• Kolom
  • Sukarno, Kapitalisme, dan Jomblo

Sukarno, Kapitalisme, dan Jomblo

Selain menyengsarakan rakyat, kapitalisme di mata Sukarno berandil besar dalam mempersulit pernikahan. Kapitalisme turut mendorong kejombloan.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

Buku Dibawah Bendera Revolusi, cetakan ketiga, 1964. (Sumber: Dokumentasi Penulis)

3 April 2023


BandungBergerak.idIlmu pengetahuan modern dan pergaulannya dengan tokoh-tokoh intelektual, menjadi bahan bakar Sukarno untuk terlibat dalam lalu lintas pergerakan di Hindia Belanda. Satu pijakan yang melandasinya, adalah kesengsaraan yang ditimbulkan kapitalisme di Hindia Belanda yang saat itu berkedok imperialisme dan kolonialisme.

Selain melalui organisasi, Sukarno berupaya melawan penindasan dan menyadarkan bangsanya melalui tulisannya. Berkali-kali ia menyematkan kata "kapitalisme" dalam esainya sebagai sumber permasalahan dalam hidup masyarakat.

Pertama, Sukarno dengan tegas menyatakan dalam esainya yang dimuat dalam surat kabar Fikiran Ra'jat pada tahun 1932 dengan tajuk "Kapitalisme Bangsa Sendiri?"

"Kapitalisme adalah stelsel pergaulan-hidup, jang memisahkan kaum-buruh dari alat-alat produksi, jang oleh karena, menjadi sebabnya meerwaarde tidak djatuh didalam tangannya kaum buruh melainkan djatuh didalam tangannja kaum madjikan. (...) Itulah kapitalisme!-jang prakteknya kita bisa lihat diseluruh dunia. Itulah kapitalisme, Jang ternjata menjebarkan kesengsaraan, kepapaan, pengangguran, balapan-tarif, peperangan, kematian,-pendek kata menjebarkan rusaknja susunan-dunia jang sekarang ini. Itulah kapitalisme jang melahirkan modern-imperialisme, jang membikin kita dan hampir seluruh bangsa-berwarna menjadi rakjat jang tjilaka! (...) kita harus anti segala kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa sendiri." 

Esai Sukarno soal kapitalisme lebih lanjut dapat dilihat dalam Dibawah Bendera Revolusi Djilid 1 (1964, hlm. 181-185) dan Nasionalisme, Islamisme, Marxisme: Pikiran-Pikiran Soekarno Muda (2018, hlm. 79-86).

Dari tulisan tersebut, kita mendapati sikap Sukarno yang tegas dan tidak tebang pilih terhadap kapitalisme, cuma satu sikap yang berlainan dengan Tjokroaminoto; kapitalisme baik jika dilaksanakan pribumi dan  kapitalisme buruk jika dijalankan oleh asing. Bagi Sukarno, kapitalisme tetaplah kapitalisme yang menjadi gerbang kesengsaraan.

Selanjutnya, Sukarno dalam esai yang berjudul "Mentjapai Indonesia Merdeka" (Dibawah Bendera Revolusi Djilid 1 (1964)) menyatakan, kapitalisme melahirkan imperialisme. Di Hindia Belanda sebelum tahun 1870, imperialisme kuno telah merenggut nyawa manusia melalui sistem yang penuh paksaan, melalui senjata menghancurkan kerajaan-kerajaan di nusantara, serta turut menghancurkan komoditas pertanian. Tidak berhenti sampai di situ, kembali ia melanjutkan, bahwa imperialisme kuno telah membelah masyarakat untuk saling menghancurkan satu sama lainnya.  

Kemudian, sampailah pada satu masa, di mana masuk modal-modal dalam wujud pabrik-pabrik, sebagai tanda perubahan dari imperialisme kuno menjadi imperialisme baru. Khusus di Hindia Belanda, ini terjadi setelah adanya gerakan protes golongan liberal yang lahir setelah terbitnya roman Max Havelaar.

