Sepak Terjang DPD RI dan Gerakan Menuju Reformasi Jilid 2
DPD yang kini kurang bertaji, lahir dari tuntutan reformasi untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah. Suatu hari akan lahir gerakan reformasi jilid 2.
Sidik Permana
Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse
22 Mei 2023
BandungBergerak.id - Sejak terbentuknya Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) pada November 2001, intensitas keterlibatan daerah dalam penyelenggaraan ketatanegaraan mendapat ruangnya tersendiri. Walaupun, terdapat sejumlah batasan politis dan konstitusional, lembaga ini dielukan pada masanya. Dikutip dari situs resmi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebagaimana dilansir oleh Kompas.com (2020), DPD dibentuk seiring dengan tuntutan demokrasi untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah, memperluas dan meningkatkan semangat juga kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional, dan yang terpenting untuk memperkuat persatuan sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, berbagai hambatan regulasi yang menelanjangi dan ketimpangan yang dialami DPD RI dalam mekanisme perpolitikan pusat, sangat mempengaruhi kinerja dan kewenangannya sebagai lembaga representatif daerah. Belum lagi ujian kepemimpinan dan komitmen anggota DPD sendiri yang patut dipertanyakan, seperti yang disebutkan oleh Indonesia Parliamentary Center tahun 2017, sebagaimana dikutip dari Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 30/PUU-XVI/2018 (Sumber: Indonesia Parliamentary Center (2017)), yang menyebutkan, hingga akhir 2017, terdapat 78 dari 132 anggota DPD yang tidak hanya masuk menjadi anggota partai tetapi menjadi pengurus partai politik, di antaranya:
No. |
Partai Politik |
Jumlah Keanggotaan DPD |
1. |
Hanura |
28 |
2. |
Golkar |
14 |
3. |
PPP |
8 |
4. |
PKS |
6 |
5. |
PAN |
5 |
6. |
Demokrat |
3 |
7. |
PKB |
3 |
8. |
PDI-P |
2 |
9. |
Partai Aceh |
2 |
10. |
Nasdem |
1 |
11. |
Gerindra |
1 |
12. |
PDS |
1 |
13. |
Partai Buruh |
1 |
14. |
PNI Marhaenisme |
1 |
15. |
PPIB |
1 |
16. |
Idaman |
1 |
Jelas hal ini bertentangan dengan Pasal 12 dan 68 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dengan demikian, masa depan macam apa yang akan dilalui oleh lembaga DPD ini?
Awal Reformasi dan Arah Masa Depan DPD RI
Reformasi 1998 adalah titik balik demokratisasi Indonesia, sekaligus penanda berakhirnya Orde Baru. Banyak momentum penting pascareformasi, mulai dari kebangkitan kelompok politik baru di daerah (perkotaan), hingga restrukturisasi dan reharmonisasi interaksi pusat dan daerah yang sempat tersendat oleh kuasa sentralistik era Suharto. Fatah (dalam Prasisko, 2016) menjelaskan, bahwa dalam konteks gerakan reformasi 1998, bangkitnya “kelas menengah politik”, yakni anggota kelas terdidik di perkotaan yang menjadikan kritisisme sebagai basis politik mereka. Kelompok itu dapat terakomodasi oleh lembaga DPD sebagai lembaga representatif sekaligus konektor daerah dan pusat. Sayangnya, lembaga yang sejatinya merupakan kepanjang tanganan masyarakat di daerah, tidak punya cukup kekuatan (tempur) dan terlucuti hingga tidak berdaya menghadapi mekanisme politik parlemen pusat yang overpower.
Menurut Sekretariat Jenderal DPD, sebagaimana dikutip oleh Marzuki (2008), ada tiga penyebab utama mengapa keberadaan DPD belum optimal dan efektif dalam konstelasi politik ketatanegaraan Indonesia, di antaranya:
1) DPD adalah lembaga baru, sehingga belum dapat menemukan format kerja dan struktur kelembagaan yang memadai;
2) Keanggotaan DPD, yang notabene adalah muka-muka baru dalam dunia politik—beberapa nama sudah lama berkecimpung dalam perpolitikan nasional—cukup menyulitkan ketika berhadapan dengan kompleksitas masalah yang sedang dan akan dihadapi; dan
3) Kendala yuridis konstitusional yang berdampak minimnya keterlibatan dan hilangnya fungsi keparlemenan yang selayaknya dimiliki lembaga DPD, umumnya, yakni fungsi legislasi.
Sebagai contoh, lahirnya Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), diikuti Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 terus melucuti wewenang DPD. Bahkan, upaya ini tercantum jelas dalam Konstitusi. Hal ini senada dengan pengungkapan Zainal Arifin Mochtar, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), sebagaimana dilansir oleh Kompas.com (2017), yang merasa khawatir dengan kondisi DPD saat ini, karena, “Sering kali DPD mengalami pengkerdilan secara sistematis. Padahal DPD kan kamar kedua, biasanya kuat seperti gajah. Tapi oleh UUD sebetulnya dikecilkan maknanya." Pengkerdilan tersebut bisa ditemukan pada Pasal 22 D Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Tidak hanya itu, kinerja DPD pun sangat ditentukan oleh “respons” parlemen. Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), sebagaimana dilansir oleh Kompas.com (2017), menilai, bahwa semua kinerja DPD bergantung pada lembaga lain, terutama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pola seperti ini justru hanya menunjukan bahwa DPD sebagai lembaga tinggi tidak ubahnya sebagai anak cucu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang begitu bergantung pada induknya (DPR). Bagaimana tidak, UUD Tahun 1945 dan Pasal 256 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3, hanya memberikan wewenang kepada DPD, meliputi: pengajuan, pembahasan, pertimbangan, dan pengawasan RUU dalam batasan sebagaimana pada Pasal 22 D UUD Tahun 1945.
