Pancasila Bukan sekadar Asas Partai Politik
Kelahiran Pancasila tidak lepas dari Asmara Hadi, murid Bung Karno. Ditulis dengan kalimat sastrawi, tetapi kini penyampaian Pancasila dilakukan secara dogmatis.
Penulis Emi La Palau21 April 2022
BandungBergerak.id - Pancasila kerap kali dipandang sebagai nilai yang kaku, disampaikan dengan cara-cara dogmatis, dan antikritik. Gesekan sosial yang kerap terjadi di masyarakat seolah mengesampingkan Pancasila. Bahkan Pancasila identik dengan asas partai politik, lalu dijual untuk mendapat simpatik rakyat. Fenomena ini bertolak belakang dengan sejarah Pancasila.
Sejarah Pancasila erat kaitannya dengan Asmara Hadi, murid terdekat Sukarno. Ketika lahir nama Pancasila pada 1 Juni 1945 yang masih menjadi pidato politik Sukarno dan belum menjadi dasar negara, disebutkan bahwa nama Pancasila merupakan “petunjuk seorang teman kita ahli bahasa”.
Seorang ahli bahasa tersebut tidak lain Asmara Hadi yang dibenarkan oleh SK Trimurti, Mr Sumanang, dan Soediro, sebagaimana dikonfirmasi Tito Zeni Asmara Hadi pada tahun 1968. Tito merupakan putra Asmara Hadi.
Melihat kondisi sosial saat ini, di mana nilai-nilai dasar serta makna Pancasila semakin tergerus di masyarakat, makna Pancasila sekakan mengering di masyarakat. Tito menyayangkan fenomena tersebut, mengingat tingginya makna Pancasila sebagai falsafah negara.
“Sebenarnya saya tidak sejutu (Pancasila dikenal hanya sebagai asas partai politik). Karena Pancasila adalah filosofi dasar, dasar negara, sumber dari segala hukum. Jadi kalau Pancasila sebagai dasar negara, sebagai falsafah bangsa, ditarik menjadi asas partai, berarti Pancasila itu turunlah pangkatnya, dari panglima menjadi kapten,” ungkap Tito Zeni Asmara Hadi, dalam diskusi dan bedah buku Tentang Pancasila Asmara Hadi, di Ruang Mgr.Geisse Lecture Theather, FISIP Unpar, Bandung, Rabu (20/4/2022).
Diskusi dan bedah buku Tentang Pancasila yang ditulis Asmara Hadi ini juga sekaligus merupakan Sekolah Pancasila pertama yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila (PSP) Univesitas Katolik Parahyangan, dengan dukungan BandungBergerak.id dan Yayasan Ibu Inggit Garnasih.
Selain Tito Zeni Asmara Hadi yang juga merupakan Ketua Yayasan Ibu Inggit Garnasih, hadir pula pembicara lainnya, yakni Tri Joko Her Riadi selaku Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id dan Sylvester Kanisius Laku, dosen Unpar. Diskusi ini dimoderatori oleh Edy Syah Putra Sihombig, dosen FISIP Unpar.
Diketahui bahwa Asmara Hadi menjadi sosok penting dalam proses lahirnya Pancasila. Pada pertengahan tahun 1934 sampai tahun 1935, Asmara Hasi menguikuti Sukarno saat dibuang ke Ende, Flores. Dalam pembuangan itulah, diskusi dan pembincangan mengenai dasar negara yang lima lahir. Yang memiliki makna dan nilai yang sangat tinggi sebagai falsafah negara.
“Saya harap mudah-mudahan masalah Pancasila ini implementasinya pada masyarakat, dasar negara, yang tinggi nilainya,” ungakp Tito.
Menurutnya, Pancasila merupakan persembahan terindah bagi negara. Bahwa tokoh Asmara Hadi orang yang banyak terlibat dan memberikan usul ketika di Ende, yang tahu betul alam pikirnya Bung Karno.
Baca Juga: Nilai Juang Kartini di Masa Kini, Kesetaraan Gender dan Menghapus Patriarkisme
Rencana Pembangunan Jalan Tol Soreang-Ciwidey-Pangalengan Mengancam Cekungan Bandung
Mengenang Ali Sastroamidjojo sebagai Penggagas Konferensi Asia Afrika
Pancasila Dituturkan dengan Bahasa yang Puitis
"Pada ketika-ketika yang terbaik dalam hidup manusia jika deru dunia menjadi sepi dan telinga batinnya hanya mendengar desiran ombak lautan sunyi maka menyelinaplah dengan amat dalam hatinya keinsafan bahwa di atas hidupnya yang fana dan singkat, laksana ombak sehari di atas samudra keabaian yang dalam, laksana angkasa tiada berdasar dan luas sepantun lautan tiada berpantai, ada satu kuasa yang tiada berawal tiada berakhir, yang tiada pernah meninggalkan manusia, yang membimbingnya melalui segala lembah, lereng dan puncak kehidupan."
