• Opini
  • Pemimpin Impian Pemuda dan Referensi Idealisme Kepemimpinan

Pemimpin Impian Pemuda dan Referensi Idealisme Kepemimpinan

The Godfather, film yang menyuguhkan tema besar dunia gangster di era 1970-an, memberi referensi dalam menentukan seorang calon pemimpin ideal.

Sidik Permana

Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse

Peserta demonstrasi mengusung spanduk penolakan perpanjangan masa jabatan presiden di Bandung, tahun 2021. Mereka menuntut Pemilu 2024 tetap digelar. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

7 Juni 2023


BandungBergerak.idDunia ini diisi oleh miliaran nyawa manusia, namun hanya sedikit dari mereka yang tercatat sejarah. Sumbangsih para tokoh itu dalam perubahan momentum sejarah dunia dan perubahan besar dalam wajah peradaban manusia patut menjadi pendorong rasa keingintahuan kita akan kemampuannya. Dari Ibrahim hingga Joko Widodo, filsuf hingga prajurit, rakyat jelata yang revolusioner hingga para bangsawan konservatif, semuanya memiliki corak kepemimpinan tersendiri. Lao Tzu, filsuf China sekaligus pencetus Taoisme, seperti dikutip dari Marios S. Cahyadi (2014), pernah mengungkapkan, “Mengetahui orang lain adalah kecerdasan, mengetahui diri sendiri adalah kebijaksanaan sejati, menguasai orang lain adalah kekuatan, dan menguasai diri sendiri adalah kekuatan sejati.” Pesan dari Lao Tzu ini bisa menjadi sebuah khazanah referensi kepemimpinan.

Michael H. Hart (2012) dalam karyanya The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History berhasil menyusun sebuah daftar para tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah. Menurutnya, seratus orang yang terpilih tidak sebatas diukur dalam kepintaran, kekuatan, dan kehebatan, tetapi ia haruslah sosok yang mampu mengubah sejarah, mendukung kebangkitan dan kejatuhan sebuah peradaban, serta menentukan langkah banyak manusia.

Pandangan tersebut tidaklah berlebihan, bagaimana pun sejarah telah mencatat langkah besar yang mereka buat. Mengapa hal ini begitu urgen untuk dibahas? Karena krisis kepemimpinan tidak bisa dihindari, khususnya di beberapa tempat di Indonesia hari ini. Walaupun, menurut Utomo & Hanita (2020), konsep “kepemimpinan” sulit untuk digambarkan dan dijelaskan secara tunggal definisi kepemimpinan itu sendiri. Namun, nyatanya hal itu terasa, misalnya ketika calon pemimpin harus bertarung dengan kotak kosong, rendahnya partisipasi publik dalam kegiatan politik, tidak adanya role model kepemimpinan atau kepemimpinan alternatif yang mampu memenuhi ekspektasi publik, rendahnya kepercayaan, gagalnya partai politik dalam menghasilkan bursa calon pemimpin ideal. dll.

Persoalannya, tokoh-tokoh potensial seorang pemimpin, dengan berbagai coraknya, tidak terlahir setiap saat. Sehingga, layak bila hal itu menjadi sebuah krisis kepemimpinan. Krisis selalu menggambarkan suatu kondisi di mana perubahan yang signifikan tidak terelakkan (Zamoum & Gorpe, 2018). Alih-alih memimpin banyak nyawa dalam prinsip happiness state dan welfare state. Justru pemimpin yang diharapkan dapat membawa pada krisis, yang memaksa adanya perubahan. Ingatan kolektif masyarakat di setiap zaman sudah cukup mewakili perasaan terpendam mereka ketika dihadapkan dengan ketakutan dan kekhawatiran akan hidup di bawah tekanan kekuasaan absolut. Bahkan, pascalahirnya konstitusionalisme pun, kepemimpinan yang memonopoli kekuasaan kerap mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Sejarah pernah mencatat, bagaimana jutaan masyarakat Tiongkok meninggal karena kelaparan akibat kesalahan kebijakan pangan Mao Zedong, atau bagaimana tangan besinya Joseph Stalin di Uni Soviet, dll. Wajar bila seorang warga negara punya ketakutan, dan rasa itu cukup bertanggung jawab atas kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, sudah biasa masyarakat mengharapkan seorang pemimpin yang mendekati kesempurnaan.

