SABTU SORE #30: Pemerintah Didesak Mengatur Cukai Minuman Berpemanis agar Sama Ketatnya Dengan Regulasi Rokok dan Alkohol
Kebijakan cukai minuman berpemanis bagian dari penanggulangan meningkatnya konsumsi gula berlebihan yang mengancam kesehatan publik terutama anak-anak dan remaja.
Penulis Nabilah Ayu Lestari20 Oktober 2025
BandungBergerak - Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak percepatan penerapan cukai untuk Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Minuman berpemanis perlu aturan ketat seketat cukai rokok dan alkohol karena dampaknya yang serius pada kesehatan generasi muda. Konsumsi gula berlebih berkontribusi pada lonjakan kasus diabetes, obesitas, hipertensi, dan penyakit jantung yang jumlahnya terus meningkat di Indonesia.
Untuk mengatasi 'darurat gula' yang semakin mengkhawatirkan, Nida Adzilah Auliani, Koordinator Proyek Kebijakan Pangan CISDI menyatakan, kebijakan cukai minuman berpemanis kini tengah disusun oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), BPOM, dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan direncanakan akan diberlakukan pada tahun 2026.
CISDI yang aktif dalam memantau dan mengadvokasi kebijakan ini untuk memastikan implementasinya berjalan efektif. CISDI mengajukan rekomendasi bahwa cukai MBDK seharusnya dikenakan berdasarkan kandungan gula dalam produk. Adanya regulasi dapat memberikan informasi gizi secara transparan dan akurat.
"Semakin tinggi kandungan gula, semakin tinggi pula tarif cukainya," ujar Nida, di diskusi publik SABTU SORE yang digelar Kawan Medis x Talk About Health Promotion bertajuk "Manis Tapi Ngenes: Bahaya Tersembunyi di Balik MBDK" di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, 18 Oktober 2025.
Nida menegaskan pentingnya sistem cukai sebagai instrumen fiskal yang efektif dalam menekan konsumsi gula dan mengedukasi masyarakat bahwa MBDK bukan bagian dari pola hidup sehat. Ia juga menyoroti klaim "Tinggi Kalsium" atau "Rendah Lemak" sering kali mengaburkan fakta bahwa produk tersebut justru mengandung gula yang sangat tinggi.
"Kadang klaim-klaim kesehatan ini mengaburkan informasi sesungguhnya. Kita sering tidak sadar bahwa produk itu memiliki kandungan gula yang sangat tinggi," ujar Nida.
Konsumsi MBDK di Indonesia, menurut data yang dipaparkan Nida, terus meningkat dan berkontribusi besar terhadap penambahan penyakit tidak menular (PTM) seperti obesitas, diabetes, dan hipertensi (penyebab penyakit jantung). PTM ini telah menjadi beban berat bagi sistem kesehatan nasional.
Selain itu, Nida menyoroti adanya ketidaksesuaian antara produk yang masuk dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan kandungan gizinya, terutama gula.
“(Dalam produk MBG) apakah sudah aman atau bahkan tinggi, sehingga membahayakan kondisi kesehatan anak,” ujarnya, menekankan bahwa transparansi informasi gizi pada produk sangat diperlukan untuk melindungi kesehatan anak-anak.
Baca Juga: Mengenai Akar Gangguan Kesehatan Mental dan Cara Menanganinya
Menjaga Anak-anak di Bandung agar tak Rentan Terserang Diabetes
Pentingnya Regulasi yang Tegas terhadap Konsumsi Gula
Dalam diskusi ini, Imaduddin Aulia, seorang mahasiswa kedokteran gigi, juga memperingatkan dampak buruk konsumsi gula terhadap kesehatan gigi dan gusi.
"Bakteri yang muncul di gigi dan gusi diakibatkan dari konsumsi makanan tinggi gula, dan jika dibiarkan terlalu lama akan membuat kerusakan gigi dan mulai ada kalkulus dan karies," ujar Imaduddin, seraya menambahkan bahwa kerusakan gigi bisa berlangsung seumur hidup karena gigi permanen tidak dapat diganti.
Imaduddin juga menekankan bahwa pemerintah harus memberikan contoh nyata dengan mengatur konsumsi gula seperti halnya regulasi terhadap rokok dan minuman keras.
"Pemerintah mungkin ya memberikan contoh kalau gula ini tuh sebetulnya perlu dipantau lah konsumsinya, sama sepertinya rokok, sama selayaknya minuman keras," tegasnya, sambil mendesak agar ada kebijakan yang lebih tegas dan sistematis dalam mengatasi krisis konsumsi gula berlebih di Indonesia.
Narasumber lainnya, Nafisah Auliya Rahmah, mahasiswi gizi Poltekkes Bandung, menyoroti bahwa sulit bagi anak muda, termasuk dirinya sendiri, untuk lepas dari glukosa.
"Sekarang tuh lagi marak banget diabetes mellitus yang di mana bukan terjadi pada usia yang lebih rentan tapi pada anak-anak hingga remaja juga banyak banget," ujar Nafisah, yang bahkan sedang mengambil tugas akhir terkait diabetes pada remaja dan menemukan bahwa prevalensinya yang tinggi.
Nafisah menjelaskan, budaya konsumsi glukosa berlebihan ini memiliki dampak kesehatan yang mengkhawatirkan. Ia menyoroti bagaimana MBDK dan minuman manis menjadi solusi instan bagi anak muda yang merasa haus dan butuh glukosa.
“Makanan dan minuman yang memiliki rasa yang enak banget, terus marketing-nya juga bagus, iklannya juga bagus, biasanya lebih menarik dan banyak dikonsumsi," tegasnya.
Kondisi ini diperparah dengan gencarnya pemasaran minuman tidak sehat. Menurut Nafisah makanan dan minuman sehat dinilai belum terlalu menarik di kemasan dan belum terlalu menarik dalam segi marketing pemasarannya.
Salah satu peserta diskusi, Dina dari Buah Batu, mengungkapkan bahwa kegiatan edukasi ini membantunya memahami dengan lebih baik asupan gula harian yang aman.
"Kegiatan ini mempermudah saya dalam memahami pembagian gula yang benar. Kadang kita tidak sadar, satu gelas saja sudah melebihi batas harian," ujarnya.
Hal serupa disampaikan Fauzan dari Cijerah yang menilai bahwa peredaran minuman manis berkemasan yang bebas di Indonesia menjadi ancaman bagi kesehatan anak-anak.
"Minuman manis berkemasan itu memang sangat bebas di Indonesia beredar. Saya merasa penting untuk membatasi minuman-minuman ini beredar di berbagai tempat seperti di sekolah anak-anak. Saya khawatir ini menjadi ancaman besar bagi kesehatan anak-anak, dan regulasi dari pemerintah harus tegas dan konsisten," ujarnya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB