• Opini
  • Efek Pacsapandemi dan Kebangkitan Kemanusiaan

Efek Pacsapandemi dan Kebangkitan Kemanusiaan

Pandemi berpengaruh besar pada kemanusiaan, persis ketika era wabah flu Spanyol di abad ke-20, wabah hitam di Eropa, atau wabah-wabah global lainnya.

Sidik Permana

Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse

Petugas membersihkan gedung eks Akademi Keperawatan Kebonjati yang dijadikan Pusat isolasi terpadu Covid-19, Bandung, Jawa Barat, 21 Februari 2022. (Foto Ilustrasi: Prima Mulia/ BandungBergerak.id)

30 Mei 2023


BandungBergerak.idJutaan orang menemui ajalnya selama pandemi Covid-19 yang berlangsung tiga tahun lalu. Per tanggal 1 April 2022 World Health Organization (WHO) mencatat, kasus terkonfirmasi Covid-19 mencapai 486.761.597 orang, dengan angka kematian 6.142.735 kasus. Eropa dan Amerika Serikat mendominasi kasus global. Tidak jauh berbeda, perkembangan Covid-19 di Indonesia per tanggal 2 April 2022 yang dimuat laman resmi Covid19.go.id (2022) menunjukan total terkonfirmasi mencapai 6.018.048, sebanyak 5.764.636 di antaranya sembuh.

Dunia saat ini sedang dalam pemulihan yang disebabkan pandemi global tersebut. Hari ini, dunia sedang memulihkan diri dari efek pacsapandemi (postpandemic effects), sekaligus momentum bagi WHO untuk mewujudkan ketahanan kesehatan bagi semua orang. Dalam keterangan resminya, pada tahun 2024 WHO berencana untuk mencapai kesehatan yang lebih baik untuk target satu miliar orang, memberikan keuntungan bagi lebih dari satu miliar orang dalam mencapai akses yang mencakup keseluruhan bagian dari kesehatan, seperti layanan kesehatan tanpa pembebanan finansial, dan perlindungan yang lebih baik institusi kesehatan.

Pada saat yang bersamaan, tahun 2022 menjadi langkah besar bagi bangsa Indonesia dalam pemulihan nasional dan bersiap-siap menghadapi event besar berikutnya, misalnya pemilu 2024. Dikutip dari laman Covid19.go.id (2022), diketahui bahwa alokasi anggaran untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2022 mencapai 455,62 triliun rupiah, dengan prioritas klaster penanganan kesehatan sebesar 122,54 triliun rupiah, klaster perlindungan masyarakat sebesar 154,76 triliun rupiah, dan klaster pemulihan ekonomi sebesar 178,32 triliun rupiah. Mungkin, beberapa persoalan ekonomi dan kesehatan, misalnya minyak goreng atau malaria, HIV, kanker, dan lainnya, akan teralihkan sementara. Setidaknya, bangsa ini mesti mengakhiri persoalan mendesak sekelas pandemi Covid-19.

Akan tetapi, apakah ragamnya upaya pemulihan dapat menjamin berkurangnya dampak pandemi? Efek pacsapandemi Covid-19 menunjukan pada dunia bahwa pandemi Covid-19 “memberikan” pilihan untuk menuju sebuah arah yang baru. Karestan Koenen (2020), dikutip dari The Harvard Gazette (2020), mengungkapkan bahwa pandemi memberikan pukulan yang telak dan akan bertahan lama, mempengaruhi hampir setiap aspek kehidupan dan pribadi seseorang dengan durasi yang cukup panjang dan meluas, misalnya kematian, jobless, dan bisnis. Ketidakpastian akan masa depan dunia pun turut menyumbangkan berbagai pikiran traumatis kepada semua orang. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa pandemi mungkin bisa saja lenyap atau menuju adaptasi baru, namun dampak komprehensifnya akan terasa secara radikal.

Banyak yang memprediksi wajah dunia pascapandemi, salah satunya World Economic Forum. Dilansir dari laman ekonomi.bisnis.com (2022), mereka menyebutkan bahwa terdapat lima perubahan masa depan pascapandemi, yaitu terjadinya perubahan pola aktivitas perkantoran, munculnya ruang 15 menit (efisiensi), layanan pesan antar melalui pasar cloud, sistem keamanan menggunakan detak jantung, dan adaptasi cara belajar secara digital. Prediksi serupa pun banyak dilontarkan oleh beberapa intelektual. Begitu juga dengan apa yang dipikirkan oleh penulis.

Satu hal yang pasti, rasa traumatis dan kegelisahan hidup pascapandemi, serta ketidakpastian masa depan membuat semua orang berada dalam kegilaan dalam mempertahankan kehidupannya. Bagaimana pandemi menjauhkan kita dari orang-orang terkasih, persis ketika era wabah flu Spanyol di abad ke-20, wabah hitam di Eropa, atau wabah-wabah lainnya. Mampukah kemanusiaan dipertahankan, ketika semua orang diberikan pilihan untuk mempertahankan tuntutan biologisnya lalu menghadapi ketidakpastian masa depan atau menjadi martir. Sanggupkah mempertahankan solidaritas di tengah-tengah perjuangan hidup yang kian tak menentu.

Gumam Humanisme

Socrates berkata, “How we ought to live?” Lalu, aku timpali, “Dan, kenapa?” Semua itu mewakili pandangan kita terhadap fenomena kemanusiaan di era post-pandemic. Peletakan kepercayaan diri manusia terhadap segala perkembangan hari ini, teknologi dan ilmu pengetahuan, benar-benar teruji yang ternyata menimbulkan kelengahan dan kelemahan yang terabaikan. Kecenderung congkak manusia modern dibandingkan peradaban manusia berabad-abad yang lalu, nyatanya membuktikan bahwa kehidupan tidak jauh lebih baik, kehidupan sama berbahayanya. Semuanya hanya berusaha menutupi kelemahan dan tidak benar-benar menaklukan apapun. Pandemi Covid-19 adalah permulaan bagi semua orang yang meremehkan dan kerap menisbahkan masa depan secara matematis dan determinis. Covid-19 adalah shock therapy di tengah euforia masa damai.

Kegilaan efek pacsapandemi mulai unjuk gigi, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen untuk beberapa komoditas di Indonesia naik, kelangkaan minyak goreng, peningkatan bahan bakar minyak dunia, perang Rusia-Ukraina, geopolitik yang memanas, dan lainnya, memaksa semua orang berpikir jernih di tengah upaya survive dengan “kenormalan” yang sedikit estetik. Suatu perubahan memerlukan pengorbanan dan itu sepadan sejauh mana Anda menilainya karena bagaimana pun “Dead man tells no tales”, namun “Life man tells all tales”. Bagaimana keadaan kemanusiaan manusia.

Sejarah humanisme Yunani mengingatkan kita untuk kembali pada keseimbangan, seperti Taoisme dan Yin-Yang. Humanisme, sebagai paham “pembanding” dari agama, dengan demikian dapat dijadikan sebagai dorongan positif untuk mengembalikan cita-cita humanisasi (memanusiakan manusia) pada agama (Hadi 2012). Kita percaya bahwa humanisme punya tujuan mulia, seperti diungkapkan di atas, untuk (kembali) memanusiakan manusia—Agama bertujuan demikian (seharusnya). Namun, pidato dari M. Sastrapratedja dengan tajuk “Setelah Limaratus Tahun, Berakhirkah Humanisme?”, pernah menyebutkan bahwa humanisme bukanlah suatu konsep yang bersifat monolitik, akan tetapi memiliki beberapa model yang semuanya mengedepankan paham dimensi esensial manusia universal (Indratno 2009). Humanisme memiliki kerangka utama dalam memposisikan esensi kemanusiaan ke tahap di mana orang-orang harus menyadari bahwa itu ada dan perlu diadakan.

