayah, khususnya Jabar, sekaligus bertujuan mengembangkan kota-kota baru.
“KCIC program pemerintah, yang manfaatnya sendiri adalah untuk masyarakat, maka harus saling memahami, harus ada rasa memiliki terhadap kereta cepat ini nantinya,” tutur Uu, yang didampingi Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika, saat menemui warga Desa Sirnamanah, Kecamatan Darangdan, Kabupaten Purwakarta.
Kondisi Sekarang
Rabu, 16 Agustus 2023 lalu, BandungBergerak.id menelusuri dampak pembangunan kereta cepat di desa yang masuk wilayah Kabupaten Purwakarta tersebut. Sejumlah warga mengaku mengalami dampak merugikan dengan adanya proyek kereta cepat.
Di pinggiran barat Desa Sempur, Kecamatan Plered, terdapat lahan sawah seluas empat hektare milik 13 warga yang disewa pengelola proyek kereta cepat sejak 2017. Bukan untuk pembangunan infrastruktur, melainkan pembuangan tanah disposal atau berangkal sisa proyek. Harga sewa 50 ribu rupiah per meternya.
Inah, 53 tahun, salah satu warga yang menyewakan sawahnya. Tanah subur berubah menjadi tumpukan beton yang tandus. Tak lagi bisa menanam dan memanen padi, Inah dan keluarganya menyambung hidup dengan meneruskan usaha warung di rumah.
Selama proses pembuangan berangkal itu berlangsung, perusahaan memasang lampu berdaya 100 Watt di depan rumah Idong (61 rahun), suami Inah, untuk menerangi mereka yang bekerja pada malam hari. Malangnya, tagihan listrik tidak pernah dibayarkan. Idong lantas menyimpan lampu itu di warungnya sebagai semacam jaminan.
“Cenah sa sasih sakali bade mayar, epek teh teu aya (Katanya satu bulan sekali akan dibayar, tapi ternyata tidak ada),” kata Inah sambil tersenyum getir.
Tak hanya itu, Sungai Cikuda yang menjadi pembatas antara Desa Sempur dengan Desa Depok, tertimbun material pembangunan kereta cepat. Padahal air sungai ini menjadi andalan warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Setelah sungai tertimbun, kebutuhan air 16 keluarga beralih ke sumber air di Gunung Cilamega yang debit airrnya lebih sedikit. Mereka harrus membeli selang sepanjang 300 meter agar bisa menampung air di rumah masing-masing.
“Punya uang, ya beli (selang). Kalau enggak, ya enggak,” kata Esih, 38 tahun, anak pertama Inah.
Warga sudah meminta agar beton yang menutupi aliran sungai dibuka. Pegawai yang saat itu bekerja menolak dan mengatakan pengangkatan beton akan dilakukan setelah proyek selesai. Namun nyatanya setelah proyek selesai, Sungai Cikuda masih tertimbun sampai hari ini.
“Perjanjian cenah air bakal ngalir. Perjanjian na teh jang ibak, bade pangadameulkan bak di ditu, ga ada. Eta disalurkeun deui sungai, ga ada. Jadi ruksak weh,” (Perjanjian katanya air akan mengalir (seperti semula). Perjanjiannya akan ada untuk mandi, akan dibuatkan bak di sana. Realitanya tidak ada. Itu mau disalurkan lagi sungai, tidak ada),” tutur Manap, 61 tahun, yang sudah 25 tahun menjadi Ketua RT 16 Kampung Pasir Salam.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat yang membuka posko pengaduan dampak proyek KCJB sejak Desember 2019 hingga Januari 2021 membeberkan, sebanyak delapan kasus dilaporkan warga, mulai dari kerusakan bangunan rumah, pembuangan disposal, pencemaran limbah, lenyapnya mata air, hingga bencana banjir. Lokasi kasusnya beragam, mulai dari Purwakarta hingga Gedebage.
Kasus pembuangan disposal yang dilaporkan ke Walhi Jabar terjadi di Desa Depok, tetangga Desa Sempur. Warga meminta pengelola kereta cepat untuk membeli bekas sawah yang sudah tidak produktif lagi karena tertimbun beton, tetapi ditolak. Yang dilakukan pengelola sebatas membenahi saluran air ke sawah yang tertimbun berangkal.
General Manager Corporate Secretary Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Eva Chairunisa tidak juga memberikan tanggapan. Manager Corporate Communitation KCIC Emir Monti menyebut bahwa perusahaan terbuka untuk berkomunikasi dengan warga.
“Berbagai aduan masyarakat, berbagai informasi yang kami terima akan kami cek untuk kami pastikan koordinasi lebih lanjut dengan masyarakat tersebut,” ucap Eva, ketika ditemui di Stasiun Padalarang pada Sabtu, 9 September 2023.
Pembangunan Infrastruktur Harus Mempertimbangkan Pembangunan Berkelanjutan
Proyek pembangunan kereta cepat Jakarta Bandung tidak terlepas dari kontroversi. Walhi Jabar menilai pembangunan kereta cepat kurang memperhatikan aspek tata kelola dan perlindungan lingkungan hidup serta landasan mengenai kajian Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Anastasia Dwi Wulansari dalam jurnal ilmiah berjudul Dampak Pembangunan Infrastruktur Kereta Cepat Jakarta Bandung mengatakan, pembangunan infrastruktur harus mempertimbangkan pembangunan berkelanjutan dan melaksanakan instrumen pencegahan terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan pada daerah yang menjadi tempat pembangunan infrastruktur tersebut.
Adapun proses pembangunan berkelanjutan yang bertumpu pada tiga faktor, yaitu kondisi sumber daya alam, kualitas lingkungan, dan faktor kependudukan. Pertimbangan mengenai aspek lingkungan diatur pada Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pembangunan jalur kereta cepat tersebut tentu sudah seharusnya menjadi tanggung jawab pihak yang terlibat di dalamnya. Namun PT KCIC maupun pemerintah tidak mengambil tindakan untuk menyelesaikan persoalan tersebut,” tulis Anastasia, penulis dari Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta.
*Artikel ini mendapatkan data lapangan dari jurnalis BandungBergerak.id Virliya Putricantika