• Opini
  • Menjawab Keterasingan Manusia di Tengah Absurditas Budaya Kontemporer

Menjawab Keterasingan Manusia di Tengah Absurditas Budaya Kontemporer

Transformasi watak manusia hingga struktur sosial mesti diwujudkan. Cara untuk keluar dari absurditas hidup adalah dengan mencari dan membangun autensitas diri.

Sidik Permana

Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse

Warga memadati area pusat belanja di kawasan Alun-Alun Bandung, Jawa Barat, untuk berbelanja kebutuhan lebaran, 3 Mei 2021. Warga menyerbu pusat-pusat perbelanjaan di wilayah perkotaan sejak H-10 lebaran tanpa menghiraukan protokol kesehatan. (Foto: Prima Mulia)

22 Juni 2023


BandungBergerak.idSetiap hari, rasanya kehidupan manusia semakin menantang, tidak terduga, dan penuh intrik. Khusus di Indonesia, berbagai persoalan yang telah, tengah, dan akan dihadapi terus bermunculan. Salah satunya pandemi Covid-19 yang kini masuk masa pemulihan. Walaupun mulai terabaikan, memori kolektif masyarakat tidak akan pernah melupakan dampak pandemi, seperti merusak kesejahteraan, mengganggu ritme hidup, kematian, dll.

Menurut Laporan dari Our World in Data, sebagaimana dikutip dari laman databoks.katadata.co.id (2022), diketahui bahwa tingkat kematian (Case Fatality Rate/CFR) Covid-19 di Indonesia mencapai 2,58 persen per 17 Maret 2022 yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kematian tertinggi kedua di Asia Tenggara.

Di saat dunia berusaha pulih dari pandemi, ancaman lain muncul berupa resesi ekonomi. Perang hingga ketidakpastian politik global memicu kelangkaan energi hingga mengancam stabilitas negara-negara lain. Para ekonom mengulas buruk dampak resesi yang membuat panik negara hingga masyarakat awam sekali pun. Dikutip dari laman Tempo.co (2022), International Monetary Fund (IMF) mengungkapkan bahwa resesi dapat menimbulkan kerugian ekonomi global mencapai US$ 4 triliun pada 2026. Hal itu mendorong IMF menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi global menjadi hanya berada di poin 2,9 persen pada 2023.

Pelemahan ekonomi global memang isu besar, dampaknya akan begitu terasa di negara berkembang, terutama bagi masyarakat miskin dan menengah ke bawah, sekalipun mereka tidak begitu peduli karena toh dengan atau tanpa resesi pun kemiskinan masih melekat padanya. Kegilaan ini dimeriahkan pula oleh gembor-gembor media dan spekulan ekonom, juga ditopang oleh euforia influencer. Jadi, kita mesti beri sedikit apresiasi atas kepanikan yang dibuat ini.

Kondisi-kondisi mengkhawatirkan yang disebabkan pandemi, resesi, perang, kelaparan, kelangkaan energi, ketidakpastian, dll, seolah-olah mempertegas pertanyaan klasik tentang maksud kehadiran manusia di dunia. Why? Mengapa manusia mesti hadir di tempat yang berbahaya, acak, dengan kondisi yang sangat tidak menentu bagi kelangsungan hidupnya. Seolah-olah pemaknaan hidup manusia tidak ada arti lain selain survival of the fittest seperti hewan dan tumbuhan pada umumnya. Alih-alih dengan kesempurnaannya, manusia bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak—hidup mewah dan bahagia tidak termasuk. Pada saat yang bersamaan, kehidupan manusia modern yang dilingkupi kecepatan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan tidak begitu saja menyelesaikan problem manusia, namun justru melahirkan masalah baru.

