Pendidikan Riwayatmu Nanti
Masa depan pendidikan pasca pandemi adalah momentum berbenah untuk mencari jati diri pendidikan dan membuat semua orang berpikir ulang tentang pentingnya pendidikan.
Sidik Permana
Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse
28 Agustus 2023
BandungBergerak.id – Dalam kesempatan Presidensi G20 di Indonesia pada tahun 2022, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menyinggung permasalahan pendidikan Indonesia. Dalam kesempatan itu, ia menyebutkan ada empat isu prioritas bidang pendidikan di Indonesia.
Dikutip dari laman Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek (2022), Nadiem Anwar Makarim mengungkapkan, “Empat tujuan prioritas dari Education Working Group, yaitu pendidikan universal yang berkualitas, teknologi digital dalam pendidikan, solidaritas dan kemitraan, serta dunia kerja pasca-Covid-19.” Melalui jargon “Recover Together, Recover Stronger”, barangkali bisa kita pantau secara bersama-sama terkait isu-isu tersebut, sehingga kita bisa memulihkan kekuatan bangsa ini untuk mengatasi masalah pendidikan yang tidak pernah usai.
Konon Universalitas
Persoalan akses dan pemerataan pendidikan di Indonesia memang momok yang terus menghantui. Dikutip dari laman UNICEF Indonesia (2023), tercatat sebanyak 4,1 juta anak-anak dan remaja berusia 7-18 tahun tidak bersekolah. Fakta ini menunjukkan bahwa akses menuju kesempatan pendidikan masih belum bisa diterima secara meluas. Pada saat yang sama, kita semakin tercerahkan dengan keadaan bahwa anak dan remaja yang terlahir dari keluarga miskin dan termarginalisasi, tidak berprivilese , berpotensi kuat untuk putus sekolah. Termasuk anak-anak disabilitas dan anak-anak yang lahir di daerah terjauh, terpencil, dan tertinggal.
Bila berbicara inklusivitas, maka poin penting yang perlu ditegaskan adalah bagaimana anak-anak usia partisipasi sekolah dapat sekolah. Bila negara cukup serius dan nekat, maka akses pendidikan perlu ditingkatkan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Ingat, akses tidak hanya sebatas, “oh, ini cara bisa sekolah”, tapi juga warga negara Indonesia benar-benar dapat bersekolah hingga lulus dan tuntas.
Kita sadar, pendidikan juga merupakan salah satu tanggung jawab orang tua, walaupun sebenarnya semua variabel bertanggung jawab juga, tapi ketika berbicara kultural dan struktural yang membuat orang kehilangan kesempatan mengakses pendidikan, maka itu sebuah tanda tanya. Sedikit, satu hal yang perlu dipertanyakan kembali tentang potensi ketidaktepatan sasaran bantuan akses pendidikan, seperti beasiswa, merupakan koruptif yang nikmat.
Baca Juga: Mencari Hal Baru dalam Filsafat?
Menelaah Makna Kemerdekaan, Kecerdasan, dan Kekuatan
Menuju Mahkamah Kebijaksanaan dan Mahkamah Konsistensi
Teknologisasi Pendidikan
Teknologi adalah media yang dapat membantu meningkatkan kualitas pendidikan, bila berada di tangan yang tepat. Kita sudah cukup keren berbicara tentang digitalisasi, penerapan teknologi dalam pembelajaran dan pengelolaan sistem pendidikan, walau mesti dievaluasi. Sejauh ini, persoalan teknologi pendidikan yang dialami berkutat pada persediaan (kuantitas) atau akses menuju teknologi tersebut, terlebih untuk sekolah yang cenderung fakir, tertinggal, dan kekurangan dana operasional.
Ketika pemberlakuan masa Covid-19 yang lalu, masyarakat Indonesia dipaksa untuk beradaptasi dengan mekanisme pendidikan yang berorientasi pada teknologi, misalnya belajar melalui aplikasi Zoom. Dan, itu semua bekerja dengan penuh kekagetan, yang kemudian dapat berjalan dengan baik hingga kemudian masa Covid-19 2020-2023 telah usai. Dengan demikian, kita menyadari bahwa teknologi dan digitalisasi pendidikan Indonesia mesti menyelesaikan dua persoalan utama, yaitu ekonomi digital dan kultur digital.
