• Kampus
  • Ekonomi Sosial Solidaritas sebagai Alternatif dari Kapitalisme

Ekonomi Sosial Solidaritas sebagai Alternatif dari Kapitalisme

Model ekonomi sosial solidaritas sering kita jumpai dalam bentuk koperasi, perusahaan sosial, dan kelompok masyarakat adat.

Kuliah tamu yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi Unpar dengan mengusung tema Social Solidarity Economy as an Alternative Pathway to Sustainability Development, Sabtu (13/5/23). (Foto: Unpar)*

Penulis Iman Herdiana18 Mei 2023


BandungBergerak.idModel ekonomi sosial solidaritas (ESS) sudah sering hadir di sekitar kita. Namun mereka sering kali tak kita sadari. Adapun bentuk dari model ekonomi alternatif yang sering kita jumpai adalah koperasi, perusahaan sosial, dan kelompok masyarakat adat.

Hal tersebut terkemuka dalam kuliah tamu yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) dengan mengusung tema “Social Solidarity Economy as an Alternative Pathway to Sustainability Development” pada Sabtu (13/5/23) lalu.

Dikutip dari laman resmi Unpar, Rabu (17/5/2023), kegiatan tersebut mengundang beberapa pembicara yaitu Eri Trinurini Adhi (Yayasan Bina Swadaya), Chandra Firmatoko, dan Heira Hardiyanti.

Eri mengatakan bahwa fakta saat ini menunjukkan ekonomi dunia didominasi oleh kapitalisme.

“Utamanya yang sekarang menguasai dunia didominasi oleh kapitalisme, mungkin kita tidak sadar tapi faktanya seperti itu,” tuturnya.

Dia mengatakan bahwa saat ini dunia sedang menghadapi krisis multidimensi. Maka dari itu, ESS atau ekonomi sosial solidaritas diperlukan sebagai suatu kunci pemulihan.

“Saat ini kita mengalami krisis perubahan iklim dengan tingkat suhu udara meningkat dimana-dimana, krisis perdamaian dengan adanya perang rusia ukraina berimbas kepada banyak negara, krisis energi, krisis pangan. ESS kunci pemulihan pada manusia dan planet di tengah krisis multidimensi,” ucap Eri.

Eri menyampaikan bahwa setidaknya terdapat 5 karakter utama ESS yaitu:

Berbeda dengan ekonomi arus utama yang berorientasi pada keuntungan; organisasi yang lebih fokus pada nilai sosial dan lingkungan dari pada mencari keuntungan semata; masih ada kebingungan terminologi: social economy vs solidaritas ekonomi;

Karakter lainnya, menjembatani ekonomi informal ke formal; dan dibangun dari konstelasi kelompok akar rumput, organisasi masyarakat sipil, platform berbasis konsumen dan produsen, wirausaha sosial, koperasi dan organisasi lainnya yang mendukung ekosistem ESS, Ciri bentuknya asosiatif (kumpulan bersama).

Baca Juga: Sukarno, Kapitalisme, dan Jomblo
Selubung Operasi Kapitalisme dalam Wacana Pemindahan Ibu Kota Negara
Ramadan dalam Pusaran Komodifikasi Agama

“Kita harus membetulkan paradigma, maka dari itu ESS diyakini sebagai core dari SDG. Pada prinsipnya ESS adalah ekonomi yang bertumbuh untuk masyarakat,” ucapnya.

Sementara itu, Chandra Firmatoko mengatakan bahwa dimensi kegiatan usaha adalah profit. Jika berbicara mengenai bisnis maka orientasinya adalah keuntungan. 

“Dimensi dari kegiatan usaha adalah profit, people, planet atau triple bottom line, valuing ethics, dan democratically governed. Hal ini dipercaya akan membawa kesejahteraan masyarakat dan lingkungan yang lebih baik,” ucapnya.

Lebih lanjut, Heira Hardiyanti mengatakan bahwa perkembangan SSE diawali oleh keresahan revolusi industri pertama karena penemuan mesin uap. Koperasi dinilai berkontribusi dalam pembangunan ekonomi karena semua bidang usaha dapat dilakukan oleh koperasi. 

“Koperasi berkontribusi dalam pembangunan ekonomi. keberadaan CSR itu dilihat, ini menjadi salah satu resolusi SSE. Semua bidang usaha bisa dilakukan oleh koperasi seperti kredit, transportasi, makanan, perumahan, listrik, dan lain-lain,” ucapnya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//