• Opini
  • Fenomena Kredit Pendidikan di Kampus, Buat Mahasiswa Untung atau Buntung?

Fenomena Kredit Pendidikan di Kampus, Buat Mahasiswa Untung atau Buntung?

Biaya lebih yang dibayarkan mahasiswa yang membayar uang kuliah dengan kredit pinjaman diklaim sebagai biaya platform. Berpotensi memberatkan mahasiswa.

Muhammad Aldy Fahriansyah

Freelance Graphic Design

Biaya kuliah di PTN maupun PTS di Indonesia tiap tahunnya terus meningkat. Hal ini menyulitkan pelajar miskin untuk melanjutkan kuliah. (Foto Ilustrasi: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

8 Juni 2023


BandungBergerak.id – Tidak terasa waktu cepat berlalu, tahun 2023 sudah memasuki bulan Juni. Dalam suasana hangat karena paparan matahari tengah tahun, kampus dihiasi suara riuh mahasiswa yang sedang mengerjakan Ujian Akhir Semester (UAS). Selain harus mempersiapkan mental dan fisiknya, mahasiswa tentunya harus menuntaskan biaya administrasi untuk dapat mengikuti kegiatan UAS dengan membayar UKT (Uang Kuliah Tunggal).

Isu yang membahas biaya kuliah memang rasanya beberapa waktu ke belakang masih saja tetap hangat untuk dibicarakan, apalagi saat semester baru perkuliahan akan dimulai, seperti sudah menjadi langganan untuk dibahas. Mulai dari biaya UKT yang tidak sesuai dengan fasilitas yang diberikan, transparansi dana yang tersalurkan, dan sebagainya. Protes yang dilayangkan setiap 6 bulan sekali ini seakan belum menemukan titik terang. Sehingga, kontroversi terkait biaya kuliah ini seakan sudah menjadi masalah klasik yang tidak kunjung dapat diselesaikan.

Kemerdekaan pendidikan memang rasa-rasanya sampai saat ini masih belum dapat tercapai di Indonesia jika kontroversi terkait biaya kuliah masih ada. Jika ditengok ke belakang, sistem pembayaran biaya kuliah ini sudah diusahakan untuk dapat diubah. Mulai dari sistem SPP (Sumbangan Pembayaran Pendidikan) yaitu biaya kuliah mahasiswa semua sama rata. Sampai pada sekitar tahun 2013 diganti menjadi sistem UKT (Uang Kuliah Tunggal) yaitu pembayaran kuliah yang disesuaikan dengan taraf kemampuan ekonomi tiap mahasiswa. Sistem UKT ini diatur di Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2013 pasal 1 ayat 3, yaitu setiap mahasiswa hanya membayar komponen saja (UKT).

Baca Juga: Mengenal Program Beasiswa Empat Semester di Unpar
ITB Bebaskan UKT Seleksi Mandiri bagi Mahasiswa Kurang Mampu
Syarat bagi Mahasiswa Unpar Mendapatkan Bantuan UKT Rp 2,4 Juta dari Kemendikbud Ristek

Sistem Kredit untuk Biaya Kuliah

Walaupun sistem UKT ini terdengar dapat meringankan mahasiswa karena pembayaran yang dilakukan sesuai dengan klasifikasi penghasilan orang tua, tetapi sejauh ini teriakan protes mahasiswa terkait mahalnya biaya kuliah masih sering terdengar di sudut kampus. Hal tersebut membuktikan bahwa sistem UKT ini masih ada kecacatan dan belum bisa mewujudkan kemerdekaan pendidikan. Apalagi saat ini di sebagian besar kampus (tentunya tidak semua) mulai menerapkan sistem kredit untuk melunasi biaya administrasi yang ada di kampus. Tentu saja hal ini sangat erat kaitannya dengan komersialisasi pada ranah pendidikan.

Dikutip dari Afif Hasbullah, komersialisasi berasal dari bahasa Inggris commercialization yang artinya sifat mencari keuntungan, kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia komersialisasi. Istilah ini wajar digunakan dalam bidang perdagangan dan perniagaan, namun apakah juga wajar manakala istilah tersebut digabungkan dengan kata pendidikan?

Sebagaimana halnya istilah komersialisasi pendidikan. Problem yang banyak dibincangkan mengenai komersialisasi pendidikan itu umumnya dimulai dari suatu dugaan bahwa suatu proses pendidikan dilakukan dengan niatan atau tujuan semata-mata mencari keuntungan.

Kembali lagi kepada kredit kampus. Sistem ini dapat diartikan bahwa mahasiswa dapat melunasi kewajibannya membayar biaya administrasi dengan cara meminjam kemudian dapat membayarnya di kemudian hari.

Apakah sistem seperti ini memang diperbolehkan? Walaupun memang terlihat kurang “etis” dalam penerapannya, tetapi praktek yang bisa disebut “student loan” ini direstui oleh UU Dikti pasal 76 ayat 2 huruf C yang berbunyi "Pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan".

