Kelas Liar #6: Mengenai Akar Gangguan Kesehatan Mental dan Cara Menanganinya
Setiap orang mengalami rasa lelah secara fisik dan mental. Gejala ini bisa berdampak serius jika tidak dikelola dengan baik.
Penulis Salma Nur Fauziyah23 September 2025
BandungBergerak - Rasa lelah memang tak terhindarkan, terutama di zaman teknologi yang serba cepat dan membanjirnya informasi. Semua itu menumpuk tanpa kita sadari, sampai-sampai tubuh terasa lelah dan mental mulai terganggu. Apalagi dengan peristiwa-peristiwa akhir-akhir ini, seperti pernyataan pemerintah yang tidak menunjukkan empati dan kondisi Indonesia yang tidak baik-baik.
Di tengah kondisi tersebut, menjadi tetap waras dan saling menjaga kesehatan mental secara kolektif sangatlah penting. Sebagai ruang jeda di tengah kesemrawutan yang terjadi, Kelas Liar #6 tentang Kesehatan Mental, di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Sabtu, 20 September 2025.
Di sesi pertama Kelas Liar oleh Indri Utami Sumaryanti, dosen psikologi Unisba, para peserta diajak memetakan akar masalah kesehatan mental. Menurut WHO, seseorang yang sehat secara mental adalah orang yang mentalnya sejahtera. Individu tersebut mampu mengenali kemampuan mereka dan dapat menghadapi stres-stres normal pada hidup, bisa produktif dan berkontribusi dengan masyarakatnya.
Ada empat indikator yang bisa digunakan untuk mengukur kesehatan mental, yaitu individu mampu menyadari potensi diri, menghadapi tekanan hidup sehari-hari, bekerja secara produktif, dan berkontribusi positif pada masyarakat. Indri menekankan bahwa tiap-tiap indikator ini bukan hanya dicapai dengan sebuah pencapaian yang ‘wah’.
Contohnya, bekerja secara produktif tidak selalu berarti harus menjadi pekerja kantoran yang rajin. Melakukan pekerjaan rumah pun bisa dianggap sebagai bentuk kerja yang produktif.
Indri menjelaskan, mental yang sehat dibentuk dari hasil interaksi antara biologi (genetik, neurokimia, kesehatan fisik), psikologi (emosi, kognisi, regulasi diri), dan sosial (hubungan, dukungan, budaya). Ketiganya saling berkaitan. Jika salah satunya terganggu, maka kesehatan mental pun terganggu.
“Dengan kamu gampang marah gitu ya, jantung kamu tuh palpitasi nya akan sangat cepat gitu ya. Terus misalnya tekanan darah juga menjadi tinggi gitu,” jelas Indri, memberikan contoh bagaimana ketika sisi psikologis terganggu akan mempengaruhi fisik dan juga hubungan terhadap sesama.
“Terus misalnya tadi gampang marah ngerusak ini enggak sosial? Ngerusak gitu. Siapa yang mau pacaran sama kamu ambek-ambekan wae gitu kan misalnya.”
Indri menjelaskan kerangka pemeliharaan kesehatan mental, antara lain model PERMA (Positive, Emotion, Engagement, Relationship, Meaning, Accomplishment). Berdasarkan model ini, orang yang mempunyai mental yang sehat akan memiliki persentase perasaan positifnya lebih banyak dari perasaan negatif.
Perasaan negatif sering dikaitkan dengan stres, salah satu penyebab gangguan kesehatan mental. Tetapi Indri menjelaskan, ada dua jenis stres yaitu eustress dan distress. Eustress adalah stress positif dan diperlukan dalam kehidupan.
“Karena kalau kamu enggak mengalami eustres dalam hidup, kamu jadi orang yang kayak gak termotivasi gitu,” terang Indri.

Sebaliknya, distress merupakan stres negatif, yang jika tidak ditangani akan semakin menumpuk dan mengganggu kesehatan mental.
Sumber stres tidaklah tunggal, mulai dari yang bersifat privat atau individu, hubungan antarkelompok, kebijakan pemerintah, tekanan budaya dan norma sosial, hingga peristiwa besar yang memiliki dampak yang panjang.
Pemerintah punya peran penting dalam mempengaruhi kesehatan masyarakat. Jika pemerintah membuat kebijakan yang merugikan hal ini bisa berdampak pada level-level di bawahnya.
“Jadi pemimpin itu harus selain pintar secara emosional, juga mesti mampu meregulasi diri, fungsi-fungsi sosial di dalam dirinya harus bekerja,” jelas Indri, menekankan pentingnya kemampuan empati. “Dan pemimpin wajib punya gitu ya.”

