KELAS LIAR #4: Kekerasan Seksual Sering Dilatarbelakangi Ketimpangan Kuasa, Respons Membeku, dan Budaya Menyalahkan Korban
Kekerasan seksual menjadi topik Kelas Liar #4 yang diselenggarakan di Women’s Crisis Center (WCC) Pasundan Durebang, Bandung. Menanam sikap empatik pada korban.
Penulis Kanaya Puspa8 September 2025
BandungBergerak - Kasus kekerasan seksual sering dilatarbelakangi ketimpangan kuasa antara korban dan pelaku. Respons pelaku yang membeku kerap disalahpahami sebagai persetujuan. Budaya menyalahkan korban turut menyudutkan dan mengaburkan pelaku kekerasan seksual.
Komnas Perempuan menyebut kekerasan seksual sebagai fenomena gunung es, hanya sebagian kecil kasus yang mencuat ke permukaan, sementara mayoritas tenggelam dalam senyap. Data Brigade Siber Bareskrim per April 2025 menemukan 3.662 korban kekerasan seksual dan pornografi. Dari jumlah itu, lebih dari separuhnya (61,66 persen) adalah mahasiswa. Di Jawa Barat, risalah tahunan Universitas Pendidikan Indonesia mencatat sebanyak 135 aduan kekerasan seksual sepanjang 2020 hingga 2022.
Angka-angka di atas menyingkap kenyataan getir. Kampus, ruang yang seharusnya aman, justru menyimpan luka yang jarang terucapkan. Kekerasan seksual bukan sekadar peristiwa yang meninggalkan memar bisa di tubuh korban. Ia merampas rasa aman, menggerogoti kepercayaan diri, bahkan memaksa korban meninggalkan bangku kuliah.
Kekerasan seksual menjadi topik keempat Kelas Liar yang diadakan di Women’s Crisis Center (WCC) Pasundan Durebang, Sabtu, 30 Agustus 2025. Kelas Liar #4 ini diisi oleh Ketua Satuan Tugas (Satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) Universitas Parahyangan Yulia Indrawati Sari dan anggota satuan pencegahan dan penanganan isu kritis (SPPIK) UPI Sheila Rotsati Jasmine.
Kelas Liar #4 menuturkan kisah seorang perempuan yang dicium tanpa persetujuan. Usai kejadian, ia merasa mulutnya kotor, mencucinya berulang kali sampai berdarah. Luka itu bukan hanya di bibir, melainkan juga di batin, menanamkan rasa jijik pada tubuhnya sendiri.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa kekerasan seksual di ruang akademik adalah masalah struktural, bukan persoalan individu. Kampus sering hanya menyoroti absensi, nilai, dan prestasi, sementara mengabaikan luka sunyi yang menghalangi mahasiswa berkembang. Membicarakannya berarti membongkar lapisan kuasa yang timpang dan berani berpihak pada korban.

Membongkar Kuasa, Merawat Korban
Para narasumber Kelas Liar #4 yang bertajuk Gender dan Kekerasan Seksual di Ranah Kampus menegaskan bahwa kekerasan seksual tidak bisa dipahami semata sebagai dorongan biologis, melainkan relasi kuasa atau ketimpangan pengaruh antara korban dan pelaku. Relasi dosen dan mahasiswa, senior dan junior, bahkan pasangan dalam relasi yang dianggap “cinta” bisa menyisakan ruang timpang. Relasi ini membuat respons korban dianggap sebagai persetujuan terhadap kekerasan seksual.
“Persetujuan paling sulit dibuktikan adalah manipulasi,” kata Yulia Indrawati Sari, Ketua PPKS Unpar.
Ia mengingatkan bahwa persetujuan tidak selalu hadir secara bebas. Penjelasan itu menggugurkan anggapan lama bahwa korban selalu punya kuasa untuk berkata “tidak”. Banyak kasus justru menunjukkan bahwa tubuh korban membeku saat mengalami kekerasan seksual. Freeze response adalah mekanisme biologis ketika tubuh menghadapi ancaman, membuat korban tak mampu bergerak, melawan, atau bersuara. Fakta ini penting untuk disadari agar menghentikan budaya menyalahkan korban yang dianggap pasif.
“Respons tubuh terhadap kejadian tersebut secara biologis adalah membeku. Maka dari itu kebanyakan orang tidak bisa menghindar atau melakukan perlawanan,” jelas Yulia Indrawati Sari.
Sheila Rotsati Jasmine, narasumber lainnya menekankan bahwa kekerasan seksual selalu meninggalkan dampak berlapis baik secara fisik maupun psikologis korban. Setiap korban kekerasan seksual juga tidak menunjukkan reaksi yang sama.
