• Opini
  • Etika Pancasila dan Komitmen Kebangsaan dalam Menghadapi Tindakan Koruptif

Etika Pancasila dan Komitmen Kebangsaan dalam Menghadapi Tindakan Koruptif

Tindakan koruptif khususnya yang dilakukan abdi negara, dilakukan di bawah sumpah firman Tuhan. Tuhan pun sejak awal telah dikhianati oleh para koruptor.

Sidik Permana

Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse

Ratusan murid perwakilan dari 70 SMP di Kota Bandung menghadiri Ikrar Toleransi Pelajar Pancasila di Taman Dewi Sartika, Selasa (31/1/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

1 Juni 2023


BandungBergerak.idKorupsi tidak akan pernah berhenti selama kesempatan untuk melakukannya tersedia. Semua ini senada dengan hukum permintaan dalam prinsip ekonomi, di mana ada permintaan maka di situ ada penawaran. Bahkan, di era modern seperti sekarang tindakan korupsi semakin canggih, sehingga menuntut adanya pemberantasan yang cukup canggih pula.

Kenyataan tersebut membuat kita memahami bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi persoalan yang tidak bisa diremehkan lagi karena akan berdampak buruk bagi rencana pembangunan jangka panjang nasional. Terlebih, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi 2021, dikutip dari laman Katadata.co.id (2022), diketahui bahwa Indonesia berada di peringkat 96 dari 180 negara dari tingkat negara terkorup di dunia.

Tidak sampai di situ, survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021, menunjukan bahwa Indeks Perilaku Anti Korupsi hanya berada di kisaran 3,88 persen. Keadaan ini cukup membahayakan dan akan menimbulkan kemarahan publik hingga berakhir pada rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintah, sehingga pembangunan nasional pun akan turut terhambat.

Kita tidak akan lupa dengan kasus korupsi di PT. Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) dengan total kerugian negara mencapai 23,74 triliun rupiah, sekaligus mencatatkan rekor sebagai kosus paling korup yang pernah ditangani di Indonesia. Lalu, ada kasus Jiwasraya dengan total kerugian mencapai 13,7 triliun rupiah, kasus Bank Century di tahun 2014 yang tercatat merugikan negara mencapai 6,76 triliun rupiah menurut perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kasus Pelindo II, kasus korupsi Kotawaringin Timur, kasus BLBI, dll. Kasus-kasus mega korupsi ini belum termasuk kasus-kasus perseorangan yang bahkan beberapa di antaranya dinyatakan menghilang dan tidak mampu terendus oleh lembaga sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dikutip dari laman KPK (2022), terdapat 166 kasus korupsi dengan 223 terdakwa setiap tahunnya, sedangkan sejak tahun 2001 s/d 2015 terdapat 2.321 kasus korupsi dengan total 3.109 terdakwa. Tidak sampai di situ, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), sebagaimana dikutip dari laman Tempo.co (2022) , kerugian keuangan negara akibat tindak korupsi sepanjang 2021 mencapai 62,9 triliun rupiah, yang mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya (2021) dengan total kerugian sebesar 56,7 triliun rupiah. Catatan ICW tersebut menyebutkan bahwa dari total 1.403 terdakwa, praktis hanya 12 orang saja yang didakwa dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini bisa terjadi, karena berdasarkan pada catatan ICW, vonis terdakwa kasus korupsi dengan yang mengandalkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) masih sangat sedikit.

Bahkan, sejauh ini, dikutip dari laman Katadata.co.id (2022), sebagaimana bersumber pada informasi yang dihimpun oleh KPK pada Oktober 2021, komisi antirasuah ini sudah menangani lebih dari 1.194 kasus korupsi, dengan kasus didominasi oleh penyuapan. Dalam catatannya, diketahui bahwa jumlah Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) berdasarkan jenis perkara yang terhitung sejak tahun 2004-2021 terdiri dari 775 kasus penyuapan, 266 kasus pengadaan barang/jasa, 50 kasus penyalahgunaan anggaran, 41 kasus pencucian uang, 26 kasus pungutan dan pemerasan, 25 kasus perizinan, dan 11 kasus perintangan penyidikan.

