PELAJAR BERSUARA: Andaikan Kampus Setuju Menerima Konsesi Tambang
Kebebasan akademik di perguruan tinggi adalah nilai-nilai yang pertama kali akan dikebiri bila kampus menerima konsesi tambang.

Adli Firlian Ilmi
Koordinator Departement Sosial-Humaniora Karya Ilmia Remaja (KIR) SMA Negeri 3 Kota Bogor
20 Februari 2025
BandungBergerak.id – Tambang Sumber daya tak-terbarukan yang saat ini sedang digandrungi oleh para elite. Mereka sedang sibuk mencari cara untuk mengambil bagian konsesi percuma atas pengelolaan tambang. Impian elite itu tercapai tahap demi tahap, dengan tahap pertama pada tahun 2024, dengan pemerintah membuat hadiah istimewa atas kontribusinya pada Pilpres 2019 dan daya tawar politik tahun 2024 bagi elite-elite tersebut dengan memberikan konsesi izin usaha pertambangan untuk organisasi massa (ormas) agama. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah dua ormas yang menerima konsesi tambang dari pemerintah. Elite di kedua ormas agama tersebut mengabaikan aspirasi publik serta aspirasi di internal organisasinya masing-masing yang meminta ormas agama menolak tawaran konsesi tambang tersebut.
Kejutan terus berlanjut. Pada 23 Januari 2025, elite politik di DPR menetapkan revisi Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) sebagai menjadi usul inisiatif DPR RI. Salah satu usulan DPR dalam RUU itu adalah pemberian izin tambang pada perguruan tinggi (belakangan pasal ini tidak disepakati).
Publik, sebagai pembayar gaji DPR, bingung dengan keputusan dewan yang katanya mewakili rakyat itu. Keputusan yang sangat sepihak dan sama sekali tidak mewakili keresahan publik. Keputusan itu sangat cepat di umumkan dan dibahas, minus transparansi kepada publik. Sebagai pemegang kekuasaan terbesar, supremasi sipil, publik layak bertanya-tanya mengapa begitu singkat dan tanpa pertimbangan matang? Ada agenda kepentingan terselubung apa sehingga pembahasan revisi UU Minerba dibuat rahasia dari pantauan dan partisipasi aktif masyarakat?
Baca Juga: PELAJAR BERSUARA: Pemerataan sebagai Jalan Terbuka untuk Kemajuan Pendidikan Indonesia
PELAJAR BERSUARA: Bahaya Perundungan dalam Dunia Pendidikan
PELAJAR BERSUARA: Mendefinisikan Ulang Dinamika Tatanan Dunia
Meragukan Komitmen Pemerintah pada Ekologi
Usulan pemberian konsesi tambang ke perguruan tinggi menambah dalam keraguan publik terhadap komitmen Pemerintah terkait ekologi. Di tengah mulai meningkatnya kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup, pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi harus dibaca sebagai upaya menghilangkan kesadaran masyarakat atas lingkungan tersebut.
Pemerintah melalui kebijakannya berupaya memperlemah kesadaran masyarakat sebagai sebuah hegemoni dengan upaya penundukan tanpa melalui upaya represif. Upaya hegemoni dalam konteks pemberian konsesi tambang untuk perguruan tinggi menjadi amat relevan karena pemerintah yang tidak ingin dituduh melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) bila menggunakan kekuatan dalam menundukkan masyarakat yang mulai memiliki kesadaran atas lingkungan hidup.
Target dari hegemoni dalam konteks pemberian izin tambang untuk perguruan tinggi adalah para mahasiswa yang merupakan bagian dari penerus bangsa yang memiliki sikap kritis tinggi terhadap kebijakan di sektor sumber daya alam. Kekritisan kaum muda itu sebenarnya sebuah keniscayaan, karena mereka yang akan mewarisi bumi ini ke depannya. Tentu mereka tidak ingin mewarisi bumi yang cacat dan rusak karena elite-elite ini. Sementara pelaku hegemoninya adalah segelintir elite yang ingin mempertahankan kemapanannya meskipun harus mengorbankan masa depan atas kehidupan layak di bumi.
