• Opini
  • PELAJAR BERSUARA: Menelisik Perspektif Pelajar terhadap Batik

PELAJAR BERSUARA: Menelisik Perspektif Pelajar terhadap Batik

Tidak semua Gen Z mengabaikan budaya. Sebagian belum tahu betapa pentingnya melestarikan budaya-budaya Indonesia, termasuk batik.

Siti Nur Alifa Azizah

Siswi Kelas XII SMA Bina Dharma 2 Bandung

Di atas catwalk zebra cross remaja putri memamerkan batik dan kebaya. Hari Ibu menjadi momen bagi mereka untuk merayakan tradisi dan kebersamaan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

15 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Batik merupakan sesuatu warisan budaya yang sudah lama dikenal masyarakat Indonesia pada umumnya. Berbicara tentang batik, tentu selalu identik dengan corak-coraknya yang beragam, dan warna coklat khasnya yang terkadang dipadukan dengan warna putih atau hitam.

Dalam catatan sejarah, batik sudah ada di Pekalongan sekitar tahun 1800. Jurnal Undip berjudul "Pengaruh Kebijakan Pemerintah di Sektor Batik Terhadap Kesejahteraan Pelaku Industri Batik di Kota Pekalongan" mencatat, bahwa motif batik ada yang dibuat sejak tahun 1802.

Tetapi perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah perang besar pada tahun1825-1830 di kerajaan Mataram, atau yang sering disebut dengan perang Diponegoro. Setelah terjadinya peperangan, keluarga keraton serta para pengikutnya terdesak. Banyak yang meninggalkan daerah kerajaan, kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat.

"Batik tuh budaya Indonesia yang udah mendunia, lho!" pernyataan ini cukup sering terlontar di ruang kelas, maupun di tengah masyarakat. Batik juga salah satu budaya Indonesia yang bahkan sering digunakan oleh warga negara asing, salah satunya adalah Amerika Serikat.

Jika menilik data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022 nilai ekspor batik Indonesia dikabarkan bisa mencapai angka US$ 25,31 juta, atau sekitar Rp 392,74 miliar dengan volume mencapai 987,71 ribu kilogram. Amerika Serikat menempati posisi teratas sebagai negara yang paling banyak membeli batik. Tetapi, sayangnya, pemakaian batik di Indonesia menurun seiring berkembangnya zaman.

Menurut data yang saya baca dari databook.katadata.co.id penjualan batik awalnya mencapai 185 juta US$ tetapi pada tahun 2015 merosot menjadi 156 juta US$, dan puncaknya adalah pada tahun 2020 bulan Januari sampai dengan Juli, penjualan batik sangat merosot di mana hanya mencapai 21,5 juta US$. Jika diperhatikan, seiring berjalannya waktu dan banyaknya budaya luar yang masuk ke Indonesia, minat warga Indonesia terhadap batik pun ikut menurun, terutama pada pelajar seusia saya atau yang kini sering disebut Generasi Z.  

Ini adalah generasi yang merupakan digadang-gadang bakal menjadi tonggak perubahan untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045. Generasi ini juga yang merasakan perubahan total di era digital. Tetapi, ironisnya generasi Z ini sekilas tampak kurang minat terhadap batik.

Beberapa dari mereka lebih memilih menggunakan pakaian ala-ala Korea, kebarat-baratan, dan lain lain. Gaya pakaian ini sekarang sering disebut-sebut dengan kata "outfit", bahkan banyak dikategorikan seperti outfit anak coquette, skena, bumi dan lainnya (ditambah pendapat dari ahli atau sumber internet tentang ini).

Saya penasaran. Apa sih alasan Gen Z kurang meminati batik? Apa yang membuat Gen Z lebih meminati budaya luar dibandingkan dengan budaya negaranya sendiri? Sekilas, kenapa hanya orang tua saja yang lebih meminati batik?

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu berputar putar di kepala saya terutama saat saya sedang menyusun esai ini. Karena itu, saya melakukan riset kecil-kecilan pada sesama pelajar di sekolah tentang bagaimana pendapat mereka mengenai minat terhadap batik ini. Melalui google formulir, saya juga menyertakan pertanyaan, "Apakah mereka setuju bahwa batik merupakan budaya khas Indonesia?" Dan hasil survei menunjukkan bahwa 100% dari mereka menyetujui pernyataan tersebut.

Dalam hasil dari survei tersebut juga kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa minat terhadap batik memang cenderung rendah, dan sebagian dari mereka mengatakan alasan mengapa Gen z kurang meminati batik. Salah satu alasannya adalah karena batik di nilai memiliki gaya yang monoton dan bahkan batik ini anggap sebagai gaya yang "kolot" karena kebanyakan orang yang memakai batik hanya orang tua saja.

Kurangnya wawasan Gen z terhadap budaya Indonesia dan banyaknya budaya asing yang masuk ke dalam Indonesia juga bisa dikatakan salah satu faktor berkurangnya minat Gen z terhadap batik. Faktor lainnya adalah mereka menganggap bahwa gaya ala Korea dan lainnya membuat mereka terlihat jauh lebih menarik dan keren. Tetapi, ada sejumlah cara untuk mengatasi masalah ini.