Jelas, ketiadaan fungsi legislasi (utuh), misalnya, pada lembaga perwakilan seperti DPD menimbulkan tanda tanya, terlebih bila melihat kembali wewenangnya, apa yang membedakannya dengan jasa konsultan? Bila semua pertanyaan kelegislatifan dilimpahkan dan diakuisisi lembaga DPR, lalu untuk apa DPD diciptakan. Hal ini sudah pasti akan mengganggu kinerja DPD, bila demikian, sebagai bagian penting dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.
Baca Juga: Saatnya Menjalankan Konsep Kehidupan Berkelanjutan di Bidang Makanan, Transportasi, Komunitas, dan Energi
Catatan 24 Tahun Reformasi
Catatan Seperempat Abad Reformasi
DPD dan Pertaruhan Masa Depan
Persoalan-persoalan yang telah diungkapkan di muka, menegaskan bahwa masa depan DPD RI cukup sulit, belum lagi mengingat usia kemerdekaan bangsa ini yang sudah berusia 75 tahun, tetapi tidak ada perkembangan sistem ketatanegaraan ke arah yang demokratis seperti yang dicita-citakan. Memang, bangsa ini masih terus berbenah menuju negara yang “seutuhnya demokratis”, namun itu tidak bisa diharapkan sepenuhnya kepada sebagian besar pejabat publik negeri ini. Partisipasi dan komitmen kebangsaan mesti melibatkan seluruh unsur komponen bangsa.
Bila memang semua berharap sistem kelegislatifan Indonesia layaknya Senat dan DPR Amerika Serikat, atau House of Lords dan House of Commons Britania Raya, rasanya cukup sulit. Bukan hanya demokrasi kita masih prematur dan sedang dalam tahap perkembangan, namun juga besarnya kepentingan kelompok tertentu di parlemen yang menghambat jalannya demokrasi. Ini belum termasuk komitmen dari pejabat publik dan pemangku kebijakan dalam menata kembali sistem ketatanegaraan kita, yang dinilai masih tumpang tindih dan tidak setimbang.
Harus diakui, DPD memang punya andil besar dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, sesuai anugerah reformasi, walau dalam keadaan serba sulit dan terbatas. Tidak heran, bila sistem kelegislatifan kita dikenal sebagai sistem bikameral “terbatas”. Plan yang bisa digunakan adalah melalui revolusi politik-hukum. Susi Dwi Harijanti, pengamat Hukum Tata Negara, sebagaimana dilansir oleh Gatra.com (2019), mengungkapkan, bahwa kewenangan DPD RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dapat diperkuat dengan politik hukum, bukan hanya dari politik perundang-undangan.
Semua sepakat bahwa akar persoalannya terletak pada Konstitusi, yaitu UUD Tahun 1945. Maka, jalan yang bisa ditempuh adalah amandemen ke-5. Tapi, seperti yang telah disebutkan di atas, kepentingan kelompok tertentu dalam mempertahankan kekuasaannya di parlemen adalah lain permasalahan, namun relevan. Alhasil, percuma saja bila kita semua mengulik satu per satu peraturan perundang-undangan yang ada di bawah UUD Tahun 1945, karena bila akarnya saja belum tercerabut, maka rumput akan tumbuh selalu.
Bagaimana pun, amendemen konstitusi akan selalu menunggu momentumnya, entah itu dengan jalan revolusi atau ledakan kesadaran publik yang menuntut adanya keadilan publik untuk mengakui hak demokrasi pada level kedaerahan. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), bisa jadi satu dari sekian banyak new movement, barangkali hanya itulah yang bisa ditangkap media. Kita tidak tahu, apakah ada gerakan serupa pada tingkat daerah yang tidak tertangkap radar pemerintah.
Robert Dahl (dalam Marzuki, 2008), dalam karyanya berjudul On Democracy, mengemukakan perlunya sebuah konstitusi yang demokratis agar keberadaan institusi-institusi demokrasi yang sudah dan akan dibentuk itu dapat bekerja dengan maksimal. Maka, penulis berkeyakinan, bahwa suatu hari akan lahir gerakan reformasi jilid 2, dengan syarat semua komponen intelektual bangsa tergerak hati dan nalarnya, dan bersatu dalam melahirkan New Indonesia Movement dalam mengawal Pathway of Indonesia Democracy, menata ulang sistem politik bangsa, termasuk sistem kelegislatifan yang lebih demokratis. Hanya menunggu momentum yang tepat untuk menyalakan sumbunya.
Dengan demikian, meskipun masa depan DPD RI cukup sulit, namun masih terdapat harapan untuk menyelamatkannya, paling tidak akan muncul suatu masa di mana generasi muda bangsa akan sadar, terdapat hal penting yang harus diperjuangkan, yaitu keadilan, dan DPD sebagai wadah keadilan akan mengalami perombakan yang jauh lebih baik dari sekarang.