• Opini
  • Mencari Hal Baru dalam Filsafat?

Mencari Hal Baru dalam Filsafat?

Mungkinkah ada yang baru dari filsafat, dengan kondisi kepekaan dan daya kritis manusia yang kian memudar atau alakadarnya, atau bahkan tidak peduli?

Sidik Permana

Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse

Mural kritis pada pemerintah di dinding flyover Laswi, Bandung, Kamis (26/8/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

29 Juni 2023


BandungBergerak.id - Era informasi merupakan bentuk peradaban manusia hari ini. Peradaban ini ditopang oleh teknologi informasi dan komunikasi yang sirkulasinya bergerak secara masif. Bila dibandingkan dengan kondisi yang sama pada akhir abad ke-20, nuansanya jauh lebih “purba” seperti di gua—ungkap para pemuda hari ini—karena masih berkutat dengan koran, surat, telepon umum, dan model manual serta analog lainnya. Arus utama teknologi digawangi oleh internet, digitalisasi, dan media sosial sekaligus menjadikan mereka sebagai media of the millenium. Tapi, ingatlah bahwa setiap pembaharuan terdapat konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Salah satu headline permasalahan kini adalah menurunnya kesadaraan akan kemanusiaan, yang ditandai dengan berkurangnya semangat untuk kritis dan penghormatan atas martabat kehidupan.

Berkurangnya daya kritis dan kepekaan terhadap permasalahan-permasalahan hari ini, seolah-olah menandakan hidup dan lingkungan sekitar “baik-baik saja”, hampir merata dialami oleh manusia modern. Bahkan, sekalipun menyadari adanya permasalahan yang terjadi di sekitarnya, upaya solutifnya tidak mampu diwujudkan. Lalu, bagaimana dengan persoalan berskala besar? Sebagai contoh, menurunnya daya kritis mahasiswa, sebagaimana dikutip dari laporan penelitian Halpern (1996), menunjukan bahwa betapa miskinnya pemikiran kritis mahasiswa dan orang dewasa baik di Amerika maupun di negara-negara lain. Hal itu menunjukan bahwa kondisi menurunnya daya kritis terjadi merata di berbagai negara, di tengah-tengah kemajuan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.

Dengan menurunnya daya kritis manusia, yang berbarengan dengan kurangnya kesadaraan dan kepekaan manusia terhadap kondisi kehidupan yang (rasanya) “baik-baik saja”, justru akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan dan perkembangan manusia itu sendiri, terutama dalam upaya menghasilkan langkah-langkah solutif dari setiap problematika manusia yang dilematis dan sukar dieliminasi. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwasanya banyak faktor yang menyebabkan menurunnya daya kritis manusia, misalnya dari kualitas edukasi. Menurut Pusparatri (2012), ketidakmampuan pelajar dalam berpikir kritis dapat disebabkan oleh strategi pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar. Buruknya kualitas pendidikan hanya satu dari sekian banyak persoalan penyebab menurunnya daya kritis manusia.

Meskipun begitu, persoalan itu sudah cukup memberikan peringatan akan dampak lanjutan dari memburuknya sikap kritis kita, terutama dalam filsafat di era modern hingga pascamodern (informasi), yang berimbas pada mengeringnya konsepsi-konsepsi segar pemikiran dan kesadaran akan dunia, lingkungan, dan manusia di tengah-tengah kebingungan dan keabsurdan yang kini tengah melanda manusia abad ke-21. Oleh karena itu, mungkinkah ada yang baru dari filsafat, dengan kondisi kepekaan dan daya kritis manusia yang kian memudar atau alakadarnya, atau bahkan tidak peduli?

Penggalian Daya Kritis

Sebelum memasuki, “Apa yang baru dari filsafat hari ini?” mungkin lebih tepat bila diperhatikan “Bagaimana daya kritis mengizinkan hal baru dari filsafat untuk eksis?” Maka, daya kritis itu mesti terungkap terlebih dahulu. Mari kita mulai dengan kelahiran “kritis”. Kita sepakati bahwa perkembangan peradaban manusia tidak terlepas bagaimana manusia mampu menerjemahkan simbol-simbol alam dalam kehidupan, sedikit mengutak-atiknya, dan mulai perlahan menaklukan dalam rangka menutupi kelemahan manusia. Satu persenjataan abadi dalam rangkaian memberadabkan manusia itu adalah kesadaran yang dimotori oleh akal (spesial) manusia. Namun, kondisi kritis tersebut tidak serta-merta mampu tumbuh dan berkembang sempurna dengan mengandalkan kesadaran yang muncul dari diri sendiri atau inisiatif. Hanya beberapa orang yang kedapatan mampu keluar dari jalur klise pada umumnya, yang mungkin akan dianggap anomali oleh sebagian besar masyarakat. Orang-orang itulah para pemikir kritis. Namun, untuk bisa menghasilkan daya kritis yang merata—terlepas dari kualitas yang dihasilkan—konsep secara natural tidak bisa diandalkan, karena itu peran di luar itu diperlukan. Menurut Halonen (1995), pemikiran kritis tidak semata-mata hasil maturasi melainkan lebih merupakan state.

State yang dimaksud bukanlah sekadar menunjukan konsep “negara” sebagai organisasi dan tata pemerintahan, tetapi juga sebagai “sesuatu yang dijanjikan/ditetapkan”. Dalam hal ini, daya kritis diperjuangkan dalam rangka membangun manusia utuh yang sempurna dalam kesadarannya, yang berarti terencana dan sadar. Memang, mampu secara mandiri tumbuh dari seseorang yang memiliki kepekaan besar dan terlepas dari hijab-hijab pengetahuan, namun itu belum cukup bila kehidupan (semakin) banyak manusia harus ditopang oleh satu orang yang sadar akan hidup dan masalahnya. Jadi, kiranya permainan PC dan konsol, The Sims, bisa menjadi rujukan bukan hanya digambarkan sebagai “simulasi Tuhan” tapi juga “simulasi kesadaran” yang mana kitalah satu-satunya yang sadar di dalamnya secara harfiah.

Dalam membangun daya kritis, ada berbagai cara yang bisa digunakan. Misalnya, Alison King (1995) menilai bahwa seorang pemikir kritis dapat terbangun apabila ia berpikiran ingin tahu (inquiry mind) atau ia seorang penanya yang baik (good questioner). Ini tak ubahnya seperti seorang filsuf yang sibuk dengan beragam pertanyaan (abdurd) yang menarik untuk dikupasnya. Cara lain dikemukakan oleh Carole Wade (1995), yang berpendapat bahwa menulis lebih baik dari diskusi dalam mengembangkan pemikiran kritis. Selanjutnya, datang dari Alverno College, sebagaimana diungkapkan oleh Halonen (1995), bahwa berpikir kritis memiliki kecenderungan dan keterampilan untuk melakukan aktivitas dengan prinsip skeptisisme reflektif yang terfokus pada pengambilan keputusan terhadap apa yang diyakini atau dilakukan. Hastjarjo (1999) menjelaskan bahwa rumusan yang dikemukakan oleh Halonen tersebut, mengandung unsur-unsur penting bagi pemikiran kritis yang meliputi kecenderungan (propensity), keterampilan (skill) dan potensi yang semakin meningkat dari si pemikir untuk bertindak (action).

Pendapat lain dikemukakan oleh Elaine B. Johnson, (2009), bahwa berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah. Lebih lanjut, ia membeberkan bahwasanya berpikir kritis digambarkan sebagai: 1) Kemarnpuan untuk berpendapat dengan cara terorganisir; 2) Kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematis bobot pendapat pribadi dan pendapat orang lain; 3) Kegiatan mental yang memupuk ide-ide asli dan pemahaman baru. Dengan demikian, secara garis besar upaya membangun daya kritis dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya meningkatkan rasa keingintahuan, memulai untuk bertanya atau mempertanyakan, menuliskan buah pikir, mendiskusikan suatu persoalan secara mendalam, dan membangun serta mengimplementasikan pemikirannya ke dalam tindakan-tindakan aksi nyata., dll. Dikutip dari laman Uniersitas Islam Negeri Malang (2010), penelitian para ahli neurolinguistik menyebutkan bahwa otak manusia bisa dilatih fungsi-fungsinya, termasuk untuk melahirkan sikap kritis.

