Pendidikan Indonesia dan yang Mungkin Telah Luput darinya
Lanskap pendidikan Indonesia saat ini menyuguhkan fenomena hilangnya ruh pendidikan. Proses pendidikan seperti terjebak dalam kekakuan administratif.
Rizki Mohammad Kalimi
Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung
14 Mei 2024
BandungBergerak.id – Jika kita mencoba melihat kembali catatan tentang sejarah panjang peradaban manusia, maka akan ada satu kontras yang terlihat gemerlap dan mungkin menakjubkan, yaitu tentang fenomena berkembang dan majunya peradaban manusia dari waktu ke waktu. Bukti itu bisa disaksikan di abad ke-21 ini, di mana banyak bidang terlihat megah dan masyhur, mulai dari filsafat, sastra, seni, budaya, kedokteran, sosial-politik, dan teknologi. Bahkan bidang terakhir yang disebut itu, saat ini sudah menjajaki era 5.0.
Tentu ada banyak faktor yang menyebabkan lahirnya berbagai kemajuan dan keberkembangan peradaban manusia, dan salah satu instrumen penting yang ikut membidani kelahiran itu tak lain adalah pendidikan. Hal ini tentu tidak menjadi keraguan, dengan pendidikan manusia mampu mendapatkan ilmu pengetahuan, mengakses potensi diri, serta mengaktualkan keterampilannya.
Indonesia sebagai sebuah negara dan bangsa yang menilik sejarah panjang dirinya. Sangat memahami akan sentralitas peran pendidikan dalam mengembangkan dan memajukan sebuah peradaban. Dengan pemahaman itu, bahkan Indonesia mengamanatkan di dalam undang-undang untuk mencerdaskan sebuah bangsa.
Dalam praksisnya, sejauh ini Indonesia sudah banyak bergerak dan melangkahkan kakinya untuk menciptakan pendidikan ideal, yaitu suatu pendidikan yang di dalamnya ada proses sistematis untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan, nilai, dan norma kepada generasi yang akan datang. Langkah yang sejauh ini diambil untuk sampai pada tujuan pendidikan seperti pengimplementasian berbagai kebijakan, seperti wajib belajar, peningkatan aksesibilitas pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, dan pemberdayaan tenaga pendidik. Selain itu, pemerintah juga berusaha meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.
Akan tetapi, dengan upaya yang sejauh ini dilakukan, serta meniliknya dengan kacamata behavioristik-pragmatis. Pendidikan Indonesia dinilai masih jauh untuk sampai pada tujuan dan cita-cita pendidikan yang sejauh ini telah dirumuskan sedari awal perencanaan. Di titik ini, kita patut untuk bertanya serta membuat refleksi ihwal mengapa hal itu bisa terjadi? Pertanyaan itu semata-mata untuk mengetahui di titik mana posisi pendidikan Indonesia berada, serta apa yang mungkin sudah terlewatkan olehnya.
Baca Juga: Anggaran untuk Pendidikan Tinggi di Indonesia terlalu Kecil
Fenomena Kredit Pendidikan di Kampus, Buat Mahasiswa Untung atau Buntung?
Pendidikan Riwayatmu Nanti
Dehumanisasi Subjek Pembelajaran
Dalam ilmu mantik, atau yang di dunia akademik formal disebut sebagai logika. Diterangkan bahwa setiap konsep (tashawur) itu tersusun dari sesuatu yang disebut esensi. Sederhananya, esensi adalah hal dasar pembentuk dari suatu konsep, di mana ketika konsep kehilangan esensinya, maka konsep itu gugur dari kekonsepannya. Esensi juga menjadi pembeda dari satu konsep dengan konsep lain. Misal, konsep segitiga, esensi dari segitiga adalah sisinya berjumlah tiga. Jika jumlah sisinya lebih atau kurang dari tiga, maka gugurlah konsep dari segitiga itu. Sisinya yang berjumlah tiga, juga membedakan antara konsep segitiga dengan konsep lain seperti konsep segi empat.