Modernisme menjadikan manusia makhluk dengan kekosongan, seolah absurdisme adalah rangkaian cerita yang teruntai dengan sejarah dunia, terpatri melalui sistem yang mengikat, dan seolah kehampaan hingga kebosanan hidup yang terus terulang adalah mekanisme ilahiah yang konsekuen. Semua itu, jelas menimbulkan kejemuan, keterasingan, dan memperparah keabsurdan hidup, ad nauseam-ad absurdum. Dengan begitu, wajar bila manusia modern, pun manusia-manusia pascamodern, berlomba untuk memulai kembali pencarian puing dari pemaknaan hidup dan remah-remah kebudayaan yang tercerabut dan tergerus awan kebudayaan modern. Itulah mengapa, perlu adanya peninjuan ulang atas kebudayaan (culture revisited) dan membuka setiap tabir persoalan terkait dengan keterasingan dan keabsurdan hidup manusia, sehingga dapat menumbuhkan kembali semangat bagi manusia untuk mengarungi kehidupan yang gila ini. 

Cara Pandang Culture Revisited

Budaya adalah tema besar problematika manusia hari ini. Namun, problem tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan terikat dengan manusia, sekalipun manusia paling no life atau pelaku Hikikomori. Kita percaya bahwa budaya adalah bagian dari sejarah manusia, ia terlahir dari manusia dan dipertahankan oleh dirinya dan juga masyarakat. Kendati begitu, manusia menyadari bahwa semua itu hanyalah seberkas abstrak tanpa bentuk yang pasti. Roger M. Keesing dalam karyanya berjudul “Theories of Culture Revisited”, menjelaskan, “A culture' had a history, but it was the kind of history that coral reefs have: the cumulated accretion of minute deposits, essentially unknowable, and irrelevant to the shapes they form” (1990, hlm. 46). Baginya, budaya tidak lain adalah serpihan dari sejarah, sulit diketahui secara esensial, dan tidak relevan dengan kondisi yang dibentuk. Pandangan ini sangat cocok menggambarkan “budaya” yang kita kenal hari ini, kepopuleran. Budaya biasa yang digandrungi.

Model-model kebudayaan hari ini—itu pun bila masih dianggap budaya—diwarnai dengan berseliwerannya kampanye kemanusiaan dan gerakan-gerakan kebudayaan. Jalur cerita model kebudayaan modernis memang cukup riskan bagi perkembangan manusia, yang menjadikan manusia adalah sekadar objek produksi. Namun, budaya lama masih memposisikan manusia cukup “terhormat”, walau hasilnya tetap saja menjatuhkan diri di kubangan modernitas yang palsu dan menipu.

Manusia hari ini banyak menuntut perbedaan ditunjukkan dan dirayakan, hingga intensitasnya makin menguat. Sehingga, banyak orang berusaha menjadi “beda” hari ini. Budaya masyarakat modern haus akan kecepatan, seperti yang diungkapkan Paul Virilio, dan didorong pula oleh keterbaruan, konsumtif, modis, konsumerisme, hedonistik, dan lainnya. Benar-benar mencabut manusia dari akar budaya dan konteks kehidupannya. Maka, bisa dikatakan bahwa kita sedang hidup dalam sebuah ironi dramatik, yang bermula dari respons tentang kehidupan yang lebih baik, tapi justru tidak baik-baik benar pada realitasnya.

Budaya “keterbukaan” dan kekayaan pemikiran kita soal manusia seolah-olah menjadikan kita sebagai makhluk (paling) berbudaya dan mencari umat untuk ditarik ke dunia yang sepenuhnya indah, idaman, dan cenderung utopia. Tetapi, sebaliknya, kita justru hanya berkubang di loop kehidupan manusia yang membosankan, dengan budhi yang kehilangan marwahnya di hadapan tabir-tabir ilusi manusia modern. Mungkin, tidak ada salahnya bila para postmodernis jauh mendapatkan banyak kritikan dari para penganut modernisme—dalam perspektif orang-orang tradisionalis. Misalnya, para postmodernis, menurut Setiawan dan Sudrajat (2018, hlm. 27), mengatakan bahwa paham modernisme telah gagal dalam menepati janjinya untuk membawa kehidupan manusia menjadi lebih baik dan tidak adanya kekerasan. Namun, di saat yang bersamaan, justru masyarakat pascamodern, menurut Jameson melalui Teori Sosial Pascamodern Moderat, sebagaimana dikutip dari Setiawan dan Sudrajat (2018, hlm. 35), mendapatkan banyak kritik, di antaranya bahwa masyarakat modern itu cenderung: 1) ditandai dengan kedangkalan dan kekurangan kedalaman; 2) ditandai dengan kepura-puraan atau kelesuan emosi; 3) ditandai oleh hilangnya kesejarahan; dan, 4) ditandai sejenis teknologi baru. Tidak mengherankan bila tuntutan kritisisme adalah napas utama teori culture revisited ini demi mencari puing-puing nilai budaya dari manusia dan masyarakat yang berbudaya.