Akan tetapi, seperti halnya tentara yang dididik untuk membunuh dan mempertahankan negara namun tidak diberdayakan sebagaimana mestinya, atau seperti dokter bedah yang tidak pernah membedah, usaha-usaha membangun daya kritis harus senantiasa diwujudkan secara komitmen dan konsisten. Mereka harus terus diberikan energi, diuji secara reflektif dan terus mengalami evaluasi. Sehingga, itu dapat menghasilkan perubahan baru pada diri manusia, bukan sekadar “kita tahu” cara untuk bersikap kritis, tapi memang benar-benar kita harus bersikap kritis. Marcus Aurelius memang benar, ketika ia berpendapat bahwa alih-alih terus membicarakan apa itu baik dan siapa yang baik, kenapa tidak menjadi orang baik saja? Oleh karena itu, upaya-upaya untuk membangun daya kritis harus mulai diperhitungkan sebagai tahapan level yang harus dicapai dengan upaya nyata dan kontinu, sehingga mampu membawa manusia ke level yang makin tinggi (derajat). Menurut Psikolog anak dan keluarga di Klinik UI, Anna, sebagaimana disebutkan dalam laman CNN Indonesia (2017), bahwa sistem perkembangan otak remaja, sistem limbik bekerja lebih ketimbang bagian korteks sebagai pengelola logika, sehingga kita perlu membiasakan mereka berpikir sebelum bertindak dengan memberikan data-data yang ilmiah, di mana kita tidak mendoktrin mereka, melainkan membangun daya kritisnya. 

Energi Daya Kritis

Sebuah mekanik berjalan karena terdapat energi yang menggerakannya, dan itu adalah hukum fisika yang tidak bisa diabaikan. Begitu juga dengan sikap kritis yang sejatinya memerlukan energi dalam menggerakannya. Bagaimana pun, sebaik apa pun manusia memiliki modal dan semua potensi untuk bisa melakukan sesuatu, dalam hal ini sikap kritis, tanpa diikuti dengan pengimpelementasian dan praktik lapangan, maka itu hanyalah kesia-siaan belaka. Guna memastikan kita benar-benar kritis, maka manusia harus mengujinya dengan memulai untuk bersikap kritis. Sebagai contoh, bagaimana memandang dunia ini dari arus globalisasi dan modernitas, menunjukan bahwa kita bersiap untuk menghadapi suatu kenyataan bahwa realitas tidak sepenuhnya “real”. Globalisasi memang betul dianggap sebagai satu realitas, tetapi realitas globalisasi ini bukanlah sesuatu yang alamiah, tetapi given (Muthmainah, 2007).

Transisi menuju kritis seseorang dapat dilihat dari banyak hal, misalnya mempertanyakan kembali kemapanan, mereduksi hegemoni, melihat semua fenomena secara holistik, mawas diri terhadap kondisi di sekitar dan dinamikanya, atau sekadar geregetan dengan apa yang terjadi, dll. Misalnya, dalam pandangan Antonio Gramsci, sebagaimana dikutip dari Patria dan Arief (2003), upaya menentang hegemoni ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu war of position dan war of maneuver. Ujung persoalan ini adalah dengan berhadapan untuk menyatakan “perang” terhadap hegemoni dan kemapanan—kejemukan yang biasa saja—atau sedikit berakrobatik untuk bermanuver menghindari gejala-gejala umum kebiasaan yang kerap dipatok dalam kehidupan masyarakat dan sulit terelakan. Dengan sikap kritis demikian, tidak peduli mana pilihan yang diambil guna menghadapi hegemoni, karena yang terpenting adalah penilaian mendalam sebelum akhirnya mengambil sebuah keputusan. Rangkaian sikap kritis tersebut memang dipandang sederhana, setidaknya jalan tersebut berhasil diambil dan dilaksanakan, ketimbang abai sama sekali.

Maksud di atas adalah menunjukan bahwa upaya dan dorongan kritis pun perlu digerakan melalui energi yang keberadaannya sebenarnya ada di setiap tempat, kondisi, dan waktu, hanya tinggal bagaimana kita mendapatkan energi itu dan mengolahnya untuk mendorong mesin-mesin (daya usaha) kritis kita terutama akal, alih-alih mengabaikannya dan membuatnya mubazir. Kita bisa menengok bagaimana para hermeneutikus bekerja dalam ranah kritisisme. Menurut Bolo (2019), pekerjaan hermeneutik adalah mengkritisi kemapanan metodologis ilmu pengetahuan dalam kerangka berpikir positivisme, keangkuhan agama (dogmatisme) yang cenderung merasa paling mengetahui segala sesuatu, serta kedigdayaan modal-modal ekonomi-politik, agar ruang kebenaran tidak jatuh ke dalam penilaian hitam-putih, baik-buruk, dan benar-salah semata-mata. Dengan begitu, energi yang menggerakan para hermeneutik adalah masalah-masalah kemapanan, para positivistik, dogmatis, keajegan potensi-potensi politis dan ekonomi, dll.