Pemuda Punya Rasa

Idealisme publik pada sosok pemimpin berkapasitas pada era informasi sekarang tidak begitu muluk-muluk. Paradigma pluralisme global dan kualitas pendidikan yang kian bertumbuh hari ini pun turut mendorong partisipasi publik dalam memilih pemimpin secara rasional dan objektif. Walaupun kecenderungan tradisionalis, primordialis, etnosentris, dan group sentris masih bisa ditemukan pada mekanisme sosial dan politik hari ini. Setidaknya, hanya ada satu poin yang dicari oleh masyarakat pada sosok seorang pemimpin, yaitu sempurna, setidaknya mendekati sempurna. Bagian penting pada kondisi Indonesia saat ini adalah kehadiran generasi muda sebagai tantangan tersendiri dalam referensi kepemimpinan. Pilihannya antara idealisme publik, pemuda, dan realitas politik.

Komposisi masyarakat Indonesia hari ini didominasi pemuda. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2020, sebagaimana laporan Badan Pusat Statistik (2020), diperkirakan terdapat sekitar 64,50 juta jiwa penduduk Indonesia yang berada dalam kelompok umur pemuda (16-30). Dilansir dari laman Katadata.co.id (2021), hasil Sensus Penduduk 2020 menunjukan bahwa penduduk Indonesia didominasi Generasi Z, yaitu kelompok orang dengan rentang usia 8-23 tahun, dengan total 74,93 juta jiwa atau 27,94 persen dari total penduduk Indonesia. Selanjutnya, komposisi penduduk produktif terbesar ditopang oleh generasi milenial sebanyak 69,38 juta orang atau 25,87 persen, Generasi X dengan 58,65 juta orang atau 21,88 persen, dan Pre-Boomer sebanyak 5,03 juta atau 1,87 persen. Oleh karena itu, cukup fair untuk bisa melihat pandangan pemimpin idealis yang dipikirkan oleh para pemuda di Indonesia, sekaligus referensi partai politik dan calon pemimpin.

Salah satu referensi kepemimpinan yang pemuda harapkan, sebagaimana disebutkan oleh Taufan Teguh Akbari, Pengamat Kepemimpinan dan Kepemudaan, sebagaimana dilansir dari laman Kompas.com (2021), adalah pemimpin yang mengakui kekurangan dan kelemahan, termasuk dekat dengan “mitra” kerjanya, yang sekaligus menjadi ciri humble leader. Dikutip oleh Skakon, dkk., (2010), dijelaskan bahwa pemimpin memainkan peran penting dalam mendefinisikan lingkungan di mana karyawan dapat berkembang dan mengalami kesejahteraan.

Humble leader hanyalah salah satu referensi dari pemimpin ideal publik yang diwakili sebagian kecil pemuda. Bagaimana pun, ada variabel lain yang secara rangkap semestinya ada pada calon pemimpin potensial. Bisa jadi ini penanda lahirnya krisis kepemimpinan ideal yang dimaksud. Secara kompromistis, semuanya satu suara bahwa pemimpin ideal Indonesia mesti berlandaskan Pancasila dan konstitusi. Dengan begitu, problematika utamanya adalah bagaimana mencari dan kriteria apa yang mesti dimiliki oleh seorang calon pemimpin ideal untuk membawa Indonesia menuju seratus tahun kemerdekaan Republik Indonesia, sesuai dengan napas philosophische grondslag bangsa.