Plato, termasuk Sokrates, meyakini bahwa integrasi antara intelektualitas-spiritualitas pada rasio dan hati nurani merupakan yang terbaik untuk mencapai kebijaksanaan (Hadi 2012). Anehnya, semua itu justru jadi bahan pertentangan hari ini, yang seharusnya saling mengevaluasi diri. Hal yang menyedihkan, pertentangan itu mengabaikan perwujudannya. Immanuel Kant, dikutip Rachel (2012), pernah menjelaskan, “Act so that you treat humanity, whether in your own person or in that of another, always as an end and never as a means only”. Humanisme pada akhirnya dikampanyekan dengan cara bergumam, kelantangan yang menyertainya menjadi buah bibir yang tidak berujung, sedangkan umat manusia masih harus dihadapkan dengan berbagai penderitaan dan ketidakpastian.

Jalan kemanusiaan perlu dilantangkan, solidaritas perlu diwujudkan, dan komitmen harus patenkan. Intensitas keributan tidak berarti mesti dikurangi. Cukup naif dan terlalu berharap bila semua berjalan sesuai keinginan, setidaknya humanisme tidak bergumam ketika dihadapkan dengan berbagai fenomena kehidupan. Manusia, sampai kapan pun, tidak akan tergantikan, dalam sisi kebijaksanaannya, sekalipun oleh robot algoritmik hingga Artificial Intelligence (AI).

Memaknai Solidaritas dalam Moralitas

The morally right thing to do is always the thing best supported by the arguments (Rachels 2012). Bertindak humanis memerlukan sebuah pertanggungjawaban, karenanya moralitas memerlukan argumentasi yang kuat. Solidaritas sebagai tindakan bermoral perlu dipastikan bekerja dengan baik guna menghindari sentimen, misalnya disandingkan dengan kemunafikan, bias, standar ganda, dan lainnya. Hebatnya, tindakan semacam ini makin menjamur di era informasi ini. Solidaritas bisa menjadi cara untuk memperkuat basis massa dalam mencapai sebuah kediktatoran kelompok. Regulasi memang mencegat keseluruhan organisasi resmi dalam suatu negara untuk bertindak secara berlebihan atas nama solidaritas, namun itu tidak bisa menjamin kelompok solidaritas untuk melepaskan psikologi massa yang brutal dan mengobarkan “kebersamaan”. Solidaritas adalah kekuatan yang tidak terbantahkan dalam meningkatkan kepercayaan diri. Namun, kecenderungan kekuatan yang berlebihan semacam itu, dalam tahap yang tidak diinginkan, akan memunculkan kesombongan dan tindakan hiperaktif yang membuat makna solidaritas sendiri bergeser dari sekadar himpunan kekuatan dan kebersamaan, menjadi ajang kediktatoran mini oleh sekelompok masyarakat. Itulah kenapa konstitusionalisme lahir.

Solidaritas dipertahankan dengan sikap, perilaku, dan tindakan kemanusiaan. Saat ini, karakter ini diperlukan, tepat ketika semua orang berjibaku dengan permasalahan yang tidak bisa diselesaikan sendiri. Namun, guna menjaga marwah solidaritas, maka perlu adanya kebijaksaan dalam pelaksanaannya. Rachel (2012) mengungkapkan bahwa seorang agen moral mesti teliti, tidak memihak kepada kepentingan setiap orang yang terpengaruh oleh apa yang dia lakukan, yang dengan hati-hati menyaring fakta dan memeriksa dampaknya dan menerima prinsip-prinsip perilaku hanya setelah menelitinya demi memastikan bahwa prinsip-prinsip itu dibenarkan, termasuk bersedia untuk “mendengarkan alasan”, bahkan ketika itu berarti mesti merevisi keyakinan sebelumnya; dan siapa, akhirnya, yang bersedia bertindak atas hasil musyawarah ini.

Solidaritas bisa disandingkan dengan kesadaran, begitu juga lebah dan semut, yang membedakan manusia dari robot algoritmik. Dalam beberapa kasus, tindakan ini merupakan perwujudan pengabdian manusia terhadap Tuhan—lalu menambah kebaikan dan amalannya. Kelompok post-humanism mengkritisi, secara spekulatif, bahwa penerus post-human yang dihasilkan dengan pikiran yang ditiru secara digital, bentuk kehidupan sintetis, atau robot menunjukkan kenaifan yang kikuk (Roden 2015). Bisa dikatakan bahwa solidaritas adalah bentuk eksistensi diri dan upaya mencapai transendensi. Manusia selalu berada di luar dirinya, dan dalam memproyeksikan atas kehilangan ia di luar dirinyalah manusia direalisasikan; dan, di sisi lain, dalam mengejar tujuan transendenlah dia bisa eksis (Sartre 2007). Bagaimana pun, untuk mencapai eudaimonia (kebahagiaan) sebagai manusia ideal adalah jika manusia mampu menyelaraskan antara badan dan jiwa.