“Yang paling penting dipahami adalah kekerasan seksual itu persoalan kompleks, sehingga dampak dan respon dari satu orang ke orang lain bisa berbeda-beda,” ujarnya
Variasi dampak kekerasan seksual dipengaruhi jenis kekerasan yang dialami, durasi, intensitas, serta bentuk kekerasannya, apakah fisik, nonfisik, atau digital. Beberapa dampak yang dialami korban seperti kehilangan konsentrasi hingga prestasi akademiknya anjlok, ada yang menarik diri dari lingkungan sosial, ada pula yang dihantui rasa bersalah tanpa henti. Trauma juga bisa hadir dalam wujud gangguan tidur, mimpi buruk, atau kehilangan rasa percaya pada orang lain.
“Bukan berarti kalau korbannya tidak menangis atau tidak menarik diri lalu dia baik-baik saja. Kita harus memahami bahwa respon ini sangat beragam,” tegasnya.
Fakta-fakta itu memperlihatkan dampak besar kekerasan seksual terhadap kehidupan korban. Korban tidak hanya menanggung luka pribadi, tetapi juga tekanan sosial. Banyak yang mendapat stigma, disalahkan, atau bahkan diisolasi oleh lingkungannya. Ada yang memilih mundur dari perkuliahan, ada pula yang enggan melapor karena regulasi kampus tidak berpihak atau Satgas PPKS hanya berjalan di atas kertas.
Karena itulah, inti penanganan korban bukan memberi solusi instan, melainkan empati. Empati berarti hadir penuh, mendengarkan tanpa menghakimi, dan menyediakan ruang aman bagi korban untuk bercerita. Empati berarti percaya bahwa cerita korban adalah kebenaran, meski suaranya bergetar atau tubuhnya membeku.
Kerangka sederhana mendengarkan cerita korban diajarkan dalam Kelas Liar, di antaranya, hadir, mendengarkan, dan merespons. Hadir berarti benar-benar ada untuk korban, meletakkan gawai, menatap mata, menunda berkomentar. Mendengarkan berarti menahan diri dari interogasi, memberi ruang pada tangis, jeda, atau kalimat yang patah-patah. Merespons berarti memvalidasi perasaan korban, menawarkan dukungan, dan menanyakan kebutuhannya.
Sheila menegaskan, poin pentingnya adalah empati. Tidak semua korban ingin melapor. Ada yang hanya ingin ditemani, ada yang butuh layanan medis, ada pula yang siap mengambil jalur hukum. Tugas pendamping bukan memutuskan, melainkan menemani korban menemukan jalannya sendiri.
Ia berpesan, penanganan bagi korban kekerasan seksual tidak cukup dengan memberi nasihat, mendorong membuat laporan, atau menawarkan solusi cepat. Yang paling penting adalah menyediakan ruang aman untuk korban menentukan jalannya sendiri, dengan kita sebagai pendamping yang penuh empati.
Begitu juga di dunia akademik, kampus mestinya menjadi ruang yang tidak membungkam, melainkan ruang yang merawat. Dan keberanian untuk mendampingi dengan empati adalah langkah pertama menuju dunia akademik yang benar-benar manusiawi.
Baca Juga: KELAS LIAR #2: Membedah Kemacetan Bandung Setelah Turun dari Angkot
Kelas Liar #3: Krisis Sampah dan Harapan dari Kampung Padat Lio Genteng

Saudara Perempuan
Kelas Liar #4 digelar di Women’s Crisis Center (WCC) Pasundan Durebang, Bandung. Pasundan Durebang berdiri sejak 2013 sebagai pusat krisis yang memberi layanan darurat bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Nama “Durebang” berasal dari bahasa Korea, berarti rumah saudara perempuan, simbol solidaritas dan ruang aman.
Selama lebih dari satu dekade, WCC Pasundan Durebang tidak hanya memberikan layanan pemulihan, tetapi juga aktif dalam advokasi kebijakan, kampanye pencegahan, hingga pendidikan publik. Kehadiran Kelas Liar di Pasundan Durebang mengirim pesan: isu kekerasan seksual di kampus tak boleh berhenti di ruang teori, tapi harus terhubung dengan praktik nyata pendampingan korban.
Suasana kelas berlangsung intens sejak pagi hingga sore. Peserta bergantian mendengar paparan, berbagi pandangan, dan berlatih mendengarkan dengan empati. Mereka mencoba menatap tanpa menginterupsi, merespons dengan kalimat sederhana yang memvalidasi, dan menahan diri untuk tidak segera memberi nasihat.
Sadam, salah seorang peserta, mengaku mendapatkan perspektif berbeda dari kelas ini.
“Saya masih melihat selama ini kekerasan seksual lebih difokuskan pada perempuan. Padahal banyak juga laki-laki yang mengalaminya. Hanya saja ada stigma bahwa laki-laki itu harus kuat, sehingga ketika melapor dianggap tidak perlu atau bahkan tidak dipercaya. Dari kelas ini saya jadi memahami hal itu,” ujarnya.
Vivi, salah satu peserta lainnya, merefleksikan bagaimana idealnya menanggapi cerita teman yang mendapatkan kekerasan seksual setelah mengikuti Kelas Liar.
“Begini loh penaganan yang benar itu seperti ini, dan aku jadi lebih aware terhadap apa yang orang lain lakukan kepada kita, bahkan terhadap diri sendiri,” kata Vivi.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB