PELAJAR BERSUARA: Potensi Korupsi Sejak Penerimaan Peserta Didik Baru
Persoalan korupsi tidak akan pernah bisa diatasi bila praktik korupsi sudah terjadi sejak Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Adli Firlian Ilmi
Siswa SMP Negeri 1 Kota Bogor
10 Juli 2024
BandungBergerak.id – Korupsi telah menjadi isu yang krusial di Indonesia. Bahkan sudah sejak 1974, Wakil Presiden Indonesia pertama, Bung Hatta sempat menyatakan bahwa korupsi sudah menjadi “budaya kita”. Pernyataan Bung Hatta adalah kritik yang sangat tajam terhadap tindakan korupsi di Indonesia.
Merujuk pernyataan Bung Hatta bahwa korupsi telah menjadi budaya, maka upaya pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum. Perlu pendekatan budaya. Salah satu pendekatan budaya dalam rangka melawan korupsi adalah melalui pendekatan pendidikan. Dalam konteks ini, sekolah menjadi garda depan pemberantasan korupsi. Sekolah sudah seharusnya menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang anti-korupsi.
Salah satu pintu masuk akses pendidikan adalah saat penerimaan siswa baru, atau lebih sering kita sebut PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). PPDB adalah sebuah mekanisme yang dicetuskan Kementerian Pendidikan. Tujuan dari PPDB ini sebenarnya sangat bagus, memeratakan mutu pendidikan di sebuah wilayah. Sehingga sekolah dengan mutu bagus tidak terkonsentrasi pada sekolah tertentu.
Sayangnya, hampir setiap tahunnya, PPDB memiliki cerita berulang yang terus kita dengar hingga sekarang. Cerita itu adalah upaya orang tua murid mengelabuhi jalur zonasi dengan memberikan keterangan palsu. Tak jarang keterangan palsu itu diperoleh dengan melalui transaksi gelap yang melibatkan uang puluhan juta rupiah. Cerita korupsi yang selalu berulang di PPDB ini tentu sebuah aib di dunia pendidikan.
Baca Juga: Orangtua Murid Demonstrasi di Gedung Sate, Korupsi Dipermudah Sekolah Dipersulit
Pendidikan dan Politik Bahasa, Sekolah sebagai Mitos Juru Selamat?
Pendidikan Indonesia dan yang Mungkin Telah Luput darinya
Mencurangi PPDB
Di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, cerita korupsi PPDB antara lain terkait orang tua siswa yang menggunakan cara-cara curang, seperti memalsukan jarak rumah dengan sekolah tujuan. Praktik korupsi sejak dini itu telah merugikan calon siswa yang sebenarnya jarak dengan rumahnya tak terlalu jauh dari sekolah tujuannya. Dengan adanya praktik korupsi itu, mereka tergeser dengan anak-anak orang kaya yang menggunakan jalur culas dalam PPDB.
Kecurangan bukan hanya terjadi di jalur zonasi, tapi juga jalur Keluarga Ekonomi Tidak Mampu (KETM). Sebagian orang tua mendaftarkan anaknya untuk masuk dalam kategori KETM untuk mendapatkan sekolah impiannya. Padahal sejatinya, mereka bukan dari keluarga miskin dan tidak mampu. Tak jarang mereka adalah orang-orang tua yang memiliki mobil dan kendaraan bermotor pribadi serta kebutuhan tersier lainya.
Keculasan di jalur KETM ini juga merugikan pihak lain. Anak-anak orang yang benar-benar miskin menjadi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan di sekolah negeri. Jika pendidikan adalah salah satu jalur untuk mobilitas vertikal, atau mengubah ekonomi keluarga, maka kesempatan itu telah dirampas oleh segelintir orang-orang kaya yang mengaku dirinya miskin agar bisa menyekolahkan anaknya ke sekolah tujuan dengan cara culas.
Persoalan korupsi yang telah menjadi wabah mengerikan di negeri ini sulit atau justru tidak akan pernah bisa diatasi bila praktik korupsi sudah terjadi sejak di awal masuk sekolah. Bila di awal masuk sekolah saja kita telah menoleransi praktik korupsi, di saat proses pendidikan berjalan kita akan semakin menoleransi praktik-praktik korupsi lainnya.
Untuk itulah praktik korupsi di PPDB harus dihentikan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa memberikan supervisi untuk pencegahan praktik korupsi di dunia pendidikan. Mungkin secara nominal, praktik korupsi di dunia pendidikan tidak sebesar praktik korupsi di sektor perkebunan dan tambang, namun daya rusaknya sangat hebat bagi upaya membangun sistem bernegara yang didasarkan pada kejujuran dan nilai moral anti-korupsi.
Publik juga tidak boleh diam melihat korupsi di dunia pendidikan. Publik harus bersuara dengan lantang. Bisa jadi suara publik akan diabaikan oleh para pengambil kebijakan di bidang pendidikan, namun publik harus bersuara agar korupsi yang merupakan ketidaknormalan tidak dapat dianggap sebagai kenormalan.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain bertema pendidikan