Penggalan paragraf itu kalimat pembuka ketika Asmara Hadi menggambarkan sila pertama Pancasila, Ketuhanan. Dengan bahasa sastra dan bahasa yang puitik, ia menuliskan sila Ketuhana dengan indah.
Tri Joko Her Riadi mengungkapkan bahwa selama ini masyarakat mengenal Pancasila dan disampaikan sebagai sesuatu yang dogmatis, sesuatu yang keras dan kaku. Namun, oleh Asmara Hadi disampaikan dengan sangat puitis.
“Lalu kira-kira dunia kita hari ini, banyak ajaran itu disampaikan dengan sangat dogmatis. Lalu yang muncul kesannya adalah keras, sangat formal, sangat kaku, dan akhirnya tidak ada celah untuk sesuatu yang sastra dalam tanda kutip, sesuatu yang sebenarnya bisa mencapai banyak orang tanpa harus dipaksa,” ungkapnya.
Joko menyatakan, Asmara Hadi menyampaikan nilai-nilai Pancasila dengan sangat luwes, dengan nilai-nilai yang sangat menyentuh. Hal ini jarang terlihat sekarang ini. Banyak tokoh yang justru menyampaikan Pancasila secara dogmatis.
Latar belakang Asmara Hadi mempengaruhinya dalam dalam menuliskan Pancasila. Selain sebagai jurnalis, ia juga seorang seniman dan penyair. Pancasila lahir di saat Indonesia jauh dari stabil. Penuh dengan kemelut. Dari situlah, kata Joko, naskah Pancasila ditulis dengan menggunakan bahasa yang dapat diterima oleh publik.
Asmara Hadi menuliskan Pancasila dalam proses perjalanan yang panjang, mulai dari merantau ke Bandung sejak usia 14 tahun untuk belajar dengan Sukarno, lalu belajar tentang pers dan politik, kemudian ikut di pembuangan Ende.
“Saya pikir Pancasila juga demikian. Pancasila itu akan lahir dan terus berkembang justru dalam kemelut. karena dia lahir dari ketidaknyamanan, dibuang, lalu merumuskan banyak hal. Lalu menemukan butir-butirnya, lalu merumuskannya,” ungkap Joko.
Perlawanan atas Kapitalisme
Jika masyarakat mengenal bahwa Pancasila sebagai pandangan hidup, dasar negara dan ideologi bangsa, Sylvester Kanisius Laku mengatakan bahwa dalam buku Tentang Pancasila dijelaskan bahwa di benak Sukarno Pancasila sebagai filsafat politik dan sosial. Artinya, sebagai filsafat ilmu, masih ada celah untuk berdiskusi bersama mengenai Pancasila. Tak melulu tertutup dan antikritik.
“Demikian Pancasila sebagai ilmu dalam konteks filsafat, berarti kita harus mengakui bahwa Pancasila bisa mendekati diri kita sebagai Indonesia. Melalui Pancasila, sebagai sebuah parameter indikator sebagai orang Indonesia,” ungkapnya.
Sylvester juga menafsirkan urutan-urutan dari Pancasila menurut buku Tentang Pancasila Asmara Hadi. Asmara Hadi menempatkan sila kesejahteraan menjadi hal utama yang harusnya dibereskan.
Setelah kesejahteraan, berikutnya adalah kemanusiaan dan demokrasi, diikuti kebangsaan dan ketuhanan. Ketuhanan disimpan di akhir bukan karena Tuhan tidak penting, justru karnea Tuhan berada di tingkat paling agung atau sublime, maka layak menjadi tujuan dari segala hal kemanusiaan.
“Jadi Asmara Hadi itu meletakkan pembahasan tentang perut itu di paling awal, lalu yang sublime itu paling akhir. Kalau kita buat piramida ke atas, dari urusan kesejahteeraan, kemakmuran itu dibereskan dulu, mungkin logikanya begitu,” ungkapnya.
Catatan berikutnya, kata Sylvester, seluruh isi buku Tentang Pancasila oleh Asmara Hadi merupakan kritik terhadap kapitalisme. Ini relevan melihat kondisi masyarakat saat ini maupun di era kelahiran Pancasila masih terbelenggu dalam kapitalisme.