Salah satu konsepsi penting tentang culture revisited adalah bagaimana pengalaman manusia di luar tubuhnya atau dikenal dengan embodiedness. Menurut Keesing (1990, hlm. 51), “That all humans everywhere experience the world 'out there' in and through their bodies, and that this embodiedness becomes the model for cultural conceptualization of spatial orientation, agency, perception, emotion and thought, is not to say that the cultural elaborations of embodied experience all go in the same direction.” Penekanan utama di sini adalah pengalaman “di luar” dirinya dan perwujudannya menjadi sebuah model konseptual budaya, sehingga ini bukan persoalan elaborasi budaya dari sebuah pengalaman-pengalaman manusia, namun lebih kepada pancaran dari manusia itu sendiri yang hidup dan berkembang di luar tubuh (kuasanya).

Menanggapi peninjauan kembali atas budaya (culture revisited), berangkat dari kritik Roger M. Kessing, Novianti (2013, hlm. 12) yang menjelaskan bahwa terdapat beberapa poin kritik yang mesti diperhatikan, yaitu: 1) pandangannya untuk menghindari reifikasi dalam produksi dan reproduksi kebudayaan; 2) konsepsi yang mengasumsikan bahwa tradisi budaya membawa kekuatan ideologis tertentu; 3) asumsi bahwa di dalam setiap komunitas/masyarakat akan selalu ada tradisi-tradisi budaya yang subdominan dan parsial sebagaimana kekuatan hegemoni pada tradisi dominan; dan, 4) tidak dapat diasumsikan bahwa kebudayaan merupakan unit yang terbatas sehingga adanya interpenetrasi, superimposition, dan campuran/pastiche dapat lebih dipahami.

Atas pandangan tersebut, kita bisa memulai melihat bagaimana absurditas dan keterasingan manusia dari perspektif culture revisited, yang cenderung melihat konteks kehidupan manusia ini benar-benar terengah-engah untuk memastikan budaya yang mereka ikuti—atau bangun sendiri prinsipnya—valid dan membawa manusia ke kehidupan yang lebih berarti pascaketercerabutannya.

Terasing dan Kebingungan: Dilema Eksistensi Manusia

Mari kita ingat kembali bahwa budaya adalah hasil karya cipta, rasa, dan karsa manusia, pola pikir, prinsip, dan seberkas nilai yang menjadi panduan hidup dan berhubungan dengan manusia lain yang berkebudayaan. Atas dasar itu, bisa dipastikan bahwa budaya akan turut serta mengalami perubahan, seiring berkembangnya manusia.

Menurut Goodenough (1994), kebudayaan tidak sekadar bersifat statis/ajeg, tetapi dinamis. Hanya saja, kekhawatiran akan perkembangan budaya yang semakin tidak menyentuh sisi sentimentil manusia, tidak tertata, dan prematur, membuatnya semakin kehilangan prinsipil dan nilai-nilai filosofis. Keduanya lenyap karena kecepatan-kecepatan yang tidak dibarengi dengan kedewasaan dan kebijaksanaan dalam perenungan nilai-nilai kehidupan. Pembentukan nilai-nilai baru dalam suatu masyarakat yang menggantikan tradisi-tradisi lama dan kemudian manusia mendukung nilai-nilai baru tersebut, kemungkinan besar konsekuensi yang diterima ialah kondisi transisi dan manusia akan mengalami keterasingan (teralienasi) terhadap dirinya dan lingkungan sekitarnya (Ekawati, 2015, hlm. 140-141). Ujung-ujungnya, manusia membuat telur setengah matang, kendati masih nampak tak masak dan masih mengalirkan kuning telurnya, tapi rasanya cukup nikmat dan ingin sesegera mungkin menikmatinya.