Semua data itu menunjukan bahwa persoalan korupsi di Indonesia masih belum mampu diminimalkan. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar di benak masyarakat Indonesia, apakah kinerja KPK dan aparat penegak hukum terkait sudah mumpuni, apakah budaya korup ini sudah mengakar, dan apa pencegahan yang mampu secara efektif mengurangi intensitas tindakan ini. Tentunya, kita akan melirik kembali tujuan dari berdirinya bangsa ini, dan bagaimana Pancasila sebagai dasar negara memandang persoalan korupsi, merujuk pada upaya pemerintah dalam komitmennya dalam upaya pemberantasan Tipikor.

Makna Korupsi

Sebelum membahas lebih jauh mengenai korupsi dan bagaimana Pancasila mampu menjawab tantangan—ancaman terhadap kedaulatan dan pembangunan bangsa—itu, kita mesti memahami bagaimana korupsi begitu buruk dan menjadi padanan kata yang cukup dibenci oleh sebagian besar masyarakat. Kata korupsi berakar dari bahasa latin corruptio atau corruptus, yang artinya cukup beragam, yaitu tindakan merusak atau menghancurkan. Dalam arti lain, corruptio juga diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Artinya, sejak awal, kata korupsi sendiri sudah bermakna buruk dan mewakili apa yang kita yakini hari ini sebagai “tindakan biadab tak bermoral”.

Menurut Cambridge Dictionary (2022), korupsi (corrupt) dalam arti kata sifat yang berkonotasi buruk (bad), diartikan sebagai, “Dishonestly using your position or power to get an advantage, especially for money” atau “To make someone or something become dishonest or immoral”. Dalam bentuk kata kerjanya, korupsi diartikan dengan, “To make someone dishonest and willing to use their position or power for personal advantage, esp. to get money”. Pada sumber lain, misalnya dalam Merriam-Webster Dictionary (2022), korupsi didefinisikan dengan, “To change from good to bad in morals, manners, or actions were corrupted by greed.was accused of corrupting the youth also” atau “To degrade with unsound principles or moral values, some fear the merger will corrupt the competitive marketplace”. Hampir bisa dipastikan, didasarkan kepada dua konsepsi korupsi dari dua kamus tersebut, menunjukan kesamaan bahwa korupsi akan mengarah pada tindakan ketidakjujuran, sebuah tindakan buruk yang mengarahkan bentuk-bentuk amoral, keserakahan, penyalahgunaan kekuasaan, dan penyimpangan dalam menguasai kekayaan.

Definisi korupsi lainnya, dikutip dari laman KPK (2022), sebagaimana disampaikan oleh World Bank pada tahun 2000, bahwa korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan publik untuk menguntungkan pribadi. Definisi yang dikemukakan oleh World Bank sekaligus menjadi standar internasional dalam merumuskan korupsi. Walaupun begitu, kita pun memiliki seperangkat peraturan yang menjadi sebuah ikon bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Akhirnya, sampailah kita pada sebuah titik temu bahwasanya berbagai definisi dan konsepsi mengenai korupsi yang disebutkan di atas memiliki beberapa komponen. Unsur-unsur itu merujuk pada beberapa hal sebagai berikut, di antaranya: 1) Korupsi sebagai sebuah perilaku; 2) Penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan; 3) Dilakukan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok—kolusi hingga nepotisme; 4) Melanggar hukum atau menyimpang dari norma dan moralitas; dan 5) Terjadi pada semua lini, baik dilakukan oleh lembaga pemerintah, swasta, bahkan pada tataran paling sederhana sekalipun. Persoalannya, sebagai negara yang berkomitmen dalam pengentasan Tipikor, sekaligus menjadi amanat langsung dari mana tujuan negara ini terbentuk, sesuai yang tercantum dalam konstitusi dan pembukaannya, bagaimana persoalan korupsi yang seolah mengakar ini dapat dihentikan, setidaknya diminimalkan. Di saat yang bersamaan, kita pun menyadari bahwa Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara masih terus berupaya dihidupkan dan berharap mampu dilaksanakan secara efektif sehingga mampu menghasilkan apa yang kita kenal sebagai karakteristik bangsa (kepribadian) berperadaban yang antikorup. Nilai-nilai itu terpatri dalam sebuah konsepsi yang dikenal dengan “etika Pancasila”.