Yang dikhawatirkan, jika elite-elite di kampus-kampus setuju menerima konsesi tambang, maka akan mulai melemahkan kesadaran kritis mahasiswanya. Elite-elite tersebut akan memanfaatkan relasi kuasa yang tidak berimbang antara dosen dan mahasiswa untuk membungkam suara kritis mahasiswa. Mereka akan membuat argumentasi yang seolah-oleh logis dan ilmiah untuk melancarkan pembagian konsesi tambang bagi perguruan tinggi. Pada akhirnya, para elite di kampus penerima konsesi tambang juga akan membuat argumentasi agar mahasiswa menormalisasi kerusakan alam dan sosial akibat tambang.
Bisa saja para elite tersebut akan menggunakan narasi nasionalisme sempit sebagai daya upaya untuk mendukung tambang. Padahal, daya rusak tambang yang menyisakan kerusakan ekologi dan kemiskinan ekstrem bagi masyarakat sekitar merupakan fakta hidup bahwa konsesi tambang jauh dari nilai-nilai Pancasila dan nasionalisme yang mereka gaungkan. Terlebih bila ditelisik, produk tambang ternyata hanya melayani perut buncit industri di negara-negara adikuasa. Alih-alih membawa nilai-nilai nasionalisme, konsesi tambang justru sarat dengan nilai-nilai neokolonialisme.
Bagi ormas agama yang setuju menerima konsesi tambang akan cenderung menggunakan dalil-dalil agama untuk menormalisasi kerusakan lingkungan dan sosial akibat tambang. Hal yang sama juga akan terjadi pada kampus-kampus jika nantinya mendapatkan konsesi.
Kampus-kampus itu akan menciptakan argumentasi yang seolah-olah logis untuk menormalisasi kerusakan ekologis dan sosial akibat tambang. Ini juga mengacaukan fungsi utama institusi perguruan tinggi dalam membina generasi muda agar berpikir kritis. Sebagai lembaga penelitian, perguruan tinggi yang menerima tambang akan mereproduksi penelitian-penelitian yang jauh dari kata independensi.
Mengebiri Kampus
Kebebasan akademik di perguruan tinggi adalah nilai-nilai yang pertama kali akan dikebiri bila kampus menerima konsesi tambang. Jika kemudian kebebasan akademik yang dikorbankan, ini merupakan sebuah cacat berpikir para elite politik, bukan saja terkait pengelolaan sumber daya alam namun juga pendidikan tinggi di Indonesia.
Bila kemudian perguruan tinggi berhasil ditaklukkan, maka generasi muda adalah pihak yang pertama dan paling utama menjadi korban. Kaum muda yang menjadi mahasiswa di kampus-kampus yang menerima konsesi tambang tanpa mereka sadari diarahkan menjadi intelektual-intelektual bebek yang hanya mengabdi pada kepentingan elite. Universitas sebagai institusi pendidikan yang mampu menghasilkan intelektual-intelektual organik yang berpikir kritis, hanya tinggal kenangan manis belaka.
Sementara, masyarakat luas yang menjadi korban dari operasional pertambangan di tingkat lapang akan berjuang sendirian mempertahankan sumber-sumber kehidupannya. Intelektual kampus dan mahasiswa yang sering kali berjuang bersama-sama mereka, cepat atau lambat, akan meninggalkannya. Tidak ada lagi intelektual yang berpikir kritis dan membela kepentingan masyarakat lokal, korban industri tambang. Seluruh sumber daya kampus sudah menjadi mesin industri tambang. Tak ada tersisa keberpihakan pada korban.
Hilangnya kebebasan akademik di kampus tentu merupakan persoalan krusial. Generasi muda harus mau bersuara menghentikan kerakusan para elite yang ingin mempertahankan kemapanannya dengan cara merusak alam. Penolakan kampus terhadap tawaran konsesi tambang yang menyesatkan itu bukan saja akan mempertahankan kebebasan akademik, tapi juga ikut berperan dalam bumi Indonesia dari cengkeraman elite oligarki.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Pelajar Bersuara