Dikutip dari Tirto.id, bahkan Presiden Joko Widodo juga memberikan pernyataan yang mengusulkan agar perbankan mengucurkan dana kredit pendidikan. Jokowi melontarkan ide ini dalam rapat terbatas yang membahas soal “Peningkatan Sumber Daya Manusia Indonesia” di Kantor Presiden, Kamis (15/3/2018). “Dalam pertemuan dengan perbankan nasional, saya juga sudah menantang perbankan kita untuk mengeluarkan produk kredit pendidikan atau kalau di Amerika biasa dinamakan 'student loan',” kata Jokowi.

Studi Kasus Sistem Kredit Biaya Kuliah

Salah satu cara kampus untuk menerapkan sistem kredit ini adalah dengan menggaet platform penyedia pinjaman, sebutlah platform A. Platform A ini memiliki visi untuk membangun masa depan generasi muda dengan menghadirkan pembiayaan pendidikan terjangkau bagi para pelajar dan tenaga profesional. Untuk mencairkan biaya pinjaman pendidikannya, mahasiswa harus melalui tahap perjanjian. Dalam perjanjian ini, kedua belah pihak menyepakati adanya penyediaan dana dari platform A dengan perjanjian akad kredit. Biaya yang cair dapat digunakan untuk keperluan pelaksanaan pendidikan.

Sistem kredit akan dilakukan dengan syarat pihak yang mengajukan berstatus sebagai mahasiswa aktif dan turut menyertakan nominal pendapatan orang tua. Proses pengajuan dilakukan dengan mekanisme langsung kepada pihak platform A tanpa melalui perantara kampus. Uang yang dipinjam pun langsung masuk ke rekening kampus tanpa melewati rekening peminjam. Untuk teknis peminjamannya adalah sebagai berikut; Ada dua periode kredit yang ditawarkan, 6 bulan dan 12 bulan. Bila kita meminjam uang sebesar Rp 4.500.000 dengan periode 6 bulan, maka per bulan uang yang harus dibayarkan peminjam sebesar Rp 831.000 dan Rp 453.000 bila memilih 12 bulan. Lebih jelasnya akan dijelaskan melalui studi kasus sebagai berikut.

Fulan memilih membayar biaya peminjaman Rp 831.000 per bulan dengan periode kredit 6 bulan Artinya setelah 6, uang yang dibayarkan oleh Fulan seluruhnya menjadi Rp 4.986.000. Dengan total pinjaman awal Rp 4.500.000, maka Fulan telah membayar lebih sebanyak Rp 486.000. Sementara bila ia memilih 12 bulan, maka keseluruhan yang harus dibayar adalah sebesar Rp 5.436.000. Yang mana angka tersebut berjarak hampir 1 juta dari peminjaman awal. Dapat dilihat bahwa angka tersebut bukanlah angka yang sedikit bagi kalangan mahasiswa yang notabene belum memiliki penghasilan, apalagi jika dilihat kembali ke konsep awal, yang tujuan dari diadakannya sistem pinjaman ini adalah untuk “meringankan beban mahasiswa”.

Meski  platform A menganggap bahwa biaya lebihnya itu tidak dianggap sebagai bunga namun sebagai biaya platform. Tetap saja, angka yang lumayan jauh dari jumlah pinjaman berpotensi memberatkan Fulan dan mahasiswa lain. Terlebih bila Fulan tidak membayar sesuai waktu yang ditetapkan, maka denda sebanyak 6% dari jumlah pinjaman sedang menantinya di depan mata.

Yang menjadi pertanyaan besar, di mana posisi kampus dalam hal ini? Sejauh yang  dilihat oleh mata telanjang bahwa kampus hanya memberikan ruang pasar terhadap platform A. Sementara bila ada mahasiswa yang kesulitan membayar, maka konsekuensi akan dibebankan oleh mahasiswa itu sendiri. Ini berarti tak ada bedanya bila si Fulan meminjam ke platform lain yang juga terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ya, benar sekali sistem seperti ini tidak berbeda jauh ketika kita akan meminjam uang dari jasa Pinjaman Online (Pinjol).

Adanya kerja sama kampus dengan platform A, menandai bahwa komersialisasi pendidikan semakin nyata. Kampus memberi ruang kepada platform A untuk berbisnis di dalam lingkungan akademik. Mahasiswa dalam hal ini adalah objek pasar (konsumen) yang dikorbankan untuk pemenuhan pembiayaan. Kampus yang awalnya dianggap sebagai laboratorium pengetahuan kini berubah menjadi marketplace yang di dalamnya hanya memikirkan keuntungan beberapa pihak pemilik modal. Lantas bagaimana menurut kalian? Sistem ini apakah dapat membuat mahasiswa menjadi untung, atau buntung?

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//