Masalah-masalah di atas serupa dengan daya kritis pada umumnya yang perlu digerakan dengan energi, yang bila kita kembali dengan persoalan di awal, yaitu, “Apa yang baru dari filsafat hari ini?”, bisa menjadi energi yang digunakan untuk menggerakan jiwa-jiwa kritis kita. Ditambah dengan gelar “filsafat atau filosofis”, rasanya orang akan langsung mengarah pada hal-hal yang berbau pusing, jelimet, dan sebagainya—suatu keunggulan. Maka, inilah saatnya untuk memanfaatkan energi ini untuk (kembali) mencari, menemukan, dan menjawab pertanyaan semacam itu dengan mesin kritis kita yang sudah dipersiapkan, yaitu akal dan segenap komponen kesadaran lainnya. Meskipun, pada akhirnya, kita tidak akan menemukan kebaruan secara harfiah dan sesuai dengan ekspektasi yang kita idamkan.

Baca Juga: Menjawab Keterasingan Manusia di Tengah Absurditas Budaya Kontemporer
Pemimpin Impian Pemuda dan Referensi Idealisme Kepemimpinan
Etika Pancasila dan Komitmen Kebangsaan dalam Menghadapi Tindakan Koruptif

Filsafat Baru dan Hal Baru dalam Filsafat

Sebagai permulaan, Frazer (1995), sebagaimana ia kutip dari James Bohman dalam buku “New Philosophy of Social Science: Problems of Indeterminacy”, pernah mengungkapkan bahwa, “what is new in the philosophy of social science is a developing acceptance of and emphasis on indeterminacy, with a simultaneous new commitment to rigour”. Dalam pandangan Bohman, filsafat secara eksis (dalam ilmu sosial) mendapatkan ruang tersendiri untuk melakukan pembaharuan dan evaluasi, terutama dalam ilmu sosial. Hal ini dinilai mewakili perasaan, sekaligus membantah, bahwa “filsafat sudah mati”. Secara tidak langsung, filsafat akan selalu mendapatkan ruang untuk memulai percakapan, entah tema lama atau baru.

Namun, alangkah baiknya bila konsep “baru” tersebut kembali dipastikan agar bisa menyeimbangkan sinyal kita terhadap diksi “baru” yang menjadi kunci utama di sini. Misalnya, bila hal itu merujuk pada “tidak ditemukan sesuatu yang baru di dalamnya”, itu terlalu berlebihan dan cenderung mengabaikan fakta bahwa hidup selalu dinamis. Bagaimana pun, selama manusia hidup, “baru” akan selalu ada dalam padanan tata bahasa manusia. Bila kemudian filsafat dinilai “tidak ada sesuatu yang baru di dalamnya”, dengan konsepsi baru seperti di atas, maka itu sah-sah saja, namun semua runtuh seketika ketika memang ada jalur atau jalan baru dalam dunia filsafat. Sedikit penggambaran terkait pembabakan periodisasi filsafat, mulai dari klasik, abad pertengahan, modern, hingga kontemporer (postmodernism). Lalu, di setiap zaman itu lahirlah jalur/aliran filsafat seperti idealisme, rasionalisme, empirisme, dualisme, positivisme, realisme, dll. Dengan begitu, setidaknya, bila ada pembahasan baru di dalam jalur-jalurnya, maka sah untuk mengatakannya sebagai “hal baru”. Namun, bila pembahasan yang diangkat hanya “menggali dari kuburnya”, maka diksi “baru” tidak cocok untuknya, melainkan lebih tepat disebut autopsi, recycle, atau menggali puing-puing arkeologis (filsafat).

Berikutnya “baru” yang tidak terbatas pada definisi sebelumnya, dan bisa mencakup banyak hal. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki banyak padanan kata tentang diksi “baru”, dan semuanya sudah cukup mewakili keperluan keluasan definisi kata baru. Kemudian, kita bisa mulai menguji, “Apa ada yang baru dari filsafat hari ini?”, maka bisa jadi, bahkan iya. Kendati pembahasan filsafat atau objek kajian yang diulang-ulang dengan sedikit gaya dan konten yang baru, nilai inovasi di dalamnya sudah cukup untuk dikatakan “baru”. Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan utama di esai ini, bisa dijawab, “banyak yang baru, lho!”. Namun, mana yang harus dipakai, yang pertama dengan kecenderungan jawaban “baru” yang minim, atau kedua yang cenderung menjawab banyak hal yang baru di filsafat hari ini. Tidak masalah, toh keduanya berarti menunjukan daya kritis kita masih bekerja dengan baik, bahkan cenderung dimudahkan dengan segala sumber daya ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, mulai dari buku, jurnal, artikel, fisik maupun maya yang terdata abadi di internet.