Politik Masih Menjadi Primadona

Siapa yang tidak tertarik untuk menjadi bagian dari masyarakat yang ditimpa kesusahan lalu datang menjadi pahlawan dengan memberikan sebuah pengharapan akan kehidupan yang lebih baik, dan dialah—the one and only—seorang politisi spesialis demagog dan sales marketing. Di tengah gencar-gencarnya solidaritas membangun jati diri, politikus hadir seperti semut dan gula. Ketika dunia dikoyak pandemi pun, politik akan selalu menjadi primadona, apalagi Indonesia menjelang pemilu 2024. Percaya atau tidak, terlepas dari survei yang mengejutkan dan konon metodologis, kecenderungan masyarakat untuk jengah dengan kehidupan politik masih tetap ada, sedangkan di saat yang bersamaan masyarakat harus berusaha bertahan hidup. Media mainstream dan penyurvei yang kerap mengejutkan kita dengan suguhan informasi dharma-dharma politisi selalu datang tepat waktu seperti saat ini. Bukankah itu mampu memaksa iler mengalir deras.

Padahal sesungguhnya, pada era pemulihan seperti sekarang, masyarakat Indonesia sudah tidak sabar untuk memulai kehidupan baru pascapemulihan. Arah politik dan pembangunan baru diharapkan jauh lebih baik di masa depan. Bila perlu, masyarakat berharap ada lampu ajaib hari ini lalu keluar jin pengabul tiga permintaan dan ketiga permintaannya adalah, “Semoga masyarakat tidak diadu domba oleh si lidah bercabang”, “Lindungi kehidupan masyarakat Indonesia dari ketidakpastian”, dan “Patenkan kedamaian dan kesejahteraan dengan mengurangi orang-orang gila nan berbahaya di lingkup kekuasaan”.

Namun, ini bukan dunia Disney. Guna mewujudkan realisasinya, solidaritas masyarakat sangat dibutuhkan. Rubenstein, et al. (2021) menjelaskan, “If we in the peace and conflict studies community do not want scape­goating to further dominate the political agenda, then we need to be active agents in the facilitation of change in socio-economic and political affairs, from our immediate communities to global relations”. Dan, untuk menjadi sebuah agen, kita sendiri harus turut-serta dalam agenda politik dan komunitas sosial politik, terlebih di level lokal. Demi lancarnya misi ini, kerja sama dan solidaritas tidak bisa dihindarkan.

Tidak salah bila para analis berasumsi bahwa virus corona pada akhirnya akan hilang sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama, tetapi banyak yang percaya bahwa masyarakat pasca-Covid-19 akan berubah dalam hal-hal mendasar (Rubenstein, et al. 2021). Salah satu hal mendasar itu ialah budaya politik masyarakat, yang dipastikan masuk dalam list itu. Ini belum termasuk level demokrasi kita yang berada di partial democracy (demokrasi semu) dengan masyarakat yang makin takut untuk berpendapat dan memberikan kritikan. Begitu juga buruknya kualitas komunikasi publik para politikus dan pejabat, para demagog yang masih gemar membuat keributan, dan politikus sales marketing yang makin gencar mempromosikan diri. Bukan tidak mungkin bahwa masyarakat Indonesia benar-benar hopeless. Namun, saya bisa pastikan bahwa warganet Indonesia lebih ahli mengkalkulasikan kondisi bangsa dari pengamat politik dan akademisi. Pandemi memperdalam dan membuat pola marginalisasi lebih terlihat dan juga melibatkan pemerintah untuk mempertahankan bentuk-bentuk penindasan ini, sedangkan di saat yang sama, pandemi dan karantina mampu menghentikan banyak protes jalanan di seluruh dunia, sehingga memicu serangkaian tuntutan baru dan bentuk mobilisasi baru (Rubenstein, et al. 2021).