Masalah muncul ketika kita menyadari bahwa hari ini kita berada di era di mana masyarakat berada pada kungkungan industrialisasi, kapitalisme, dan konsumerisme. Sebagaimana pernah disebutkan sebelumnya, masyarakat modern industrial hari ini cenderung mengalami banyak degradasi di berbagai kondisi, dari kehampaan hati sampai keraguan akan jati dirinya dalam masyarakat. Krisis kehidupan semacam ini hanya dapat dipahami dan diterangkan jika kita melihat gejala negatif masyarakat industri, yaitu timbulnya rasa kesepian, hilangnya struktur kemasyarakatan yang kukuh, dan ambruknya makna yang berlaku (Troffler, 1990, hlm. 29).

Persoalan alienasi saja masih belum cukup, terdapat faktor absurditas yang turut membersamai manusia. Sedikit disinggung terkait keabsurdan, konsep ini cenderung ingin menggambarkan kehidupan manusia yang tidak terduga dan tidak masuk akal. Keabsurdan sendiri bisa jadi adalah rangkaian dari suatu gejala kesangsian dan kebingungan akan pemaknaan manusia yang berujung pada suatu premis yang menempatkan kehidupan dunia dengan/tanpa sepenuhnya cukup menderita dan beresiko. Dikutip dari laman LSF Discourse (2018), satu yang pasti dari absurditas itu sendiri bahwa ia dilahirkan, dan absurditas bisa terwujud karena terdapat konfrontasi di antara beberapa hal, misalnya ia akan tampak saat kontradiksi terus diolah oleh nalar dan ketika nalar tidak dapat menyatukan atau menyusun hal–hal tersebut menjadi satu pemahaman logis dan terstruktur. Kontradiksi itulah yang membuat manusia berada dalam nuansa dilematis akut dan merasa terpojokan di dunia, yang ironisnya dibuat begitu mewah dan bersahaja oleh tangan mereka sendiri—juga media massa. Ini tak ubahnya ego manusia yang memakan dirinya sendiri, senjata makan tuannya yang dimiliki manusia. Tidak heran, Shofa (2012, hlm. 81-82) menilai bahwa manusia secara internal sering menjadi tawanan ego aspek materialnya, teralienasi oleh pandangan absurditas dunia.

Ego yang memuncak dan dorongan semakin menggila dengan materialistik, terasingkan dari makna kehidupan, dan diguncang oleh absurditas dunia, sempurnalah tantangan eksistensialis manusia modern. Dalam konsep eksistensialisme, absurditas mengacu pada pengertian hidup manusia yang tidak bermakna, tidak masuk akal, serta tidak bernilai, kondisi hidup dalam ketidakmampuan memahami dunia, sebagaimana disinggung oleh Albert Camus (Hermawan, 2021, hlm. 12). Ketidakbermaknaan hidup yang melingkupi manusia, mengisyaratkan tentang jawaban “iya” untuk setiap perkembangan zaman dan mengikutinya tanpa sekalipun menoreh atau kritis dengan keadaan. Pribadi yang tidak sehat ini akan mengancam kebermaknaan hidupnya, dan hendaknya diakhiri sesegera mungkin, sebelum benar-benar menyakiti dan menodai hidupnya dan hidup orang lain. 

Kepercayaan diri manusia pada era modern ini—saya menyebutnya information age—memang perlu diapresiasi dengan batasan-batasan jelas dan tidak menimbulkan kesombongan baru, seperti layaknya demam pengakuan eksistensi manusia kini. Sama dengan kesombongan beberapa ilmuwan yang memposisikan manusia sebagai “pusat dunia”, hal yang sama dialami manusia modern dengan krisis-krisis eksistensinya, menilai mereka sendiri sebagai pencipta tindakan hingga perilakunya dan semua tertuju pada ia sebagai pusat semesta. Padahal, semua itu terlalu berlebihan, dan tidak lain hanyalah sebuah ilusi, yang mana justru menunjukan secara tersirat ada ketakutan manusia terhadap keterbatasannya sendiri, sehingga membuat hal-hal demikian utopis dan bahagia yang setidaknya mengobati perasaannya akan kesendirian. Pada beberapa kesempatan, Erich Fromm (1955, hlm. 111) pernah mengungkapkan: “He does not experience himself as the center of his world, as the creator of his own act, but his act and their consequences have become his masters, whom he obey, or whom he may even worship.” Jadi, siapa mendorong siapa? Siapa memaksa apa? Dan, satu hal yang jelas, jawaban sesungguhnya menempatkan manusia sebagai objeknya, setidaknya untuk era industrialisasi ini. 

