RESENSI BUKU: Menjadi Orang Normal dalam Novel Si Bengkok Karya Ichikawa Saou
Ichikawa Saou merasakan betapa sulitnya menjadi orang ‘normal’. Sama sulitnya dengan pertanyaan orang-orang normal tentang bagaimana hidup orang-orang difabel.
Penulis Abdullah Dienullah 26 Oktober 2025
BandungBergerak - Bagaimana jika seseorang ingin menjadi ‘normal’, tapi ternyata untuk menjadi ‘normal’ pun sangat sulit? Mungkin pertanyaan ini bukan sesuatu yang akan terlintas di kepala sebagian besar manusia di muka bumi ini. Tapi buku novel Si Bengkok karangan Ichikawa Saou yang diterjemahkan oleh Dewi Anggraeni ke bahasa Indonesia ini merefleksikan pertanyaan tersebut.
Bagian pertama buku ini dibuka dengan sebuah kisah dewasa mengenai happening bar di Tokyo yang disajikan dalam buku ini dengan format penulisan html, menunjukkan bahwa Izawa Shaka, karakter utama dari novel ini, merupakan seorang penulis artikel dan cerita dewasa. Ia merupakan seorang penderita skoliosis yang disebabkan oleh sebuah kelainan genetik bernama miopati myotubular. Kelainan genetis ini menyebabkan perkembangan otot Shaka menjadi terganggu, yang kemudian membuat tulang punggungnya menjadi membengkok dan membentuk huruf s.
Penyakit ini membuat organ-organ tubuhnya tidak dapat berfungsi seperti orang biasa. Ia harus tergantung pada peralatan-peralatan medis untuk sekedar bisa bernapas. Paru-parunya tertekan oleh tulang rusuknya sendiri yang juga tenggelam dalam sekresi tubuh yang harus selalu disedot keluar. Jantungnya pun tidak mampu untuk mengedarkan darah dan oksigen ke tubuh Shaka secara sempurna. Penyakit itu bahkan membuatnya kesakitan saat membaca buku.
Kemalangan ini membuat Shaka mempertanyakan bagaimana rasanya menjadi orang ‘normal’. Ia ingin mengetahui bagaimana rasanya “hamil dan aborsi”, sebagaimana yang dialami orang-orang normal yang menjadi karakter di tulisan-tulisannya, serta para pembaca yang mengunjungi laman-laman ceritanya.
“Cita-citaku adalah mengandung anak dan aborsi sebagaimana perempuan pada umumnya,” tulis Shaka.
Sebetulnya Shaka sama sekali tidak perlu bekerja dan menulis cerita. Ia berasal dari keluarga yang sangat kaya. Ia hidup di sebuah Group Home besar yang dibuat oleh keluarganya sebagai tempat hidup bersama beberapa orang difabel lainnya. Semua penghasilan dari artikel dan cerita dewasa yang ia tulis disumbangkan dalam bentuk furikake ke bank makanan dan donasi lainnya.
Sama seperti Shaka, Ichikawa Saou juga merupakan seorang difabel penderita miopati yang kemudian memunculkan gejala skoliosis. Buku yang ditulisnya ini mengantarkannya menjadi penerima penghargaan Akutagawa Prize ke-169, sebagai pemenang difabel pertama dari penghargaan bergengsi tersebut.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Memahami Perempuan dalam “Perempuan Jika Itulah Namamu”, Sebuah Buku Karya Maman Suherman
RESENSI BUKU: Sebuah Buku yang Tidak Ditujukan untuk Malaikat dan Iblis
Novel ini menyajikan sudut pandang baru bagi pembaca mengenai bagaimana seorang difabel melihat dunia dan dirinya sendiri. Novel ini merupakan suara autentik seorang difabel. Buku ini biarpun tipis, 90 halaman, mampu menyajikan pergolakan batin maupun fisik dari Shaka, baik dalam menyikapi dunia yang tidak benar-benar ramah pada difabel maupun pada pergolakan batinnya dalam melihat dirinya sendiri sebagai seorang manusia.
Pertanyaan-pertanyaan dalam batin Shaka tergambar dengan sangat mendetail dan kadang mencekam. Tentang bagaimana seorang difabel terpaksa harus menjalani hidup mereka dengan sangat tersiksa akibat dunia yang selalu didesain untuk mengakomodasi orang-orang ‘normal’ tanpa benar-benar memberikan akses inklusif yang bermakna. Shaka mempertanyakan dan mengutuk hal itu. Untuk membaca buku cetakan saja ia sangat kesulitan.
Tidak hanya persoalan pandangan soal hidup sehari-hari yang dipertanyakan dalam novel ini. Berbagai produk hukum seperti undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh orang ‘normal’ pun dipertanyakan keberpihakannya kepada para difabel. Contohnya, hukum-hukum mengenai hak kesehatan reproduksi di Jepang menurut Shaka menghalangi para difabel memiliki anak. Di sisi lain, hukum itu terkesan membiarkan para para orang tua yang memilih untuk melakukan aborsi pada janin yang difabel.
Buku ini mampu menghadirkan berbagai masalah yang sangat rumit dengan bahasa ringan dan sederhana, seperti saat menggambarkan konsep diri, gender, dan hukum dari perspektif Shaka. Ia menarasikan kisahnya sendiri secara ringan yang kadang kali terkesan lucu namun kadang juga mengerikan (bagi pembaca yang ‘normal’, setidaknya). Pembaca mungkin akan mulai mempertanyakan bagaimana rasanya hidup menjadi seorang difabel.
Informasi Buku
Judul: Si Bengkok
Penulis: Ichikawa Saou
Penerjemah: Dewi Anggraeni
Sampul : Fitriana Hadi
Kategori: Fiksi (Novel)
Penerbit: Anagram
Halaman: 98 Halaman
Ukuran: 13 x 19 cm
Harga: 80.000 rupiah.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