Kerja Perawatan Kolektif Sebagai Normal yang Baru
Sesi Kelas Liar lainnya adalah collective care atau perawatan kolektif yang disampaikan Lydia Arderiana, konselor WCC Pasundan Durebang. Dalam memahami bentuk perawatan kolektif ini, tiap peserta membuat grup masing-masing. Mereka berdiskusi sekaligus memetakan hal-hal apa saja yang terjadi di Indonesia dan berpotensi mengganggu kesehatan mental berdasarkan sistem ekologi yang sudah dipelajari.
Jawabannya beragam. Namun satu hal yang pasti adalah semua hal yang disebutkan peserta membawa kepada satu kesimpulan: rusaknya sebuah sistem.
“Karena sistemnya yang rusak. Bukan cuma persoalan individual aja. Tapi sistem yang rusak itu bikin kita jadi rusak sebangsa-bangsa. Satu negara jadi ikut rusak,” tegas Lydia.
Persoalan-persoalan yang dapat membuat stres sehingga menimbulkan beragam emosi seperti kecemasan dan turunnya angka harapan hidup bukanlah permasalahan personal saja. Bukan juga permasalahan yang perlu ditangani oleh satu atau dua psikolog.
Karena lewat sistem yang rusak, secara sistematis masyarakat mempunyai semacam luka kolektif dari segi psikologis, fisiologis, dan ekonomi. Maka, perawatan kolektif inilah menjadi sangat penting.
Bagi Lydia, mengharapkan juru selamat atau pemerintah dalam situasi seperti ini sangatlah sulit. Hal yang dapat dilakukan adalah saling menjaga satu sama lainnya.
Lydia berbagi dua langkah dalam memulai keperawatan kolektif. Pertama, melakukan check-in. Langkah ini digunakan untuk mengecek dan memeriksa kondisi setiap orang, apakah mereka baik-baik saja atau tidak. Hal ini perlu diperbarui secara berkala.
Data check-in bisa menjadi awal untuk memetakan apa yang bisa diperbuat ke depannya dalam konteks pemulihan dan kebutuhan setiap orang.
Lalu ada langkah kedua, yaitu waiting room atau ruang tunggu. Dalam hal ini, setelah mengetahui kondisi satu sama lain, maka dibuatlah kelompok-kelompok (support group) yang akan melahirkan ruang aman bagi teman-teman untuk saling membagi keresahan dan menguatkan.
Baca Juga: KELAS LIAR #4: Kekerasan Seksual Sering Dilatarbelakangi Ketimpangan Kuasa, Respons Membeku, dan Budaya Menyalahkan Korban
Kelas Liar #5: Kampus Hari Ini Mahal, Menindas, dan Kehilangan Integritas

Mengenai Kelas Liar
Suci Atmarani, salah satu peserta Kelas Liar yang sehari-hari bekerja sebagai kreator konten, merasa mendapatkan pemahaman baru tentang isu kesehatan mental. Sebelumnya ia hanya memahami kesehatan mental sebatas stabilitas seseorang dalam menjalankan produktivitas. Namun, setelah mengikuti kelas ini, ia semakin menyadari bahwa kesehatan mental adalah tanggung jawab bersama.
“Kelas Liar ini ide segar dan menjadi alternatif yang sangat dibutuhkan di kondisi saat ini, yang serba tidak pasti,” ujar Suci Atmarani.
Suci juga menyukai praktik support group dalam kelas ini. Baginya, perawatan kolektif sangat penting terutama dalam gerakan kolektif.
”Itu juga perlu untuk diperhatikan agar tujuan dari gerakannya tetap terlaksana dengan baiklah kalau misalnya anggotanya atau individunya juga dalam keadaan yang stabil gitu mentalnya. Betul enggak?” katanya.
Peserta lainnya, Indira, juga merasakan hal yang sama. Meski materi yang diajarkan masih bersifat dasar, kelas ini berhasil menjawab banyak pertanyaan orang tentang kesehatan mental. Indira juga mencatat bahwa kelas ini tidak hanya relevan untuk mahasiswa atau orang dewasa, tetapi juga sangat bermanfaat bagi siswa SMA yang masih memiliki rasa keingintahuan tinggi.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB