PELAJAR BERSUARA: Pemerataan sebagai Jalan Terbuka untuk Kemajuan Pendidikan Indonesia
Membenahi sistem pendidikan belum cukup. Pemerataan kualitas pendidikan harus dijadikan misi utama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
Aisha Nurul Azkiya
Pelajar Kelas XII SMA Bina Dharma 2 Bandung
25 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Melalui penerapan Kurikulum Merdeka, pemerintah Indonesia berinisiatif mengubah wajah pendidikan. Ada banyak hal yang dinilai dapat menopang keberhasilannya. Untuk mendapatkan bukti mengenai hal ini, bisa dilihat dari salah satu unggahan Instagram Menteri Pendidikan, Nadiem Anwar Makarim.
Dalam postingannya itu juga terdapat sejumlah keterangan mengenai harapan pada Kurikulum Merdeka. Karenanya, dirasa akan mampu menciptakan masyarakat yang kreatif dan berkarakter dengan metode belajar yang fleksibel. Tetapi, ironisnya, masih ada pihak yang menganggap bahwa Kurikulum Merdeka belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Sebagian pengajar mengatakan bahwa dirinya terbebani dengan meningkatnya administrasi. Sebagian lagi mengaku kesulitan dalam pembelajaran, dan melihat lunturnya nilai-nilai moral peserta didik. Situasi ini membuat rasa keingintahuan tiba-tiba muncul.
Apakah benar dalam tatanan praksis Kurikulum Merdeka belum berjalan semestinya? Apakah ada pendapat yang bisa menjelaskan persoalan ini? Atau hanya sekadar isapan jempol belaka?
Baca Juga: PELAJAR BERSUARA: Potensi Korupsi Sejak Penerimaan Peserta Didik Baru
PELAJAR BERSUARA: Merancang Strategi untuk Membangun Pendidikan di Masa Depan
PELAJAR BERSUARA: Menelisik Perspektif Pelajar terhadap Batik
Kurikulum Merdeka dan Persoalan di sekitarnya
Di dalam akun Instagram @kurikulum.merdeka, ada banyak sekali penjelasan bahwa Kurikulum Merdeka sudah berjalan dengan baik, dan dianggap telah memberikan hasil yang memuaskan. Beberapa mengatakan kurikulum ini berhasil menciptakan peserta didik yang berkarakter dengan memberikan kebebasan kepada siswa dan siswi dalam metode pembelajaran.
Jika melihat awal pengenalannya, kurikulum ini memang dibuat untuk memberikan kebebasan kepada siswa-siswi untuk berekspresi dan berkreasi dengan membiarkan mereka belajar secara mandiri. Selain itu, siswa-siswi juga diwajibkan mengikuti pelaksanaan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Semua itu memiliki tujuan demi membangun karakter berakhlak mulia, berkebhinekaan global, mandiri, gotong royong, bernalar kritis, dan kreatif.
Tetapi ada sejumlah persoalan yang hadir belakangan. Pada kenyataannya, kebebasan yang digaungkan ini tidak berjalan efektif sesuai pengharapan. Sebagian pelajar mengaku kebingungan ketika melaksanakan pembelajaran karena kurangnya arahan dari guru. Sebaliknya, beberapa guru juga merasa bingung dikarenakan kurangnya pembinaan dalam melaksanakan Kurikulum Merdeka.
Dalam konteks administrasi misalnya. Sejumlah pihak mengatakan bahwa mulanya itu diharap akan mengurangi beban guru. Bahkan diharap bisa menjadikannya lebih sederhana, dan mampu mengentaskan persoalan dalam menyampaikan materi pembelajaran, serta kesejahteraan. Namun realitas menunjukkan sebaliknya.
"Penggunaan aplikasi tidak mengurangi beban administrasi. Beban administrasi hanya bertransformasi menjadi beban digital tanpa ada perampingan," tulis Iman Zanatul Haeri, dalam esai berjudul Peta Berliku dan Beban di Punggung Guru, disitat Kamis, 19 September 2024.
Selain itu, keluhan lain datang dari pihak orang tua yang juga merasa kebingungan dan kerepotan karena tugas yang diterima oleh para peserta didik. Mereka merasa bahwa tugas yang kerap diterima peserta didik tidak relevan. Sebagai contoh, projek ternak lele yang diberikan kepada pelajar Sekolah Dasar.
Pertanyaannya, bagaimana cara seorang pelajar berusia di bawah 12 tahun untuk bisa mengembangkan ternak lele? Tentu saja orang tua wajib melibatkan diri dalam menyelesaikan proyek ini. Untuk mengerjakan proyek pun diperlukan modal yang cukup besar. Dalam hal ini, biaya untuk tempat penampungan, bibit lele serta pakan. Belum lagi ditambah para peserta didik tidak mengerti maksud dan tujuan dari proyek ternak lele tersebut.