Entah bagaimana, di tengah-tengah keributan persoalan baru atau tidaknya dalam dunia filsafat, justru kondisi manusia saat ini cenderung untuk tidak mau kenal dengan filsafat sama sekali. Antara haram, membingungkan, tidak jelas, atau bahkan tidak berguna, filsafat selalu dipandang sebelah mata. Padahal, filsafat, atau setidaknya sedikit berpikir layaknya seorang filsuf, dapat melatih daya kritis, terutama mengingat kehidupan manusia saat ini yang mulai berangsur-angsur tercerabut posisinya dari akar budaya ke dalam kejenuhan modernisme. Sehingga, upaya pencarian makna hidup rasanya menjadi sangat diperlukan, dan itu paling tidak melewati jalan-jalan filsafat. Sebagaimana dikutip dari laman Philosophy Now (2020), Brandom pernah mengungkapkan tiga tahap perkembangan etika sejarah, yaitu: 1) Masyarakat tradisional, Sittlichkeit tanpa subjektivitas (istilah yang digunakan Hegelian yang berarti tatanan moral adat yang diterima sebagai fakta alam); 2) Alienation (keterasingan), di mana seseorang memang cukup bebas namun terasing dari fondasi etis masyarakatnya; dan, 3) Bentuk baru Sittlichkeit yang kompatibel dengan subjektivitas bebas. Melihat kondisi persoon yang mulai terasingkan, rasanya cukup disayangkan bila berkah sikap kritis yang dimiliki, sebagai satu-satunya senjata ia dalam menghadapi gempuran absurditas dan ketidakpastian, harus tergerus dan melemah. Apalagi, kondisi untuk keluar dari masalah tersebut, setidaknya memerlukan pencarian yang mendalam terhadap nilai-nilai dan maksud dari kehidupannya, yang mana jalan filsafati tidak bisa dihindari dan kritis adalah transportasinya.

Alih-alih membicarakan filsafat baru atau (hal) baru dalam filsafat, orang-orang justru dibuat bimbang dengan pertanyaan kehidupan, eksistensi, Tuhan, dll. Menurut Elizabeth Harman, sebagaimana dikutip dari laman Theatlantic.com (2018), bahwa, “The new questions go beyond probing the existence of God and the nature of consciousness to respond directly to the concerns of today, from the lives of marginalized groups to the stresses of modern relationships.” Keprihatinan ini hingga sampai pada tahap pengabaian, terutama bagi golongan yang diterpa keterasingan dan terpinggirkan yang bahkan bisa saja tidak pernah bersentuhan dengan dunia (elitis) filsafat. Seolah-olah, tuntutan pencarian atas “kebaruan” akan filsafat telah melampaui pertanyaan apa pun, dan mengabaikan hal-hal urgen yang kini melanda manusia. Alih-alih pencerahan, filsafat kian suram dan membosankan—masih seru hanya untuk beberapa orang dengan ketertarikan “uniknya”—senada dengan kampanye pascamodernisme dengan “matinya filsafat” dan lenyapnya kebaruan.

Mari tengok sedikit dengan pandangan dunia di era pencerah (enlightenment). Dikutip dari laman secara garis besar Rootsofprogress.org (2022), terdapat beberapa elemen kunci dalam pandangan dunia di era pencerahan, di antaranya: 1) Alam adalah penghalang sehingga harus ditaklukkan. Termasuk, ia juga tidak sempurna, sehingga akal manusia dapat “memperbaikinya”; 2) Keyakinan pada kekuatan akal manusia dalam rangka memahami dan memerintah alam; dan, 3) Kekaguman untuk pertumbuhan dan kemajuan dalam sains, ekonomi, bahkan dalam populasi.