Pertimbangan Fraser (2013) mungkin ada benarnya, bahwa menurutnya saat kita mempertimbangkan pascakrisis di masa depan, perlu diperhatikan tiga perjuangan yang berbeda namun saling terkait, meliputi redistribusi (ketidaksetaraan), pengakuan (identitas), dan representasi (inklusi politik). Solidaritas antardimensi akan terwujud, bila sejak awal beberapa pihak mulai berpikir untuk dapat saling berkontribusi dan menenangkan. Benar, solidaritas dunia maya, yang justru makin menguat dan mampu menstrukturalisasi opini publik dengan lebih efisien dan masif dan menjadi counter tersendiri bagi penipu. Solidaritas maya adalah kekuatan abad informasi ini, dan Indonesia memiliknya.

Egoisme Lebih Buruk dari Virus?

Sedari awal, solidaritas mesti dibangun dengan ketulusan dan dialog guna pertanggungjawaban. Solidaritas tertutup dan membabi buta merupakan rupa egoisme yang tidak berkepedulian. Egoisme dalam etik tidak seutuhnya salah, bila dalam kewajaran. Jangan lupa, manusia juga makhluk individual (tak terbagi) yang berusaha mencari keamanan dan kebahagiaan. Dalam hal ini, etika keegoisan menyebutkan bahwa setiap orang harusnya mengejar kepentingan dirinya sendiri secara eksklusif, yang mana hal ini adalah moralitas keegoisan yaitu bahwa satu-satunya tugas kita adalah melakukan apa pun yang terbaik untuk diri kita sendiri, orang lain hanya penting sejauh mereka dapat memberi manfaat bagi kita (Rachels 2012). Lebih lanjut, Rachels (2022) menyebutkan, “Everyone knows that people sometimes seem to act altruistically; but if we look deeper, we may find that something else is going on. And usually it is not hard to discover that the “unselfish” behavior is actually connected to some benefit for the person who does it”. Sekalipun kita nampak secara altruistik, toh pada akhirnya kita akan menemukan bahwa kita pun berusaha mencari manfaat dari tindakan mulia yang dilakukan.

Kebrutalan dalam egoisme membawa kerusakan dalam solidaritas. Dalam “Egoism: An Even Worse Virus”, Paus Francis (2020) menyebutkan, “The risk is that we may then be struck by an even worse virus, that of selfish indifference”. Egoisme yang membabi buta dikhawatirkan menjadi alasan kita untuk tidak peduli dan bertindak serakah demi kepentingan pribadi. Dengan demikian, hal yang lumrah bila sesekali manusia bertindak egois, sebagaimana etika egoisme, tapi hal yang berlebihan dan membabi buta tidak disarankan, karena menunjukan jati diri hewani manusia yang justru seharusnya diredam karena berakibat secara sosial, bahkan spiritual.

Baca Juga: Sepak Terjang DPD RI dan Gerakan Menuju Reformasi Jilid 2
Saatnya Menjalankan Konsep Kehidupan Berkelanjutan di Bidang Makanan, Transportasi, Komunitas, dan Energi

Solidaritas Menuju Kebangkitan dan Pengorbanan

Dalam lingkup sosioekonomi masyarakat, infrastruktur sangat diperlukan dalam menunjang kehidupan masyarakat. Effective infrastructures support humanitarian and socioeconomic needs (Caro 2021). Di dalamnya terdiri dari sistem transportasi dan keterkoneksian, listrik dan energi, internet, dan keamanan juga perlindungan bagi masyarakat. Ketika pandemi datang, infrastruktur semacam ini pun diuji, terutama keberlangsungan komunikasi dan informasi, sedangkan pada masa pemulihan pasca-Covid-19, justru dunia dikejutkan dengan kenaikan harga bahan bakar yang mana menjadi energi penggerak ekonomi semua negara. Big data and artificial intelligence will be the wave of the future, however the information sector was mostly unaffected by the COVID-19 outbreak (Knorr, et al. 2021). Sedangkan, ada satu lagi infrastruktur yang terabaikan, yaitu infrastruktur sosial yang mulai mengalami dekonstruktif.