Raja dan Revolusioner

Raja dan revolusioner sebagai bagian dari statuta kekuasaan. Tentu, untuk memastikan pemimpin seperti apa yang hendak dicari, kita harus kembali pada persoalan sumber kepemimpinan dan corak pergerakannya. Di tangan kekuasaan seorang raja maupun tindakan revolusioner seseorang, masa depan suatu bangsa dapat terarahkan. Bagi raja, menurut Meyer (1981), sumber legitimasi kekuasaannya terdapat pada identitas yang dilekatkan pada keberadaannya dan bagaimana ruang itu berfungsi dalam rasa hormat yang krusial/sakral. Namun, kesakralan seorang raja dan rasa hormat itu terkadang cenderung melahirkan tindakan abusive. Tetapi, bila ketegasan dalam kesakralan itu diarahkan pada jalur yang tepat, tetap diperlukan dalam jiwa seorang kepemimpinan. Batasannya tetap mesti hadir, misalnya pada konstitusi dan ethics, sebagai upaya penghindaran kekuasaan absolut yang akan senantiasa korup. Itulah mengapa, musuh absolutisme raja hanyalah konstitusi dan revolusi rakyat, dan mesti lebih membumi.

Sedangkan, revolusioner merujuk pada sebuah tindakan yang berpotensi “mencabut sesuatu dari akarnya”. Kroeber (1996) menjelaskan bahwa, “In ‘revolutionary’ situations we may find such processes as the thrust to uproot parts of the culture and society, to lay new foundations and establish new values, to fashional together different relationships among persons, and sometimes also to find a new world role for the nation”. Pada tahap tertentu, revolusi adalah konstitusi itu sendiri, dengan pola perubahan yang cepat, tentunya mesti dipertahankan dengan cepat pula. Fondasi kepemimpinan pascarevolusi itulah yang kerap menjadi sebuah tanda akan datangnya obsesi kekuasaan, yang tidak jauh berbeda dengan absolutisme raja, seperti pada Revolusi Perancis. Hal yang perlu dihindari adalah obsesi kekuasaan itu yang kemudian sama-sama melahirkan tindakan abusive, persis digambarkan dalam ending film The Hunger Games: Mocking Jay.

Tapi, poin penting dari keduanya adalah, corak kepemimpinan seorang raja berkonstitusional dan revolusioner yang merujuk pada relasi kehendak rakyat. Konsekuensinya, pemimpin mesti hadir dalam kehendak rakyat dan turut serta dalam kerja sama mutualis antarberbagai pihak. Bila raja merepresentasikan kekuasaan, ketegasan, dan titah, maka konstitusi sebagai pembatas harus lebih kuat dengan memposisikan rakyat sebagai penguasa “sesungguhnya” dan kebijaksanaan nurani sebagai tuntutan dari semangat Ketuhanan (dengan huruf kapital dari penulis, red.). Begitu juga seorang revolusioner yang merepresentasikan sebuah perubahan fundamental dan perwujudan dari sebuah harapan hidup yang lebih baik. Artinya, pemimpin mesti terpotret sebagai raja, dengan frame-nya adalah konstitusi dan nurani, dan pakaian kebesarannya adalah revolusi. Pemimpin mesti berwibawa dan progresif, dan ia hadir dengan kuasa di satu sisi, dan sisi lainnya adalah seorang penggerak atas kekuasaan itu.

CEO dan HRD

Dari era raja dan revolusioner, kita melompat jauh ke masa sekarang, dunia yang dipenuhi korporasi dan pertumbuhan ekonomi. Bisa dikatakan, masyarakat mesti belajar banyak terhadap seorang pemangku jabatan Human Resource Development (HRD) karena telah berjasa bagi suatu perusahaan dalam mencari kandidat tim terbaik. HRD dan CEO memiliki potret sama sebagai pencari mitra terbaik perusahaan, mungkin kapasitas dan job desk yang diampunya saja yang berbeda. Bila CEO semampu mungkin mempertahankan bisnis, maka HRD memastikan agar perjalanan bisnis tidak terhambat terutama dari faktor utamanya yaitu Sumber Daya Manusia (SDM). Hal yang menarik adalah CEO yang merangkap jabatan sebagai HRD merupakan representasi dari pemimpin ideal masa kini, terutama di kalangan para pemuda dengan modern culture-nya.