Akibat dari pandangan dunia tersebut, memang akan menjadi bom waktu, bahkan hingga kini, terutama bagi masifnya kerusakan alam. Tapi setidaknya, filsafat masih berperan terutama sebagai acuan kerangka yang mendorong sikap dan tindakan, memberikan “arti” kehidupan manusia, melahirkan berbagai cabang dan objek pembahasan filosofis, hingga memunculkan counter-counter yang menghidupkan daya kritis manusia dalam melawan kesewenang-wenangan filsafat era pencerahan itu sendiri. Artinya, daya kritis di periode ini sangat dibutuhkan, dan filsafat masih dihormati. Bandingkan dengan zaman kontemporer, filsafat kehilangan marwah dan sebatas konsumsi orang-orang tertentu di setiap kandang-kandang pemikiran, mencari puing-puing yang tersisa dari filsafat lalu berusaha membangun “inovasi” di dalamnya, daya kritis terdegradasi dan cenderung picky eater lalu kita klaim ada kebaruan di dalamnya yang pada akhirnya kita menyadari bahwa semua ini adalah plagiat bagi masa lalu.

Filsafat bukan satu-satunya yang diejek di setiap kemajuannya. Lihatlah bagaimana Rousseau melihat sains dan seni, sebagaimana diungkap pada laman Rootsofprogress.org (2022), bahwa, “The progress of the sciences and the arts has added nothing to our true happiness.” Ia melanjutkan, “Luxury, dissolution, and slavery have in every age been the punishment for the arrogant efforts we have made in order to emerge from the happy ignorance where Eternal Wisdom had placed us.” Kini sebaliknya, sains mendapatkan hati di masyarakat dan akademikus, sedangkan filsafat adalah cemilan yang tidak mengenyangkan, sempilan yang dibutuhkan agar kita terlihat lebih intelek. Sains tidak memberikan kebahagiaan, secara harfiah, tapi cukup memuaskan bagi manusia-manusia malas modern untuk keluar dari segala bentuk kesulitan dan ancaman purba. Bagaimana dengan filsafat? Sayangnya tidak seberuntung sains dan seni yang kini mendapatkan momentum. Ibu para ilmu pengetahuan ini sudah cukup tua dan sudah saatnya meninggal didekapan anak-anaknya. Untuk memuluskan kematian filsafat, eutanasia terhadap daya kritis sedang dijalankan dan perlahan-lahan benar-benar efektif. Jangan bertanya bagaimana mencari hal baru, toh kematian akan atau/sudah ia rasakan. Jawaban yang tepat adalah hal baru yang dimaksud itu merupakan kematian.

Mari kita (berusaha) menemukan hal baru dalam dunia filsafat hari ini, misalnya Noimetik. Dikutip dari laman Newindianexpress.com (2011), Noimetics merupakan filosofi naturalistik baru yang mengidentifikasi tempat individu di alam semesta dengan menciptakan makna sehari-hari melalui manifestasi potensi mereka dan menciptakan kebanggaan di dalamnya. Sepertinya tidak asing, tapi paling tidak ini adalah upaya menghidupkan kembali filosofi purba terkait alam (environment) atau naturalisme, sedikit kombinasi humanisme, stoik, rasionalistik, atau lainnya. Kembali, puing-puing filsafat dan sepertinya tidak ada yang baru kecuali kemasan dengan merk yang lebih keren dari sebelumnya, inovasi. Bila dipikir-pikir, antroposentrik masih melekat pada noimetik, dan bukankah itu tidak asing? Namun, hal yang dijadikan nilai penting dalam noimetik adalah nilai ini mengajarkan tentang upaya untuk meraih peluang dari makna, investasi makna kesadaran, dan bagaimana sejumlah makna yang dibutuhkan untuk merasa bahagia dan puas.

Pada akhirnya, kita tidak menemukan hal baru dalam filsafat. Namun, kita patut berbangga karena alih-alih menemukan yang baru dalam filsafat, apalagi filsafat baru, kita justru mampu berinovasi dengan filsafat-filsafat lama. Kendati sudah dicemooh dengan kematian, wibawa filsafat tidak akan lekang ditelan zaman. Tidak buruk juga dengan inovasi, karena justru di samping manusia yang dinamis, inovasi adalah bagian dari dinamika itu, maka tidak perlu menghardik bentuk-bentuk inovasi dalam filsafat karena itu justru bagian menariknya. Artinya, masih ada upaya untuk mempertahankan akal sehat agar tetap berjalan dan bermanfaat, memposisikan kita sebagai manusia yang seutuhnya eksis dengan daya kritis kita yang cukup estetis.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//