• Opini
  • PELAJAR BERSUARA: Bahaya Perundungan dalam Dunia Pendidikan

PELAJAR BERSUARA: Bahaya Perundungan dalam Dunia Pendidikan

Penanganan kasus kekerasan dalam dunia pendidikan masih mendapatkan porsi perhatian yang kecil dari pemerintah ataupun masyarakat.

Mulyani

Siswa Kelas X SMA Pasundan 8 Bandung

Penampilan pantomim dari Suharmoko dan Andini Mardiani yang menggambarkan perundungan yang kerap terjadi di lingkungan sekolah. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

15 November 2024


BandungBergerak.id – Pendidikan seharusnya menjadi titik awal upaya membentuk karakter manusia dan bangsa Indonesia yang lebih mengedepankan adab dan budi pekerti sehingga tersimpan harapan yang cerah untuk masa depan dari generasi ke generasi, tetapi justru terkadang pendidikan malah menjadi penyumbang berbagai kasus kekerasan, baik yang dilakukan secara fisik maupun verbal. 

Seiring dengan waktu dan kemajuan teknologi kini banyak masyarakat yang memanfaatkan teknologi dunia maya untuk mencari penghidupan, meskipun terkadang disalahgunakan dan berdampak merugikan orang lain. Misalnya gejala cyber bullying yang menjadi bagian dari perundungan di kalangan remaja telah  menjadi keprihatinan tersendiri. Kelompok remaja yang dari sisi perilaku dan pemikiran masih dirasa labil sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk memenuhi hasrat nafsunya dengan melakukan perundungan secara emosi maupun perundungan secara seksual.

Berbagai kasus kekerasan dan perundungan di kalangan pelajar dari tingkat sekolah dasar dan menengah, bahkan di kalangan perguruan tinggi sekalipun sudah berada diambang kekhawatiran. Entah berapa ratus kasus perundungan terhadap pelajar remaja yang diwartakan berbagai media cetak dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data yang diliris Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), jumlah kasus bullying di satuan pendidikan pada periode Januari–September 2023 saja ada 23 kasus. Perinciannya adalah 50% di jenjang SMP, 23% SD, 13,5% SMA, dan  13,5% di SMK. Data tersebut menurutku sangat memprihatinkan karena itu semua terjadi dilingkup satuan pendidikan.

Adapun tantangan terbesar dalam mengungkap berbagai kasus di kalangan remaja pelajar tersebut terletak pada terbatasnya akses korban untuk berpendapat dalam menghadapi pelaku bullying yang biasanya dilakukan secara berkelompok. Belum lagi kalau pelaku bullying itu punya kekuatan uang dan bisa membayar pengacara yang akan mendapat pembelaan atas tindakannya yang melanggar hukum. Lemahnya penegakkan hukum  menjadi pengaruh terjadinya sebagian orang kebal terhadap hukum itu sendir apalagi kalau seseorang yang mempunyai kekuasaan, seakan tidak gentar kalaupun melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma dan hukum.

Dibalik perilaku remaja yang masih labil, faktor penyebab melakukan kekerasan dapat dipengaruhi faktor internal maupun eksternal. Seperti hakikat manusia pada umumnya, seseorang akan saling meniru sesuatu untuk menjadi pembelajaran awal. Maka dari itu faktor internal yang meliputi pendidikan dalam lingkungan keluarga menjadi fondasi awal terbentuknya pribadi remaja. Di sini peran orang tua sangat penting, jika perilaku orang tua belum mencerminkan kebenaran sesungguhnya maka jangan harap anak-anak akan menerapkan berbagai kebenaran.

Ada pepatah yang mengatakan “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, perilaku anak mencerminkan apa yang dilakukan arang tuanya. Oleh karena itu, orang tua harus memiliki kematangan dalam berperilaku secara mental dan fisik yang akan ditiru anak sebagai seorang “guru” pertamanya. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh bagaimana pergaulan dan interaksi sehari-hari remaja itu apakah dalam lingkaran yang baik atau malah dalam lingkungan negatif. Apabila terhubung dengan seseorang yang membawa pengaruh buruk maka akan terbawa dalam circle-nya yang buruk juga. Selain itu pengaruh teknologi digital yang jika tidak digunakan secara bijak akan merusak masa depan anak remaja. Pergaulan bebas secara virtual  sering berdampak buruk, adanya cyber bullying di media sosial tak lepas juga dari penyalahgunaan teknologi yang mengkhawatirkan. Tontonan film kurang baik bertema kekerasan, tawuran, perundungan, dll. yang mudah diakses juga sering mendorong hasrat anak remaja  untuk mencobanya dengan dilatarbelakangi rasa penasaran.   

Baca Juga: PELAJAR BERSUARA: Menelisik Perspektif Pelajar terhadap Batik
PELAJAR BERSUARA: Pemerataan sebagai Jalan Terbuka untuk Kemajuan Pendidikan Indonesia
PELAJAR BERSUARA: Membaca Peristiwa Mei 1998 dari Buku yang Berbeda

Penanganan Kasus Perundungan

Kasus perundungan akan berdampak luas kepada korbannya, ia bisa mengalami cedera pada kesehatan anggota tubuhnya jika mengalami bullying secara fisik ataupun terluka secara mental psikis apabila perundungan bersifat lisan yang dilakukan secara sengaja ataupun tidak disengaja. Sedangkan untuk yang mengalami perundungan secara seksual, korban akan sulit untuk bersosialisasi dan kurang percaya diri dalam membangun kembali relasi dengan orang lain.  Cyber bullying yang marak terjadi seakan mengalami proses “normalisasi” di kalangan masyarakat. Mungkin itu juga karena dipengaruhi oleh media-media sosial yang banyak menayangkan beragam bully ataupun kekerasan tanpa ada disaring terlebih dahulu, sehingga banyak orang awam yang terpengaruhi bahkan mungkin menjadi pelakunya sendiri.    

Secara garis besar sebagian pelaku perundungan melakukannya karena ingin melampiaskan hawa nafsunya atau bisa juga sebagai kesenangan belaka karena melihat teman pergaulannya melakukan hal yang sama. Perilaku bully itu selain membahayakan untuk diri sendiri maupun orang lain, juga akan menghilangkan rasa empati antara sesama manusia, menghilangkan kepercayaan diantara teman-teman pergaulannya.  

Penanganan kasus kekerasan dalam dunia pendidikan masih mendapatkan porsi perhatian yang kecil dari pemerintah ataupun masyarakat. Begitu pun dari pihak sekolah yang masih kurang maksimal dalam mengurangi dan mencegah kasus perundungan siswa. Sebagai upaya untuk mencegah kasus perundungan, penanganannya pertama harus ada edukasi kepada siswa melalui kurikulum atau pembelajaran di sekolah. Kemudian melindungi baik kepada korban ataupun saksi untuk bisa terlepas dari trauma dengan memberi tempat yang bebas untuk bisa mengeluarkan pikirannya, menyampaikan keluh kesah dan permasalahannya. Dan yang lebih penting adalah penegakan hukum kepada siapa saja yang bersalah melakukan kekerasan ataupun perundungan.

Keamanan dan kenyamanan siswa di lingkungan sekolah harus tetap terjaga, mereka berhak memiliki lingkungan pembelajaran yang aman. Sehingga tidak ada lagi kasus-kasus perundungan di dunia pendidikan. Kesadaran para orang tua, guru, siswa, hingga pemerintah itu sendiri terhadap bahaya perundungan dengan mewujudkan hubungan dan lingkungan yang sehat bagi anak,  tentunya akan membuahkan generasi muda penerus bangsa yang penuh harapan.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Pelajar Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//