Memang dalam proses pembelajarannya, Kurikulum Merdeka menyerahkan sebagian besar kepada siswa. Membiarkan siswa mencari informasi pembelajaran mandiri tentunya dengan diawasi oleh guru. Karena itu, dalam taraf tertentu, memiliki dampak positif, sehingga siswa lebih bebas dan mandiri dalam kegiatan belajar mengajar. Tetapi, tidak semua siswa dapat mencari tahu sendiri, dan tidak semua siswa mau belajar. Kita pun mengetahui bahwa setiap siswa memiliki karakter masing-masing sehingga dipastikan adanya perbedaan antara siswa yang benar-benar mau belajar dan yang bersekolah hanya untuk formalitas saja.
"Tidak merdeka saja tidak belajar, apalagi merdeka," begitu kritikan pedas yang dilontarkan oleh Jusuf Kalla, mantan Wapres Republik Indonesia, dalam acara Kelompok Terpumpun dengan Tema Menggugat Anggaran Pendidikan, Sabtu 7 September 2024, disitat dari kanal YouTube Merdekadotcom.
Selama kurang lebih dua tahun kurikulum ini berjalan, banyak pihak yang sudah merasakan dampak dari diberlakukannya Kurikulum Merdeka. Sebagian pelajar menyatakan bahwa kurikulum ini berjalan dengan baik karena ia merasa bebas mencari tahu apa yang ingin dia ketahui. Sebagian lagi merasa kebingungan dengan apa yang harus dilakukan setelah diberikan kebebasan tersebut.
Di titik ini, bisa dikatakan bahwa dalam tataran praksis, Kurikulum Merdeka belum efektif, dan berjalan dengan baik. Bagi pelajar, sebagian masih belum menemukan tujuannya, dan merasa kehilangan arah. Ada pun bagi yang mengerjakan tugas, hanya sekedar formalitas agar mendapatkan nilai tanpa menguasai dan memahami pelajaran yang ia kerjakan. Sehingga masih diperlukan banyak evaluasi untuk membentuk kurikulum yang benar-benar efektif bagi seluruh siswa dan guru. Menurut hemat penulis, sebagai langkah awal untuk memecahkan masalah ini, bisa dimulai dengan mendengarkan keluhan yang terjadi di lapangan.
Kita juga harus lebih dulu mengetahui beberapa komponen dalam kurikulum tersebut. Dalam hal ini, di antaranya adalah isi dan tujuan, strategi pembelajaran, media, proses pembelajaran serta hasil yang dicapai. Tujuan dari berlakunya Kurikulum Merdeka adalah menciptakan pelajar yang berkarakter, berpikir kritis dan kreatif (Saridudin, 2021)
Pertanyaannya kemudian, apakah dengan pendapat penulis di atas membuat masalah yang ada pada Kurikulum Merdeka bisa dikatakan selesai?
Sayangnya, masih belum. Ada satu hal yang mengganjal, dalam kaitannya dengan ini, adalah pemerataan pendidikan yang masih harus dibereskan. Meski data menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia menganggarkan sekitar 20 persen dari APBN untuk pendidikan. Tetapi, kenyataannya pendidikan di Indonesia masih belum memiliki kualitas yang cukup baik. Biaya pendidikan di Indonesia pun masih tinggi sehingga tidak semua lapisan masyarakat mampu menempuh pendidikan, bahkan di tingkat Sekolah Dasar.
"Indonesia semakin dikendalikan oleh beasiswa. Kenapa pemerintah tidak memfokuskan pembangunan terhadap infrastruktur sehingga angka kemiskinan dan semua orang bisa bersekolah?" ungkap Rocky Gerung dalam acara We Care We Speak, disitat pada Kamis, 12 September 2024.
Padahal, di era globalisasi seperti sekarang ini, pendidikan sudah sedemikian jauh berkembang. Bahkan diiringi kemajuan teknologi yang semakin canggih, yang bisa memudahkan kita sebagai pelajar mendapatkan informasi yang berguna. Ironisnya, meskipun umat manusia seluruh dunia kini telah memasuki era post-modern, gaptek atau gagap teknologi masih menjadi salah satu masalah bagi sebagian masyarakat.
Belum semua golongan masyarakat mampu mengikuti perkembangan teknologi. Masalah kemiskinan masih menjadi alasan utama mengapa seseorang menjadi tertinggal. Dengan demikian, selain membenahi sistem pendidikan, pembenahan infrastruktur yang bisa mendongkrak ekonomi rakyat juga diperlukan untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, sehingga semua kalangan di republik ini dapat terhindar dari persoalan ekonomi, serta mampu mengakses pendidikan yang berkualitas.