Tentunya, CEO hingga HRD mesti menghadapi berbagai tantangan kepemimpinan. Semakin kompleks, semakin sulit untuk dihadapi, namun semakin besar pelajaran yang didapat. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh lembaga Center for Creative Leader (2020), dari data 763 pimpinan pada level menengah dan eksekutif sebuah organisasi yang tersebar dari China/Hong Kong, Mesir, India, Singapura, Inggris, Spanyol, dan Amerika Serikat, terdapat enam tantangan kepemimpinan, yaitu mengasah efektivitas kerja, menginspirasi satu sama lain, mengembangkan potensi tim dan mitra kerja, memimpin sebuah tim, memandu kepada perubahan, dan mengatur para pemangku kepentingan (manajerial). Dengan sendirinya tantangan itu berubah menjadi masalah yang harus diselesaikan.

Semua ini akan mengarahkan pada satu persoalan penting, yaitu problem solving. Hal ini menandakan bahwa salah satu skill penting pemimpin adalah menguasai dan mampu menyelesaikan masalah dengan berbagai solusi terbaik dan secepat mungkin. Kemampuan problem solving ini bisa dikatakan sebagai napas utama dipilihnya para pemimin, begitu juga para pejabat negara lainnya. Dikutip dari artikel Forbes.com (2013), ditegaskan bahwa, “Problem solving is the essence of what leaders exist to do”. Sedangkan, kita mengetahui bahwa umumnya aspirasi utama dari masyarakat adalah terbebas dari penderitaan, ketidaksejahteraan, ketidakadilan, dan ketidakbahagiaan, sekaligus jadi alasan pemimpin terpilih karena percaya bahwa dengan terpilihnya ia, maka masalah itu akan berkurang.

Cerdas dan Arif Bijaksana

Mulai dari seorang raja, tokoh revolusioner, CEO, HRD, termasuk diri sendiri, kecerdasan dan kebijaksanaan berperan penting dalam menempa seorang pemimpin menjadi pribadi yang didambakan dan dielukan. Kualitas kognitif-afektif-psikomotor, dan kebijaksanaan nurani yang berjalan sinkron adalah komponen penting seorang pemimpin, setidaknya salah satunya dapat dipenuhi. Penyebabnya adalah setiap tindak-tanduk pemimpin berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Karena itulah, sinkronisasi keduanya mestilah saling menopang satu sama lain. Fakta membuktikan banyak dari tokoh-tokoh sejarah dunia mampu memanfaatkan potensinya dengan cerdas, tetapi jarang untuk tidak mengindahkan rasa kebijaksanaannya. Problematikanya adalah seorang pemimpin harus berjalan di antara kecerdasan maupun kebijaksanaan nurani. Bila hal ini dianggap biasa, maka kekhawatiran akan munculnya para pemimpin tak berkapasitas dan berintegritas benar-benar terwujud.

Diungkapkan oleh PLT Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, sebagaimana dilansir pada laman Kompas.id (2021), bahwa tindakan kepala daerah akhir-akhir ini, baik dari sisi kebijakan maupun program, menunjukkan kemerosotan, di mana hal itu terjadi tidak hanya pada sisi kapasitas, tetapi juga integritas. Lagian, akal sehat mana yang mampu menerima dirinya dipimpin oleh orang yang tidak cerdas atau tidak bijaksana. Warga negara memutuskan menjadi “warga negara” agar ia bisa mendapatkan kenikmatan haknya sebagai warga negara, termasuk dipimpin oleh orang yang akan mempengaruhi hidupnya, langsung ataupun tidak.