Baca Juga: Efek Pacsapandemi dan Kebangkitan Kemanusiaan
Sepak Terjang DPD RI dan Gerakan Menuju Reformasi Jilid 2
Saatnya Menjalankan Konsep Kehidupan Berkelanjutan di Bidang Makanan, Transportasi, Komunitas, dan Energi

Etika Pancasila versus Korupsi

Apa itu etika Pancasila? Barangkali itulah pertanyaan yang mesti dijawab, karena konsekuensi dari definisi itulah yang akan mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan mengenai upaya etis dalam memberantas korupsi. Diungkapkan oleh Soeprapto (2013), etika Pancasila diartikan sebagai norma etis, yaitu pedoman pelaksanaan Pancasila bagi negara dan warga negara Indonesia. Lebih lanjut, Soeprapto (2013) menjelaskan bahwa etika Pancasila adalah refleksi kritis untuk merumuskan prinsip-prinsip kelayakan (kebaikan) dalam mengambil keputusan tindakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia berdasarkan kualifikasi isi arti sila-sila Pancasila. Dengan demikian, etika Pancasila merujuk pada rules sebuah kebaikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip kehidupan bermasyarakat Indonesia yang semua bermuara pada sila-sila Pancasila. Rules itulah yang kemudian menjadi kunci dalam berbagai tindakan yang akan kita tujukan dalam upaya melawan korupsi.

Konsep etika Pancasila di atas didukung dengan fakta bahwa di dalamnya, etika ini mengandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan yang mewakili setiap sila-sila dalam Pancasila, yang artinya bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia dalam konteks berbangsa dan bernegara. Menurut Susilawati (2020), etika Pancasila tersebut kemudian merefleksikan suatu sikap yang menjadi corak—semestinya diwujudkan oleh masyarakat Indonesia—meliputi kebijaksanaan, kesederhanaan, keteguhan, keadilan. Diperkuat oleh Amri (2018), etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia yang dimaksud tentunya merujuk pada masyarakat Indonesia. Hal ini menandakan, seburuk-buruknya titel yang disematkan pada para pelaku koruptor, sejauh mana kebencian itu merasuk pada masyarakat Indonesia dan berharap semua tulah ditujukan kepadanya, tetap saja bahwa manusia Indonesia mesti menunjukan keberadaban dalam menghadapi semua persoalan itu, termasuk bagaimana kita sebagai individu mampu mencegah tindakan korup dari dalam diri sendiri.

Bagi Keraf (2002), bagaimana pun, orang yang bermoral bukanlah orang yang bertindak secara moral baik pada situasi saat itu saja, melainkan orang berkepribadian moral yang utama atau menonjol, berprinsip, dan berintegritas yang tinggi. Pernyataan ini membuktikan bahwa sejatinya Pancasila hendak mewujudkan masyarakat Indonesia yang mampu berkepribadian luhur, berperadaban secara moralitas dan etis tanpa berbatas waktu, maupun berprinsip pada tujuan, namun lebih kepada nilai-nilai luhur Pancasila yang diinternalisasi dan terbangun menjadi sebuah prinsip hidup yang berkepribadian khas. Artinya, moralitas masyarakat tidak mesti hanya didasarkan pada tujuan baik semata (teleologis) ataupun kewajiban etis semata (deontologi), namun mesti mewujud pada diri sebagai sebuah karakteristik yang prinsipiel (keutamaan).

Dalam beberapa kesempatan, Bung Hatta pernah menyinggung terkait etika Pancasila ini. Dikutip dari Soeprapto (2013), Hatta pernah mengungkapkan bahwa sejatinya Pancasila tersusun atas dua nilai fundamen, yaitu fundamen yang berkaitan dengan aspek moral dalam hal ini Ketuhanan Yang Maha Esa, dan fundamen yang berkaitan dengan aspek politik dalam hal ini kemanusiaan, persatuan Indonesia, demokrasi kerakyatan, dan keadilan sosial. Dua hal ini mengindikasikan bahwa terdapat dua dunia yang menjadi landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, yaitu didasarkan pada prinsip ketuhanan dan kemanusiaan. Misalnya, dikutip dari laman Kompas.com (2022), dijelaskan oleh Ishaq dalam bukunya Pendidikan Pancasila, bahwa dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan negara dijalankan sesuai dengan norma legalitas (sesuai dengan hukum yang berlaku), demokratis, dan bermoral. Akhirnya, kita menemukan, bagaimana prinsip etika Pancasila hidup. Tinggal, bagaimana semua itu digunakan dalam menghadapi persoalan korupsi bangsa.