Merancang Kebijakan untuk Semua Kalangan
Uraian di atas tentu sekadar menyebutkan beberapa dari sekian banyak persoalan. Namun demi efektivitas, penulis merasa harus menentukan skala prioritas. Karenanya, penulis akan fokus untuk berupaya memecahkan masalah yang telah disebut jika menjadi seorang menteri pendidikan 2045. Penulis juga hendak merancang beberapa kebijakan yang lebih spesifik untuk kemajuan pendidikan di Republik Indonesia.
Langkah pertama, mengenai isi dan tujuan kurikulum. Penulis akan mendengarkan keluhan dari kalangan yang terpinggirkan secara ekonomi-politik, sehingga bisa menciptakan kurikulum yang bisa berguna untuk diimplementasikan di Indonesia. Nantinya keluhan tersebut juga diharapkan dapat membantu kita untuk menentukan tujuan yang lebih luas. Akan dibawa ke mana "kapal besar Indonesia" dengan populasi tertinggi ke empat di seluruh dunia?
Dalam beberapa hal, menentukan tujuan sangat diperlukan untuk memudahkan pembentukan perencanaan. Ketika memiliki perencanaan dan tujuan yang matang, maka pengimplementasian akan lebih mudah dan bisa memberikan hasil yang memuaskan. Kita bisa menjadikan negara-negara lain sebagai contoh.
Tiongkok misalnya, negara dengan populasi tertinggi namun sudah bisa dikatakan negara maju. Seharusnya dengan populasi manusia Indonesia yang banyak di Indonesia, bisa diberdayakan dengan sebaik mungkin. Memang dari segi kuantitas kita sudah unggul, namun dari segi kualitas kita masih tertinggal. Menurut hemat penulis, itu semua bisa diselesaikan seandainya langkah untuk mencapai hari depan yang gemilang telah ditetapkan dengan jelas. Dan nantinya secara perlahan harus dilalui dengan baik dan benar.
Untuk langkah kedua, memperhatikan sekolah-sekolah daerah terpencil. Sebab masih ada sekolah di Indonesia yang kekurangan siswa. Sebuah laporan dari Kompas TV, pada 23 Juli 2023, mengangkat permasalahan mengenai hal ini ke publik luas. Dengan tajuk "Sekolah Terpencil di Gunungkidul Kekurangan Siswa", Kompas TV melaporkan bahwa sekolah tersebut hanya diisi 16 siswa.
Tentu saja informasi ini bisa membuat kita sebagai kaum intelektual resah. Bahwa ternyata masih ada saudara sebangsa yang tidak bisa mengakses pendidikan dengan layak. Bagaimana mungkin negara yang dihuni oleh populasi cukup banyak tetapi masih ada sekolah yang kekurangan siswa?
Karenanya, penulis merasa harus membuat langkah bijak untuk menyelesaikan masalah sekolah di wilayah terpencil sebagaimana keterangan di atas. Sebab jelas nyata masih ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Nantinya, kebijakan yang dibuat penulis selaku Menteri Pendidikan, harus membantu untuk menyelesaikan kesulitan mereka yang tinggal di daerah.
Dan sebisa mungkin membuat rancangan untuk mereka tidak hijrah ke kota besar hanya demi mendapat pendidikan yang berkualitas. Di sini kata kuncinya adalah pemerataan. Kualitas pendidikan harus dijadikan misi utama untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia.
Selanjutnya, langkah ketiga. Mengenai media dan proses pembelajaran. Penulis akan merancang satu kebijakan untuk menyemarakkan kegiatan literasi. Selain bertujuan untuk meningkatkan poin literasi, kegiatan wajib literasi ini juga terutama dilakukan –lagi, dan lagi, hanya demi– meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia.
Lebih spesifiknya, gerakan untuk meningkatkan literasi ini, wajib menggunakan buku cetak. Sebab ada penjelasan tersendiri mengenai hal ini. Terutama didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Manajemen Indonesia pada tahun 2019. Tujuan penelitian mereka saat itu adalah untuk membandingkan efektifitas antara buku digital dan buku cetak.
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa para mahasiswa menyetujui jika buku digital lebih mudah untuk digunakan, namun untuk meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan, para mahasiswa lebih nyaman menggunakan buku cetak. Hasil penelitian itu juga membuat kita mendapatkan justifikasi bahwa buku cetak dinilai lebih efektif untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Pembiasaan menggunakan buku cetak sebagai media pembelajaran nantinya sebisa mungkin dapat diterapkan di seluruh tingkatan sekolah.
Itulah beberapa gagasan yang akan diimplementasikan seandainya penulis menjadi menteri pendidikan di Indonesia. Besar keyakinan penulis bahwa itu semua adalah jalan terbuka untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Bukan pula suatu hal yang mustahil jika itu bisa membuat kualitas guru-guru semakin meningkat. Meski tentunya harus ditopang kompensasi yang sesuai. Sebab, jika itu dilakukan, maka seluruh kegiatan yang beririsan dengan pendidikan akan semarak.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Pelajar Bersuara