• Opini
  • PELAJAR BERSUARA: Jangan Biarkan Pencoleng Dana Pendidikan Warga Miskin

PELAJAR BERSUARA: Jangan Biarkan Pencoleng Dana Pendidikan Warga Miskin

Warga harus terlibat aktif secara politik untuk memastikan negara memenuhi hak warganya atas pendidikan.

Adli Firlian Ilmi

Siswa SMP Negeri 1 Kota Bogor

Ilustrasi komersialisasi pendidikan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

3 Mei 2024


BandungBergerak.id – Indonesia, sebuah negara kepulauan yang luas serta memiliki beragam sumber daya alam. Dihuni setidaknya 270 juta Masyarakat yang beragam dari sabang Aceh, hingga ke Merauke di Papua. Keberagaman demografi masyarakat ini dikenal sebagai multikultur.  Bukan hanya memiliki keberagaman budaya, Indonesia juga memiliki keberagaman kekayaan sumber daya alam.

Kekayaan budaya dan alam itu harus dikelola dengan baik. Tanpa dikelola dengan baik, semua keberagaman, yang merupakan kekayaan kita itu justru akan berubah menjadi kutukan. Keberagaman budaya bila tidak dikelola dengan baik akan menjadi sumber konflik antar etnis yang tak berkesudahan. Keberagaman kekayaan alam, jika tidak dikelola dengan baik hanya akan menyisakan kerusakan lingkungan hidup dan kemiskinan bagi masyarakat sekitar.

Untuk mengelola anugerah keberagaman itu diperlukan kecerdasan dari anak-anak bangsanya. Salah satu jalan untuk meningkatkan kecerdasan itu adalah pendidikan. Tujuan pendidikan nasional ini termaktub dalam UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi: ”Mencerdaskan kehidupan berbangsa”.

Akses terhadap pendidikan harus terbuka bagi anak yang tinggal di desa maupun kota. Akses pendidikan juga harus terbuka bagi anak buruh, petani, nelayan, kaum miskin di kota dan desa Dengan kata lain, tidak boleh seorang anak tidak sekolah hanya karena ia miskin.

Pertanyaannya kemudian adalah, benarkah akses pendidikan sudah terbuka bagi semua kalangan di negeri kita saat ini?  Menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), hanya sekitar 29,97% masyarakat Indonesia yang menuntaskan pendidikan ke jenjang menengah. Dan lebih sedikit lagi yang melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Dari data itu, kita segera bisa menyimpulkan bahwa ada yang salah pada sistem pendidikan kita.  Mengapa hanya sekitar 29% masyarakat yang melanjutkan pendidikan ke jenjang menengah, padahal seperti pendidikan sendiri adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.

Baca Juga: Pendidikan dan Politik Bahasa, Sekolah sebagai Mitos Juru Selamat?
Mengenal Penyebab Diskriminasi Gender di Dunia Pendidikan
Pendidikan Riwayatmu Nanti

Pendidikan Layak Belum Merata

Perbedaan kelas sosial adalah salah satu alasan utama kenapa masyarakat kelas bawah tidak bisa meraih pendidikan yang layak. Banyak di daerah pinggiran perkotaan yang pendidikannya sudah maju, seperti di Jakarta. Masyarakat kelas bawah tersingkirkan dari akses pendidikan yang layak. Biaya pendidikan yang mahal dan pungutan liar di beberapa sekolah negeri, kerap menjadi alasan mengapa para orang tua menyuruh anaknya untuk berhenti sekolah dan menyuruh anaknya mencari nafkah.

Ketidakadilan ini tidak dapat di tolerir. Pendidikan yang layak merupakan hak seluruh warga negara. Pemerintah telah mengeluarkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk menunjang pemerataan pendidikan bagi kaum yang termaginalkan. Namun, mengapa masih banyak masyarakat yang kesusahan dalam mendapatkan pendidikan yang layak? Apakah bantuan ini salah target?

Tidak dapat dipungkiri ada masyarakat perkotaan melakukan penyelewengan data untuk menerima bantuan pendidikan dari Kartu Indonesia Pintar (KIP), hal ini membuat masyarakat yang benar-benar perlu dibantu menjadi tertinggalkan oleh ulah pencoleng dana pendidikan bagi warga miskin itu.  

Jika bantuan untuk masyarakat bawah terus diselewengkan oleh borjuis kecil ini, maka pendidikan di negara kita akan terus berantakan. Perlu adanya sistem untuk mencegah penyelewengan ini. Persoalan data kemiskinan ini menjadi persoalan yang pelik di negeri ini. Peliknya persoalan data kemiskinan itu terjadi karena memang tidak ada kemauan politik dari negara untuk melakukan pembenahan secara total.

Pencoleng dana pendidikan bagi warga miskin bukan hanya sebatas pemalsuan data kemiskinan dalam KIP. Para pencoleng dana pendidikan bagi warga miskin adalah mereka para koruptor yang menyunat dana pendidikan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Koruptor dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) termasuk dalam pencoleng dana pendidikan bagi warga miskin.

Bukan hanya koruptor dana BOS, pencoleng dana pendidikan bagi warga miskin juga termasuk para politisi yang hendak mengalihkan dana BOS untuk program politik makan siang gratis. Gagasan mengalihkan dana BOS untuk program politis makan siang gratis bukan saja berbahaya namun juga mengancam akses warga miskin terhadap pendidikan.

Pendidikan adalah hak asasi manusia. Kewajiban negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warga atas pendidikan itu. Dalam konteks inilah pendidikan adalah persoalan politik. Warga harus terlibat aktif secara politik untuk memastikan negara memenuhi hak warganya atas pendidikan. Salah satu caranya adalah, kita sebagai warga negara harus senantiasa bersuara bila para pencoleng dana pendidikan bagi warga miskin mulai beraksi melalui serangkaian kebijakan yang tidak masuk akal, di tingkat sekolah, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain tentang pendidikan

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//