BAYI-BAYI PANDEMI (1): Rasya dalam Gendongan Ibunya
Tubuh yang terlalu mungil, dengan berat badan hanya 7 kilogram, tidak memberi Rasya cukup tenaga untuk mulai belajar berjalan. Gendongan sang ibu menjadi tumpuan.
Penulis Tim Redaksi4 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Gang Sukapakir Dalam, RT 04 RW 05 Kelurahan Jamika, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, tidak pernah sepi. Anak-anak bermain dengan suara riang, sementara ibu-ibu mereka saling bertegur sapa dan ngerumpi kesana-kemari. Bila malam tiba, giliran anak-anak muda nongkrong.
Di depan rumahnya, Jumat (3/9/2021) sore, Siti (24) menggendong Rasya, anak bungsunya. Bayi berumur 1,5 tahun itu tidak betah berada di dalam rumah dan menangis meminta ibunya membawanya keluar. Ada dua kakaknya, Rizky (4) dan Rizal (3), yang sedang bermain, namun Rasya menikmati hiruk-pikuk kampungnya itu dengan tatapan kosong.
Rasya saat ini masuk dalam daftar bayi berstatus stunting di Kelurahan Jamika. Tubuh yang terlalu mungil, dengan berat badan hanya 7 kilogram, tidak memberinya cukup tenaga untuk mulai belajar berjalan. Gendongan sang ibu menjadi tumpuan melihat dunia di luar kamar.
Melahirkan Rasya bukan perkara mudah bagi Siti. Pada Mei 2020 lalu, dunia sedang dihantam gelombang pertama pandemi Covid-19. Di Kota Bandung, per 13 Mei 2020 tercatat 276 kasus positif dengan 35 orang di antaranya meninggal dunia.
Ketika itu banyak informasi tentang wabah masih simpang-siur di tengah masyarakat. Ditambah lagi, layanan-layanan kesehatan menerapkan banyak pembatasan atau bahkan berhenti sama sekali. Tidak terkecuali layanan persalinan.
Siti dua kali ditolak oleh rumah bersalin, sebelum bisa masuk ke sebuah rumah bersalin di dekat persimpangan Jalan Jamika. Perasaan cemas menjalar.
“Waktu itu saya merasa takut bayi saya tidak terselamatkan. Alhamdulillah akhirnya dapat (rumah bersalin),” ungkapnya.
Di rumah bersalin itu, Siti dilayani dengan baik oleh bidan. Biaya persalinan yang harus dikeluarkan pun relatif masih terjangkau, yakni 1,6 juta rupiah. Termasuk di dalamnya biaya untuk intervensi medis terhadap ari-ari yang menempel di dinding rahim dan tidak kunjung keluar. Menurut bidan yang menangani, masalah muncul akibat jarak kehamilan yang terlalu dekat sehingga rahim Siti belum pulih betul dari luka persalinan sebelumnya.
Dalam ingatan Siti, berat badan Rasya ketika dilahirkan 2,9 kilogram, sedikit di atas ambang berat badan lahir rendah (BBLR) 2,5 kilogram. Namun, dia juga mengingat bahwa sang bayi termasuk yang terkecil di antara bayi-bayi yang lahir di rumah bersalin itu.
Baca Juga: Data Kasus Balita Stunting di Kota Bandung 2014-2020, Prevalensi Melambung di Tahun Pandemi Covid-19
Data Persentase Balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk di Kota Bandung 2013-2019, Waspadai Tren Kenaikan
Gagal Tumbuh di Kota Kembang
Setelah Rasya lahir dengan selamat, perjuangan keluarga Siti tidak lantas usai. Di bulan-bulan awal pandemi itu, ketika berlaku Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), semua pos pelayanan terpadu (posyandu) tidak beroperasi. Buku Kartu Menuju Sehat (KMS) yang dimiliki Siti pun kosong. Perkembangan dan kesehatan Rasya sama sekali tidak terpantau.
Masalah tumbuh kembang Rasya pertama kali dirasakan Siti sekitar setengah tahun lalu. Selama sebulan sang bayi menderita sakit. Gejalanya berkaitan dengan gangguan pernafasan. Rasya batuk-batuk dan sesak nafas. Lagi-lagi akibat pandemi, proses pengobatannya tidak semudah di masa normal.
Setelah dinyatakan sembuh, berat badan Rasya tidak ikut pulih. Ketika posyandu dibuka untuk pertama kalinya pada awal Agustus 2021, setelah empat bulan kembali tutup selama Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diberlakukan, tahulah Siti bahwa berat sang bayi amat jauh dari normal.
Petugas posyandu menyarankan agar Rasya dimasukkan ke dalam pendataan program Bandung Tanggap Stunting dengan Pangan Aman dan Sehat (Tanginas) agar memperoleh intervensi gizi dari pemerintah. Rasya juga diberi suplemen makanan berbentuk serbuk yang harus dicampurkan ke dalam setiap makanan yang dikonsumsinya.
“Namun hingga sekarang kami belum pernah menerima bantuan semacam itu,” tutur Siti.
800 Ribu Rupiah per Bulan
Siti, bersama suaminya, Herman (36), dan tiga anak mereka, tinggal dalam satu petak kontrakan seluas kurang dari delapan meter persegi. Tembok-temboknya terlihat amat lembab. Mereka menambahkan struktur mezanin ala kadarnya, dengan lemari plastik berisi pakaian dan barang-barang lain ditaruh di atasnya.
Herman menghiasi dinding ruangan yang lembab itu dengan lukisan tokoh-tokoh kartun terkenal, hasil karyanya sendiri. Terlihat di sudut tempat tidur, boneka-boneka yang setia menemani ketiga bocah laki-laki ini di waktu tidurnya. Ada juga seekor kura-kura yang ditempatkan di sebuah wadah bekas galon. Rizal, sang anak tengah, memanggilnya ‘si kuya’.
Penghasilan Herman sebagai teknisi mesin genset di sebuah perusahaan di kawasan Dago, Bandung, merupakan satu-satunya sumber pendapatan keluarga ini. Di sepanjang 1,5 tahun pandemi Covid-19, ia terpaksa berhenti kerja selama beberapa bulan karena perusahaan pun dilarang buka. Upah yang tidak besar harus terpotong hingga seperempatnya.
“Gaji pokok saya memang cuma 800 ribu rupiah, tapi sebelum ada Covid-19 saya bisa kerja sambilan mengantar genset atau panggilan ke luar kota. Dulu satu bulannya (saya) bisa dapat sekitar 3,5 juta rupiah,” katanya.
Keterbatasan kemampuan ekonomi membuat Herman dan Siti memiliki pilihan yang terbatas pula untuk tumbuh kembang ketiga anak mereka. Rizky dan Rizal belum mereka sekolahkan ke Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) setempat. Sudah berumur empat tahun, si sulung belum juga lancar berbicara, sementara si tengah menjadi anak yang amat pendiam.
Rasya, yang Jumat sore itu menatap kosong kedua kakaknya yang sedang bermain di luar kamar kontrakan, bahkan belum bisa lepas dari gendongan ibunya.
*Liputan mendalam "Bayi-bayi Pandemi", yang disajikan secara berseri, merupakan hasil kerja Tim Redaksi BandungBergerak.id yang terdiri dari: Sarah Ashilah, Bani Hakiki, Boy Firmansyah Fadzri, dan Tri Joko Her Riadi, dengan sumbangan foto karya Arif 'Danun' Hidayah