Banyak domain pemerintah yang harus dikerjakan secara pribadi, seperti ketersediaan energi dan kestabilan ekonomi. Tapi, masyarakat pun perlu turut serta dalam pembangunan. Inilah yang dimaksud solidaritas lintas dimensi. Misal, kestabilan ekonomi menjadi salah satu tolak ukur kestabilan sosial, pendorong geliat ekonomi pun adalah stabilitas sosial.  Artinya, semua tidak bisa dilimpahkan kepada pemerintah dan menjadi tanggung jawab bersama, walau beberapa domain hanya bisa diselesaikan oleh pemerintah dengan akal sehatnya. Ini bukan lagi persoalan moralitas, tapi berada pada level kewajiban asasi dan warga negara yang (seharusnya) konsekuen. Satu orang memang bisa memberikan perubahan, namun perubahan besar harus melibatkan banyak orang. Haruskah alasan bertahan hidup harus disandingkan dengan keserakahan, bagaimana dengan moralitas dan kemanusiaan. Nyatanya tidak semua orang tulus dalam membangun solidaritas, apalagi bertindak sukarelawan, walaupun itu tidak salah-salah amat. Semuanya kembali kepada persoalan klasik, yang mana menurut Maslow adalah kebutuhan hewani manusia, kebetulan di-doping oleh keserakahan.

Dalam arus sejarah, kebangkitan dan pengorbanan pasti bersandingan. Kita tidak mau solidaritas menyimpang, semisal solidaritas dengan Syarat dan Ketentuan (S&K berlaku). Ketulusan dalam membangun jejaring solidaritas di masyarakat tentu harus dibangun dengan dialog dan kepercayaan satu sama lain, termasuk pemerintah. Mantan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (2006) pernah mengatakan, “Sangat mendasar bagi semua konflik bahwa solusi jangka panjangnya melibatkan dialog, kepercayaan, dan kerja sama” (Yudhoyono 2006). Dengan begitu, wajar bila ada orang kedapatan bertindak culas dan serakah dalam suatu kelompok masyarakat, semuanya hanya menandakan bahwa solidaritas yang dikenakannya palsu. Orang-orang semacam ini yang dapat menjadi beban sesungguhnya.

Indonesia adalah negara potensial, berpotensi jaya atau jadi biang masalah. Caro (2021) pernah mengungkapkan, “At an overall score of over 76%, Indonesia has good humanitarian resources to meet the basic needs of its population. Yet close over 84 million still lack access to either adequate sanitation, clean environments, adequate food, education, health care or safe water. Addressing these concerns together with its urgent environmental issues that affect over 48% of Indonesians may well require over 24 years to overcome.” Meskipun kita memiliki sumber daya yang mumpuni, nyatanya tidak semua orang mendapatkan akses yang sama, bahkan untuk pelayanan publik yang paling fundamental. Hujatan oleh para aktivis atau warganet—termasuk kelompok hipokrit—tidak sepenuhnya menghentikan masyarakat Indonesia merusak dirinya sendiri. Padahal, pengelolaan negara memerlukan solidaritas, baik antarmasyarakat maupun dengan negara. Mungkin, ini bukan hanya soal humanisme, tapi pembangkangan atas firman Tuhan atau menipu batinnya sendiri.

Penutup

Efek pacsapandemi yang disebabkan Covid-19 mengguncang seluruh negara, termasuk Indonesia. Meskipun beberapa negara sudah memberlakukan “kenormalan baru”, namun postpandemic effect sudah kadung mengubah sebagian besar tatanan hidup masyarakat. Kendati begitu, masyarakat sedang mengupayakan pemulihan diri dan mempertahankan kemanusiaan. Tentunya, agar pemulihan tersebut dapat berjalan secara efektif. Solidaritas kemanusiaan dan dukungan pemerintah sangat diperlukan untuk menata kembali kehidupan masyarakat. Tentunya tanpa adanya syarat dan ketentuan yang diberlakukan atau tindakan culas yang berpotensi merusak solidaritas. Dengan demikian, pemulihan terhadap kemanusiaan akan terwujud, khususnya Indonesia, akan kembali atau bahkan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//