PELAJAR BERSUARA: Membaca Peristiwa Mei 1998 dari Buku yang Berbeda
Seharusnya tidak terjadi lagi peristiwa-peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM setelah Reformasi 1998.
Mulyani
Siswa Kelas X SMA Pasundan 8 Bandung
28 Oktober 2024
BandungBergerak.id – Sebagian orang menyebut kebodohan itu dipelihara untuk kepentingan politik. Bukan bermaksud mengatakan sesuatu yang tidak beretika, tapi itu bagian kenyataan di mana masyarakat banyak yang tidak peduli terhadap hukum. Kondisi seperti itu juga yang mendorongku untuk mengetahui lebih jauh dunia hukum dan politik. Pernah terlintas dalam pikiranku pertanyaan, bagaimana Indonesia ke depannya? Apalagi setelah aku membaca novel yang sedang booming Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, jadi semakin ingin tahu masa-masa kelam yang ada di dalam negeri kelahiranku Indonesia.
Masa pilu yang mungkin akan terkubur oleh waktu dan sejarah, karena kekuasaan kerap menutup-nutupi kasus besar untuk mempertahankan politik kekuasaannya. Sudah sekitar 10 tahun aku berstatus seorang pelajar, topik tentang pemerintahan orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto sering disampaikan oleh para guru, terutama dalam materi pelajaran sosial atau sejarah.
Keterlibatan sejarah di materi kurikulum sekolah membuat perjalananku mengulik semakin jauh tentang sejarah politik kelam masa lalu yang tidak diabadikan di buku-buku sekolah, karena tidak semua pelajar memiliki minat yang sama dalam membahas peristiwa Reformasi 1998. Ini juga mungkin terkait dengan minat membaca kita yang masih rendah, kita baru membaca seperempat baris saja sudah langsung menutup buku kembali.
Sikap mental kita sebagai “generasi emas” Indonesia cukup memprihatinkan, bukan karena kemarahanku atau memaksa mereka untuk bersikap kritis terhadap rezim Soeharto dan pemerintahan lainnya yang berusaha berkuasa lewat pelanggaran HAM /Hak Asasi Manusia. Tetapi, keterbukaan pemikiran mereka terkait permasalahan besar di sekitarnya yang dinilai acuh tak acuh . Untuk memikirkan dua atau tiga soal matematika saja sudah mengadu pada teknologi AI (Artificial Intellegence) apalagi untuk membaca puluhan, ratusan, bahkan ribuan kata-kata yang tersimpan dalam sejarah yang sudah berusia puluhan tahun, pikirnya itu tidak akan berguna buat masa depan. Ini mungkin salah satu faktor kegagalan pemerintah mengelola sistem pendidikan
Baca Juga: PELAJAR BERSUARA: Merancang Strategi untuk Membangun Pendidikan di Masa Depan
PELAJAR BERSUARA: Menelisik Perspektif Pelajar terhadap Batik
PELAJAR BERSUARA: Pemerataan sebagai Jalan Terbuka untuk Kemajuan Pendidikan Indonesia
Peristiwa Mei 1998
Ketertertarikan yang sungguh melenceng ini membuat ruang jalanku semakin jauh dengan membaca buku Kronik Penculikan Aktivis Dan Kekerasan Negera 1998 tulisan Muhidin M. Dahlan yang aku pinjam dari bapak Indra Prayana yang juga seorang penulis. Buku ini menarik karena dari awal pembacaan banyak sekali statements yang menyatakan "tuduhan" atau "Opini-opini berlawanan" yang menyatakan bahwa politik itu abu-abu. Agresivitas kepemimpinan Soeharto dan orde baru yang menganut despotisme sudah mencerminkan pengkhianatannya pada rakyat dan Pancasila, sistem otoriter Soeharto yang diselimuti demokrasi menjadi tantangan tersendiri pada masa itu. Kekuasaannya yang berlangsung selama 32 Tahun sering membuatku bertanya-tanya, kenapa bisa begitu lamanya, padahal pada waktu itu ada juga pemilihan presiden, tetapi kita sudah tahu hasilnya seperti apa.
Meskipun buku itu banyak menggunakan bahasa dan kebahasaan militer yang tidak terlalu aku mengerti, tetapi yang pasti keterlibatan militer dan kepolisian Indonesia dalam melakukan pelanggaran HAM sudah banyak terjadi. Ketidakprofesionalan ABRI menghadapi peristiwa 1998 ini menyatakan bahwa hukum Indonesia sebetulnya sudah tersandera oleh kekuasaan. Kasus penculikan dan kekerasan yang dilakukan aparat akan terus menjadi catatan sejarah pilu cacatnya hukum Indonesia. Sayangnya, pelanggaran HAM oleh aparat masih suka terjadi hingga sekarang untuk "membungkam" masyarakat ataupun orang-orang yang vokal terhadap pemerintah.
Membaca berbagai pengakuan para korban penculikan saat kerusuhan 1998 yang menceritakan "sosok" penculik mereka yang melakukan berbagai tindakan tidak manusiawi membuatku merasakan pilu dan ngeri. Para korban yang hidupnya dihantui ketakutan seakan tidak dipedulikan oleh negara. ABRI lembaga yang waktu itu dianggap bertanggung jawab atas penculikan malah berusaha membersihkan nama baiknya, sehingga banyak mendapatkan kritik dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Nama Prabowo Subianto sebagai karakter utama di institusi militer dianggap terlibat dalam kasus pelanggaran HAM besar ini. Dengan bukti-bukti dan pengakuan yang sudah jelas, kehormatan Prabowo selaku petinggi militer akhirnya harus sirna setelah dipecat dari jabatannya. Meskipun sepertinya ABRI sendiri ingin membuat berbagai kasus yang menimpa institusinya (penculikan aktivis dan kerusuhan Mei) ini kian surut dan terlupakan oleh waktu.
Sosok yang selama ini berkontribusi besar dalam menangani kasus kerusuhan Mei 1998 adalah Munir (almarhum). Sosok yang memang selama itu dikenal sebagai aktivis HAM yang kritis terhadap pemerintah, tetapi karena sikapnya itulah banyak lembaga atau orang yang tidak suka dan dendam kepadanya. Akhirnya ia pun harus mati di racun saat akan menempuh pendidikan keluar negeri, dan itu menambah tragedi mencekam dalam list #SeptemberHitam. Sepertinya memang takdir kematian orang yang berani bersuara ada dinegara kelahirannya sendiri dan dibunuh oleh bangsanya sendiri.
Semoga semua kasus HAM dapat diselesaikan hingga tuntas, dengan terbuka dan bersih hingga tuntas. Walaupun pemecahan kasus ini belum terungkap sepenuhnya, namun masih sedikit berharap cerita ini dan cerita pilu lainnya tidak akan pernah hilang dari peredaran di masyarakat untuk terus dibahas. Dengan membaca sejarah peristiwa Mei 1998 dari buku yang berbeda ini, aku masih mengharapkan sedikit percikan kepercayaan pada pemerintahan selanjutnya meski pengkhianatan itu selalu berulang dan berulang lagi. Pergantian dari masa reformasi hingga sekarang seharusnya tidak terjadi lagi peristiwa-peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM lainnya. Sehingga dalam benakku tidak lagi terlintas pertanyaan, “Kapan kita ini merdeka sesungguhnya?’
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Pelajar Bersuara