Pertama, ketuhanan. Sebagai negara yang menjunjung prinsip ketuhanan, bahkan secara konsisten memposisikan prinsip ini sebagai nilai dasar penting dan memiliki strategis dalam sila Pancasila (pertama), rasanya cukup aneh bila semua keburukan tidak lekas menghilang dari bumi pertiwi. Hal ini menandakan bahwa prinsip utama kehidupan bangsa Indonesia ini sudah sejak lama mengalami degradasi dan hanya menjadi sebatas formalitas belaka. Korupsi yang menjadi musuh bersama masyarakat pun bukannya semakin berkurang, justru makin menggila dan kreatif seiring perubahan zaman yang semakin modern. Penulis pun meyakini, bahwasanya para pelaku korupsi ini, khususnya bagi para abdi negara, di sumpah di bawah firman Tuhan. Dengan kondisi saja, sudah cukup membingungkan, bahkan Tuhan pun sejak awal telah dikhianati oleh para koruptor.

Dengan begitu, kita bisa menemukan salah satu akar permasalahan yang menonjol keluar, yaitu kurangnya kepedulian kita terhadap prinsip-prinsip ketuhanan, yang melalui firman dan agama yang dibawanya hendak membawa kita pada derajat manusia yang luhur. Maka, pentingnya bagi kita untuk kembali peduli dan menjalankan prinsip keagamaan dengan penuh keikhalasan dan berkomitmen penuh. Saya yakin, bila ini dijalankan, setidaknya orang akan berpikir akan hari penghakiman sebelum melakukan tindakan kejahatan, semisal korupsi yang mampu membuat seseorang miskin kelaparan dan mencuri lalu membunuh.

Dan terakhir, kemanusiaan. Konsekuensi dari komitmen masyarakat Indonesia dalam mengimplementasikan firman Tuhan dalam kehidupan bermasyarakat akan mencapai taraf pada apa yang kita kenal sebagai kemanusiaan. Semakin maju sebuah zaman, hakikatnya peradaban manusia semakin berkembang, dan itu berimplikasi semakin berbudayanya manusia dibandingkan hewan. Kemanusiaan merupakan nilai penting dalam perwujudan dari peradaban manusia, yang melahirkan hukum, budaya, dan prinsip hidup lainnya. Tentunya, hal ini menjadi jembatan kedua yang terpantau mampu meminimilkan kehadiran tindakan koruptif di tubuh masyarakat Indonesia.

Kita menyadari bahwa hukum menjadi tonggak kehidupan berbangsa masyarakat Indonesia dan bahkan dipertegas melalui Pasal 1 ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kita membenci koruptor, namun itu bukan lantas menjadikan kita hewan buas yang menerkam seekor kijang licik dan licin. Mestinya, kita menghormati penegakan, mendukungnya, dan berharap bahwa hukum di Indonesia mampu memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia, terutama atas tindakan korupsi yang menjadi salah satu biang dari setiap problem kebangsaan hari ini. Tidak mengherankan, sila kedua hingga keempat Pancasila dirumuskan dalam apa yang kita kenal sebagai “manusia beradab”. Setidaknya, hal ini mampu diwujudkan di masyarakat, ditanamkan melalui pendidikan, dan dipertahankan melalui penegakan hukum yang berkeadilan.

Ingatlah satu hal, bahwa lahir karena adanya kesempatan, tentunya kesempatan itu mestilah diputus mata rantainya. Pemutusan mata rantai itu berdasarkan etika Pancasila, setidaknya merujuk pada dua hal, yaitu menjalankan prinsip ketuhanan dan kemanusiaan secara utuh, komitmen, konsisten, dan bertanggung jawab. Implementasinya seharusnya digalakkan sejak dalam lingkungan paling sederhana namun berarti besar, yaitu keluarga, sebagai fondasi awal pembangunan karakter dan kepribadian Pancasila insan Indonesia, lalu sekolah, lingkungan, nasional, regional, bahkan bila mampu mengguncang global. Penulis yakin, bahwa bila ini dilaksanakan secara konsisten, maka kepribadian bangsa akan terwujud dan meminimalkan tindakan koruptif yang mudah berkembang di negara yang tidak memiliki semangat kebangsaan dan prinsip kebangsaan yang terabaikan.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//