Ekonomi digital akan berbicara tentang penyediaan teknologi itu sendiri, pemerataan dan perluasan akses, efektivitas, dan efisiensi. Sedangkan kultur digital adalah pembentukan pola atau budaya kolaborasi dan pemanfaatan teknologi secara bertanggung jawab dan tepat. Dua pekerjaan rumah ini mesti terus berjalan dan dikelola sedemikian rupa. Bagaimana pun, bagaimana kita bisa berbicara tentang pemanfaatan teknologi karena barangnya tidak ada, lalu pembiasaannya tidak ada pula, sempurnalah kerja kosong tersebut bila gagasan tidak diimplementasikan dengan baik.
Solidaritas-Kemitraan Plus Tanggung Bersama
Alih-alih digambarkan hanya solid dan mitra, satu hal yang kerap diabaikan dalam masyarakat kita adalah tanggung jawab bersama. Saling menyalahkan adalah hal lumrah yang menyebalkan karena terus dipertahankan dan yang lebih buruk adalah tidak ada tindak lanjut hingga masalah tersebut tidak tersentuh sama sekali atau tidak sepenuhnya selesai karena tidak adanya kekompakan.
Kita tidak berbicara untuk solidaritas dan kemitraan skala global, di mana itu persoalan kebijaksanaan negara. Namun, hal yang terpenting adalah membangun solidaritas bersama antara keluarga, lingkungan, sekolah, organisasi, dan negara, yang ku kenal dengan pentahelix.
Solidaritas, kemitraan, dan tanggung jawab bersama antara keluarga hingga negara sangat diperlukan sebagai intervensi dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Semisal, ketika ada seorang anak yang kemudian gagal dalam suatu mata pelajaran, siapa yang paling memungkinkan disalahkan? Biasanya guru, dalam hal ini sekolah. Lalu, bagaimana dengan kualitas keluarga yang juga turut membangun kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di rumah, begitu juga lingkungan, dan lainnya. Itulah kenapa, sejak saat ini, berhentilah untuk menyalahkan siapa saja variabel yang paling bertanggung jawab atas buruknya kualitas pendidikan di Indonesia, karena semuanya bertanggung jawab maka itu adalah persoalan kita semua.
Masa Depan Dunia Kerja
Bagian ini cukup penting, walau sebenarnya ini merupakan klimaks dari pembicaraan soal pendidikan yang sedari tadi dikupas, yaitu apakah menghasilkan SDM unggul untuk menopang (masa depan) dunia kerja. Walau kesannya di sini pendidikan sebatas industri penghasil SDM unggul, tapi begitulah kenyataannya. Toh, pada akhirnya semua kembali kepada kerja, kerja, kerja yang turut mempertahankan kompetisi dan kapitalisasi. Itulah dunia bekerja, meski kita berbicara soal filosofi pendidikan tentang “memanusiakan manusia”. Itu saya anggap bonus yang difokuskan.
Lalu, mengapa berbicara masa depan kerja, seolah-olah Covid-19 benar-benar menghancurkan dan mengubah sepenuhnya masa kini dan membengkokkan realitas di masa depan. Semua sama saja, alurnya serupa dan sejalan dengan era informasi yang mulai hidup sejak pertengahan abad ke-20.
Kekagetan adaptasi bisa jadi adalah culture shock bagi bangsa ini ketika pandemi melanda, sehingga semua orang berpikir bahwa keterlambatan untuk berkembang dan mengembangkan diri akan jadi bencana bagi peluang hidup yang lebih baik di masa depan. Di satu sisi bagus, membuat semua orang meninggalkan kemalasan buruknya untuk mengambil sedikit keberuntungan di masa depan dan bersusah payah belajar di masa kini, namun kini semua orang berkompetisi dan tidak jarang menapaki jalan yang koruptif.
Ketika semua berkompetisi maka masa depan sudah bisa ditebak, yaitu pemenangnya adalah yang terbaik dari semuanya, sisanya akan kembali teralienasi dari peradaban, hidup di sudut kemajuan, dan berakhir dengan ketidakberdayaan. Padahal sejatinya, masa depan pasca pandemi adalah momentum berbenah diri untuk mencari jati diri pendidikan dan membuat semua orang berpikir ulang tentang pentingnya pendidikan bukan sekadar portofolio menuju industri dan sekolah impian atau gabut dengan gaya sembari menunggu stempel ijazah diberikan.
Maka, semua persoalan ini pada akhirnya menjadi tantangan pendidikan bangsa untuk membawa manusia Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan yang sesungguhnya, yaitu mencapai potensi terbaiknya dan meningkatkan potensi derajat kemanusiaan di era modern sekarang. Baik sub persoalan universalitas, teknologi, kerja sama, dan capaian, pendidikan adalah ruang keabadiaan.