Baca Juga: Pemimpin Impian Pemuda dan Referensi Idealisme Kepemimpinan
Etika Pancasila dan Komitmen Kebangsaan dalam Menghadapi Tindakan Koruptif
Efek Pacsapandemi dan Kebangkitan Kemanusiaan

Transformasi Hingga Pembebasan Diri 

Sebenarnya, manusia sudah dibekali oleh senjata alami guna mengarungi dunia yang kian hari makin gila dan tidak sehat, baik untuk fisik maupun jiwa kita. Senjata yang dimaksud adalah otak dan jiwa, yang merupakan satu kesatuan dan tidak terpisahkan. Adapun kekuatan lain yang turut menopang keduanya adalah intuisi, yang mesti diasah dan dikembangkan sehingga dapat menggerakan diri manusia dengan lebih akurat. Semua itu adalah penekan ego manusia yang bergerak meluap-luap. Kunci bagi pembebasan penjara ego ini bukanlah pada akal rasio, melainkan pada intuisi cinta (Shofa, 2012, hlm. 81-82). Walaupun, aku bingung, harus memulai dari mana untuk menggambarkan intuisi cinta, mungkin perasaan kita, kah?

Keabsurdan dan teralienasi dicirikan dengan sesosok lain, yang sekilas tidak ada namun nyatanya ada, yang mampu membuat manusia melakukan sesuatu di luar atas kehendaknya. Mungkin, terdengar konyol, mengingat manusia adalah makhluk yang diberkati dengan kehendak (wewenang) untuk bertindak, berpikir, dan bersikap, sesuatu yang jarang dimiliki hewan. Kenyataannya, hal itu memang benar adanya, bahkan secara terang-terangan mendorong manusia untuk melepas sekat-sekat yang membuat hidupnya hampa.

Memang benar, Fyodor Dostoevsky cenderung memandang manusia sebagai makhluk yang tidak tahu terima kasih dengan semua anugerah yang dimilikinya. Dengan begitu, perilaku manusia yang demikian diarahkan oleh kekuatan yang terpisah dari dirinya, menunjukan bahwa ia adalah pribadi yang tidak sehat dan sepenuhnya teralienasi, dan ia sungguh kehilangan dirinya sebagai pusat pengalaman-pengalaman milik-nya, serta kehilangan jati diri (Sutikna, 1996, hlm. 36). Dengan begitu, sorot utama dari persoalan ini akan dimulai dengan merujuk kapada manusia itu sendiri.

Bila manusia terus memikirkan dirinya yang penuh penderitaan, lalu mencari penawarnya dengan memasuki ilusi-ilusi kebahagiaan, maka sekalipun ia tidak mendapatkan kebahagiaan sejati, kecuali ia terima remahan-remahan yang tidak mengenyangkan. Alih-alih jiwanya terpenuhi oleh kebahagiaan, ia hanya haus dengan kebahagiaan palsu, terus haus dan tidak pernah lepas dari dahaga. Orang yang tenggelam dalam absurditas, dan hatinya berada di sudut-sudut alienasi yang memekakan jiwa, membuat eksistensinya tidak berarti. Bila pun ia muncul di publik dan menerima banyak pujian-pujian dan dielu-elukan, itu hanya sepintas dari kecepatan-kecepatan yang terlintas, hingga semua itu akan terlewat dan terabaikan kembali bila telah terlewati—semua pamor dan popularitasnya.