Baca Juga: PELAJAR BERSUARA: Jangan Biarkan Pencoleng Dana Pendidikan Warga Miskin
PELAJAR BERSUARA: Potensi Korupsi Sejak Penerimaan Peserta Didik Baru
PELAJAR BERSUARA: Merancang Strategi untuk Membangun Pendidikan di Masa Depan

Inovasi Pengrajin Batik

Adakah upaya para pengrajin batik untuk menghadapi masalah ini? Bagaimana peran pemerintah untuk menanggulangi masalah ini? Apa cara mereka efektif?

Ketiga pertanyaan itu keluar dari Pak Yogi. Saya lalu coba cari jawabannya. Menurut pernyataan pakar yang saya temukan di sejumlah platform, umumnya mereka sepakat bahwa di era global seperti sekarang, batik harus mengikuti perkembangan zaman. Tetapi tidak boleh terlepas dari ciri khas batik Indonesia.

Saya setuju dengan pernyataan begitu. Para pengrajin batik harus bisa mengikuti zaman. Bahkan harus pintar-pintar mencari tahu segala hal atau gaya seperti apa yang sedang sangat diminati oleh Gen Z, nantinya informasi tersebut bisa dijadikan inspirasi penting untuk membuat batik.

Misalnya, style yang saya sebut di atas dengan nama coquette, yang sangat tren di kalangan para Gen Z. Coquette ini adalah gaya berpakaian yang cenderung feminin yang di mana gayanya identik dengan keanggunan klasik. Coquette berasal dari bahasa Prancis yang berarti "genit".

Menurut saya, gaya coquette ini bisa menjadi inovasi baru untuk para pengrajin batik. Nantinya pengrajin batik mengolaborasikannya dengan nuansa pita-pita pink, atau warna lainnya yang lucu dan menarik perhatian, juga tidak menghilangkan ciri khas corak batik yang sangat indah itu.

Para pengrajin juga dapat mengadakan pameran untuk mengenalkan batik dengan inovasi-inovasi baru tersebut, dan menargetkan para Gen Z sebagai target utama pameran tersebut. Selain itu, para pengrajin batik dan para pemerhati budaya juga bisa berkolaborasi mengadakan webinar mengenai pengenalan batik sebagai warisan budaya di Indonesia. Ini untuk memberi pencerahan dan mensosialisasikan pemahaman akan pentingnya batik dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

 "Ada beberapa Gen Z yang kurang tahu tentang batik, akan tetapi bukan Gen Z mengabaikan budaya, cuma mereka masih belum paham akan hal itu dan betapa pentingnya melestarikan budaya lokal," ucap seseorang yang mengisi formulir survei saya.

 

Memang tidak semua Gen Z mengabaikan budaya. Hanya saja mungkin sebagian dari generasi saya belum tahu saja betapa pentingnya melestarikan budaya-budaya Indonesia, termasuk batik ini. Tetapi di era sekarang, di mana gadget atau handphone adalah salah satu sarana yang sangat sering digunakan, ini justru bisa digunakan pengrajin batik dan pemerhati budaya untuk memberi pencerahan pada generasi muda. Bisa dalam bentuk pembuatan konten video tentang pelestarian budaya, dan kemudian dibagikan ke aplikasi-aplikasi sosial media seperti TikTok, atau Instagram.

Nantinya konten-konten tersebut bisa membantu meningkatkan kesadaran bahwa produk budaya seperti batik juga butuh (bahkan perlu) dilestarikan. Dan konten tersebut juga bisa mengajak para Gen Z lain tersebut untuk ikut melestarikan budaya-budaya Indonesia salah satunya adalah batik ini. Namun ada satu lagi yang penting.

Dukungan Pemerintah

Satu faktor penting itu adalah dukungan juga apresiasi pemerintah terhadap para pengrajin batik. Ini tentu sangat dibutuhkan untuk pengrajin batik bisa lebih bersemangat dalam usahanya. Selain itu, juga agar batik sebagai warisan budaya bisa semakin dikenali oleh generasi muda.

Menurut informasi yang saya dapat dari Jurnal Undip berjudul "Pengaruh Kebijakan Pemerintah di Sektor Batik Terhadap Kesejahteraan Pelaku Industri Batik di Kota Pekalongan", bahkan batik merupakan kekuatan besar bagi perekonomian Kota Pekalongan. Batik juga telah memberikan "multiplier effect" terhadap aktivitas ekonomi khususnya perdagangan, perindustrian, jasa, dan pariwisata.

Setelah melihat informasi tersebut, pengembangan sektor batik layak diprioritaskan pemerintah. Bentuknya bisa dengan lebih menggalakkan lagi berbagai event baik yang berskala nasional maupun internasional. Selain itu juga dengan membangun museum batik, pasar grosir batik, dan ratusan outlet batik sebagai sarana pemasaran pendukung ekosistem batik seperti di Pekalongan.

Jangan lupa juga kampanye pemasaran produk agar bisa meningkatkan penjualan. Ini bisa dengan memanfaatkan teknologi digital, dan berbagai temuan untuk mendukung inovasi-inovasi yang lebih segar. Seiring berjalannya waktu, maka anak-anak muda di Indonesia akan banyak yang lebih tertarik terhadap batik. 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Pelajar Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//