Dengan perubahan tersebut, kehancuran semakin menjadi, atau dalam istilah Sukarno, kaum marhaen menjadi yang paling melarat hidupnya. Sebab, sistem baru tersebut menjadikan kehidupan kaum marhaen sulit untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak dapat menunjang biaya pendidikan.    

Baca Juga: Tirto Adhi Soerjo dalam Bingkai Organisasi dan Sastra
Suardi Tasrif, dari Sastra, Jurnalistik, hingga Advokat
George Harrison The Beatles, Pionir Konser Amal di Dunia

Buku Sarinah: Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia, cetakan ketiga, 1963 (Sumber: Dokumentasi Penulis)
Buku Sarinah: Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia, cetakan ketiga, 1963 (Sumber: Dokumentasi Penulis)

Kapitalisme Turut Mendorong Kejombloan

Kiwari, dalam satu pertemuan keluarga atau acara reuni, pertanyaan-pertanyaan semacam "mana calonnya?", "masih jomblo?", atau "kapan nikah?" kerap hadir dan menjadi pertanyaan yang menyebalkan sekaligus paling dihindari bagi mereka yang masih menjomblo.

Segala macam jawab harus dipersiapkan untuk membungkam pertanyaan semacam itu agar tidak muncul pertanyaan berikutnya yang tidak kalah menyebalkan bagi mereka yang belum menikah. Tapi pernahkan para jomblo, menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan kalimat, "kapitalismelah yang menyebabkan kejombloan ini?"

Jawaban tersebut terdengar terlalu idealis di tengah masyarakat yang kian malas bersangkutan dengan sesuatu hal yang berideologi. Namun, kalimat itu nyata dan sudah tertulis sejak tahun 1947 dalam Sarinah: Kewajiban Perempuan dan Perjuangan Republik Indonesia yang ditulis Sukarno, dalam upayanya menggugah perempuan untuk turut terlibat dalam perjuangan.

Dalam buku tersebut, ada satu bagian di mana Sukarno menyatakan dengan tegas bahwa kapitalisme merintangi terciptnya masyarakat yang dicita-citakannya; masyarakat yang memudahkan pernikahan. Ia menegaskan bahwa kehidupan dalam masyarakat kapitalistik menciptakan kesulitan bagi laki-laki dan perempuan untuk menikah. Sebab, dalam kehidupan yang demikian, masyarakat, khususnya yang berasal dari kelas bawah sulit dalam mencari nafkah. 

Lebih lanjut Sukarno menyatakan, bahwa dalam kondisi yang demikian, pernikahan seakan menjadi previlege bagi pemuda-pemuda yang memiliki rezeki yang mapan saja. Sedangkan bagi pemuda-pemuda yang sulit pencahariannya, perlu menunggu hingga usianya mencapai tiga puluh sampai empat puluh tahun. 

Dengan situasi yang demikian, bukan tidak mungkin perzinahan dan pelacuran terjadi. Sebab, menurut Sukarno, rentang usia 30-40 tahun adalah masa tertinggi api birahi dari tiap individu, sehingga bukan tidak mungkin, bila tidak tersalurkan di jalan yang baik, akan membuka "pintu belakang" guna memadamkan nyala api birahinya. 

"Pintu belakang" yang dimaksud Sukarno adalah perzinahan/pelacuran. Jika sudah membuka "pintu belakang", masalah akan semakin kompleks, khusunya bagi perempuan. Sebab, perempuan harus siap menanggung beban moril. Masyarakat akan menunjuk-nunjuk perempuan yang jatuh dalam perzinahan/persundalan dengan menyematkan cap kehinaan tepat di keningnya. Bukan tidak mungkin, pada akhirnya menimbulkan keputusasaan; bunuh diri. 

Maka untuk menghindari hal yang demikian dalam masyarakat, Sukarno menegaskan jalan keluarnya adalah memberi kemudahan untuk pernikahan dan memberi kesempatan bagi perempuan-perempuan untuk bekerja tanpa harus berkecimpung dalam pencaharian yang dapat merusak kehormatannya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//