Begitu pun dengan konsep manusia, jika esensi dari konsep manusia hilang. Maka gugurlah kemanusiaannya. Adapun yang sejauh ini dianggap sebagai esensi dari konsep manusia, seperti yang juga diterangkan dalam logika, adalah akal. Dalam keterangannya, manusia disebutkan sebagai animale rasionale –hewan yang berakal. Di titik ini dapat dipahami bahwa akal pulalah yang membedakan antara konsep manusia dengan konsep di luar manusia. Sehingga ketika manusia tidak berakal, ia sudah bukan manusia lagi, akan tetapi ternisbahkan pada konsep lain atau bahkan gugur.
Pendidikan yang ideal, sejatinya adalah proses mengaktualkan potensi akal subjek pembelajaran agar dapat memiliki kecerdasan, baik kecerdasan intelektual, emosional, maupun spiritual. Sehingga dengan kecerdasan itu, subjek pembelajaran bisa sampai pada titik kearifan.
Akan tetapi permasalahannya, tanpa mengurangi rasa hormat pada semua tenaga pengajar yang sejauh ini sudah mencoba menjalankan proses pendidikan. Pendidikan Indonesia saat ini dinilai tidak mengarahkan subjek pembelajaran ke arah pengaktualan potensi akal yang ada dalam diri subjek pembelajaran, melainkan mengarahkan ke sisi sebaliknya.
Hilangnya (Lembaga) Pendidikan
Saat ini, tidak bisa dinafikan bahwa rong-rongan modern dan kapital banyak mengubah lanskap pendidikan di Indonesia. Jika digugat ulang perihal kemapanan adanya proses pendidikan di Indonesia, bisa jadi hasilnya sampai pada simpulan bahwa sejauh ini tidak ada proses pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Indonesia, melainkan hanya proses pengajaran semata.
Ada perbedaan mendasar antara pengajaran dan pendidikan. Sederhananya, jika pengajaran adalah proses transfer pengetahuan dari subjek pengajaran kepada subjek pembelajaran. Maka pendidikan lebih jauh dari itu, yaitu tentang proses konversasi pengetahuan yang dimiliki oleh subjek pembelajaran menjadi kebijaksanaan diri.
Lanskap pendidikan Indonesia saat ini menyuguhkan fenomena hilangnya ruh pendidikan. Proses pendidikan seperti terjebak dalam kekakuan administratif, sehingga semua langkah kehilangan fokus terhadap tujuan hakiki dari suatu pendidikan.
Parahnya pendidikan Indonesia terlihat seperti industri yang benar-benar terorientasi pada sebatas nilai kapital material. Bahkan akhir-akhir ini muncul istilah “Bisnis Pendidikan”. Lanskap seperti inilah yang kemudian menjadi alasan logis untuk mengatakan bahwa saat ini di Indonesia, sebenarnya secara hakiki tidak ada yang disebut sebagai pendidikan. Pendidikan Indonesia, meminjam istilahnya Goenawan Mohammad, “Seperti tembok Berlin, terlihat kokoh dari luar, tetapi keropos dari dalam”.
Ketiadaan pendidikan ini juga bisa ditelaah dengan cara yang lebih sederhana, Muhammad Abduh, seorang mufti dari Mesir membuat ukuran akan hal itu. Abduh pernah berkata, “Untuk mengetahui berhasil tidaknya sebuah pendidikan, cukup dengan melihat situasi yang ada di sekitar pendidikan itu berlangsung.” Ukuran yang Abduh buat sangat sederhana, tapi kita tahu bahwa Abduh mencoba melihat esensi dari sebuah pendidikan, yaitu bahwa pendidikan bukan saja mengenai apa yang sejauh ini disampaikan di ruang-ruang kelas, akan tetapi lebih jauhnya pendidikan harus memiliki dampak di luar kelas.
Dengan menggunakan kacamata Abduh, pertanyaannya kemudian, apa yang terjadi di sekitar pendidikan Indonesia saat ini? Terlepas dari sebagian orang yang memiliki pandangan bahwa pendidikan Indonesia masih dalam proses. Tapi agaknya, jika kita mau jujur, terlihat banyak fakta yang menjurus pada simpulan bahwa saat ini belum ada dampak nyata dari proses pendidikan Indonesia. Dengan segala dinamikanya, diketahui bahwa Indonesia masih berkutat pada berbagai permasalahan seperti perekonomian, kesehatan, keamanan, perkembangan Iptek, dan dekadensi moral.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain tentang pendidikan