Baca Juga: Etika Pancasila dan Komitmen Kebangsaan dalam Menghadapi Tindakan Koruptif
Efek Pacsapandemi dan Kebangkitan Kemanusiaan
Sepak Terjang DPD RI dan Gerakan Menuju Reformasi Jilid 2

The Godfather atau Martir Tuhan

Berkaca pada poin sebelumnya, mengenai kecerdasan dan kebijaksanaan, penulis teringat dengan salah satu film terbaik sepanjang masa, yaitu The Godfather. Film yang mengawali tema besar dengan konsep kriminal dan gangster di era 1970-an bisa menjadi referensi dalam menentukan seorang calon pemimpin. Namun, di satu sisi, penulis teringat dengan berbagai pengorbanan para martir Tuhan dalam menyebarkan firman-firman-Nya. Tentu, dua hal ini sangat jauh berbeda dan terasa memiliki dua ranah yang saling bertentangan, namun referensi ini bisa menjadi sebuah kolaborasi yang menarik. Bagaimana pun, pemimpin itu mestilah memahami “siapakah dirinya”.

Dalam hal ini, The Godfather ingin menunjukan kepada kita bahwa seorang pemimpin sekelas Vito Corleone—kelak digantikan oleh anak laki-lakinya, Michael Corleone—mesti memiliki kekuatan dan komitmen penuh terhadap tanggung jawab dalam mempersatukan keluarga dan mempertahankan keberlangsungan bisnisnya. Baginya, nama saja tidak cukup, namun ia mesti memiliki pengaruh besar yang dibangun melalui relasi, tanggung jawab, dan karismanya yang terbentuk selama puluhan tahun. Ini juga menjadi sebuah kritikan bagi partai politik yang kerap membuka bursa calon pemimpin tanpa pembekalan yang baik. Pendidikan politik bagi masyarakat agar paham politik dan dibekali skill kepemimpinan membutuhkan waktu yang panjang dan bertahap, di sinilah proses suprastruktur politik partai diuji (Rahman, Satriawan, & Diaz, 2022).

Namun, di sisi lain, pengorbanan dan kerelaan pun mesti hadir dalam seorang pemimpin. Layaknya martir Tuhan yang rela meninggal demi menyebarkan firman-Nya, seorang pemimpin harus pula bertanggung jawab atas nyawa orang yang dipimpinnya. Begitu kita melihat Vito yang membantu rekan dan kerabatnya dan tertembak, lalu ia pun menyerahkan tampuk kekuasaan “Don” kepada Michael karena dirasa cocok, berkomitmen, dan bertanggung jawab. Pada poin ini, The Godfather menjadi sebuah gambaran bahwa seorang pemimpin mestilah hadir pada setiap momentum, bertanggung jawab dan mampu mengkalkulasikan berbagai potensi yang ada demi mempertahankan sesuatu yang berharga, dalam hal ini orang yang dipimpinnya. Bila perlu, pemimpin mesti menjadi martir demi masa depan yang lebih baik.

Gene Klann (2003) dalam buku Crisis Leadership, menjelaskan bahwa kepemimpinan senior dari suatu organisasi merupakan kunci pada saat sebelum, ketika, dan setelah krisis. Dengan kata lain, seorang pemimpin haruslah menjadi bagian dari kolaborator yang mendukung upaya break down silos, komunikator ulung dan rela berkorban demi kejujuran dan transparansi, layaknya ketulusan pemimpin untuk memimpin.

Dengan demikian, referensi kepemimpinan cukup beragam. Namun, referensi itu mengarah pada satu hal penting, yaitu pemimpin harus hadir seideal mungkin. Ekspektasi itu mesti terwujud agar menghasilkan kepercayaan. Dan, akhirnya masyarakat bersama pemimpinnya dapat mewujudkan perubahan bersama.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//