Dalam kehidupan yang absurd tersebut manusia seakan-akan terlempar ke dalam eksistensi di mana ia harus berkubang dalam misteri kehidupan yang tidak terpahami (Putra, 2020, hlm. 2). Sudah tidak memahami makna kehidupannya sendiri, ikut-ikutan dalam arus populer tanpa memvalidasi secercah kebenaran di baliknya, dan larut dalam ketidaktahuan, adalah paket komplet ketidakotentikan manusia yang rentan untuk disetir dan dipermainkan oleh kekuatan kuasa di luar tubuhnya.

Kondisi manusia yang demikian terbuang memerlukan sikap yang benar-benar menjadi antitesis dari absurditas dan alienasi itu sendiri. Ketidakotentikan manusia dan budaya pop yang biasa saja namun digandrungi memerlukan revolusi dari akar diri manusia itu sendiri, karena itulah transformasi watak manusia hingga struktur sosial mesti diwujudkan. Seperti diungkapkan oleh Albert Camus, dikutip oleh Putra (2020, hlm. 2), tentang cara untuk keluar dari absurditas hidup adalah dengan mencari dan membangun autensitas diri. Ada yang lebih ekstrem lagi, sebagaimana diungkapkan oleh Zhu, dkk., (2018), bahwa cara keluar dari absurditas dan alienasi manusia adalah dengan bunuh diri fisik dengan mengakhiri hidup dengan cara menusukkan pisau ke perut, minum racun, dan sejenisnya, lalu bunuh diri filosofis yang merumuskan teori untuk menjelaskan kehidupan dunia absurd, menyelimuti dengan penjelasan-penjelasan rasional. Entah apa yang dikehendaki Albert Camus dan Zhu, namun sepertinya ide kedua menjadi ide yang tepat diimplementasikan oleh masyarakat Indonesia hari ini, yaitu menjadi otentik dengan transformasi watak diri agar lebih rasional dan memaknai hidup lebih baik.

Terkait dengan otentisitas manusia, menurut Dreyfus dan Wrathall (2006), pribadi autentik adalah pribadi yang menunjukkan dirinya yang asli, menjadi diri sendiri, dan sanggup menentukan hidupnya sendiri. Dengan begitu, salah satu transformasi watak paling utama adalah bagaimana menjadikan dirinya sebagai manusia otentik, yang tidak gemar terjerembab dalam budaya pop. Keautentikan diri manusia pun berguna sebagai dasar untuk ke tahap transformasi sosial, walaupun mesti didukung oleh sebagian besar orang. Di sini, transformasi watak berarti dengan keinsafan yang dimilikinya, ia berusaha melakukan evaluasi dan pemaknaan kembali atas maksud dari kehidupannya. Seluruh pengetahuan dan kualitas mentalnya akan diuji, termasuk rasa intuisinya, akan diuji oleh kesungguhan dan penilaian tajamnya terhadap berbagai fenomena dan fakta kehidupan. Transformasi watak memerlukan waktu, dan sepanjang waktu tersebut, seseorang yang hendak menuju autentisitas diri harus mampu menahan hasrat-hasrat kecepatan orang-orang modern, dan mulailah untuk menilai dengan perlahan dan nikmatilah prosesnya. Alih-alih terus menghujat Sisifus dalam mitologi Yunani untuk dikutuk selalu hidup sia-sia seumur hidup, lebih baik menikmati proses hidupnya seperti Forrest Gump di film Forrest Gump. 

Tapi, itu belum usai, justru tantangan selanjutnya ada di upaya mempertahankan transformasi watak. Bila hanya sekadar untuk mengubah dalam jangka waktu singkat, kelak akan menimbulkan rasa pikiran yang berlebih, mungkin overthinking. Hal itu akan menjadi beban yang berlalu, dan alih-alih transformasi watak justru hanya akan mendorong nuansa kemunafikan (hipokrit). Transformasi watak memerlukan konsistensi dan komitmen. Bagaimana pun, hal semacam itu tidak bisa dilalui tanpa adanya dorongan diri untuk benar-benar mampu memahami konsep pemaknaan hidup kecuali dari dalam dirinya sendiri. Barulah, setelah keberhasilan itu, kita bisa berbicara mengenai transformasi watak berskala sosial.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//