Kelas Liar #3: Krisis Sampah dan Harapan dari Kampung Padat Lio Genteng
Kelas Liar #3 mengajak peserta terjun langsung mengelola sampah di Lio Genteng, kampung padat yang aktif membangun solusi lingkungan. Membuka mata dan aksi nyata.
Penulis Awla Rajul26 Agustus 2025
BandungBergerak – Sampah bukan persoalan baru di Bandung Raya. Sejak bencana ledakan dan longsor TPA Leuwigajah pada 2005, tata kelola sampah di kawasan ini terus mengalami kelumpuhan. Dua dekade berlalu, insiden kebakaran TPA Sarimukti pada akhir Agustus 2023 kembali menegaskan rapuhnya sistem persampahan Bandung Raya.
Topik sampah menjadi pembahasan Kelas Liar #3 di Kampung Lio Genteng, kawasan padat yang bergerak bersama komunitas menyelesaikan persoalan sampah. Para peserta Kelas Liar mengalami langsung bagaimana sampah menjadi masalah sehari-hari.
Sebelum Darurat Sampah akibat kebakaran TPA Sarimukti, pengiriman sampah ke satu-satunya TPA di Bandung Raya berkali-kali tersendat dengan alasan teknis, seperti landasan licin akibat hujan dan kelebihan kapasitas. Perluasan TPA, meski menambah volume penerimaan sampah, terbukti tidak menyelesaikan masalah kegagalan sistem pengelolaan sampah secara menyeluruh.
Pemateri Kelas Liar dari Forum Peduli Sampah Seluruh Indonesia (Forpasi), Like Hana Purba, menilai tata kelola persampahan di Indonesia secara keseluruhan stagnan. Persoalan ini sudah dibahas sejak 2000, dan baru mengalami kemajuan setelah tragedi TPA Leuwigajah pada 21 Februari 2005 yang menewaskan 157 jiwa. Peristiwa itu mendorong lahirnya regulasi berupa Undang-Undang Pengelolaan Sampah No. 18 Tahun 2008.
“Menurutku kita masih sangat stagnan dalam persoalan sampah,” ungkap Like, Relawan Koordinator Riset Forpasi, saat memaparkan persoalan sampah di Kantor RW 05 Lio Genteng, Sabtu, 23 Agustus 2025.

Like menjelaskan, selama ini sampah dipandang secara parsial. Bila dilihat dari pendekatan teknologi, sampah dianggap sebagai sumber energi. Dari sudut pandang ekonomi sirkular, sampah adalah sumber daya. Ada pula pendekatan pengomposan. Sayangnya, meski semua orang menghasilkan sampah, diperkirakan hanya satu persen dari populasi yang memahami pengelolaannya secara utuh.
“Sampah itu harus dilihat dari persoalan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan. Itu yang utama,” tegasnya, merujuk pada amanat dalam pasal UU Pengelolaan Sampah.
Mengacu pada Indonesian Solid Waste Association (InSWA), Like menyebut lima aspek pengelolaan sampah: peraturan, kelembagaan, sosial budaya, teknologi, dan pendanaan. Kelimanya harus berjalan selaras. Sirkular ekonomi hanya mencakup satu aspek.
Pemilahan memang solusi, tapi perubahan perilaku butuh waktu. Karena itu, pemerintah perlu menyiapkan solusi sistemik untuk jangka pendek, menengah, dan panjang. Ia juga menekankan bahwa regulasi sebenarnya melarang pembakaran sampah, tetapi metode ini masih bisa dipertimbangkan sebagai solusi sementara—asal berbasis kajian dan sesuai konteks wilayah.
“Permasalahan sampah di Kota Bandung hingga saat ini masih belum terselesaikan secara menyeluruh. Ini disebabkan oleh kompleksnya tantangan, mulai dari kurangnya keberpihakan politik, lemahnya koordinasi antarlembaga, keterbatasan anggaran, hingga partisipasi masyarakat yang belum optimal,” katanya.
“Teknologi dipaksakan dibuat, padahal kadang masyarakat tidak butuh teknologi itu.”
Ia membagi pengelolaan sampah menjadi dua: pengurangan dan penanganan. Menurutnya, aspek penanganan harus berjalan 100 persen. Bagaimana masyarakat bisa memilah sampah jika sarana dan prasarana tidak tersedia?
“Kita disuruh milah sampah tapi gak ada tempat sampah juga gak bisa. Harus ada sarana pengangkutan, dan seterusnya.”
Ia menegaskan pentingnya tindakan konkret yang bisa dimulai dari kebiasaan sederhana, seperti membuang sampah pada tempatnya. Pembakaran sampah harus dihentikan, dan pemahaman pengelolaan sampah perlu ditingkatkan. Forum-forum kecil bisa dibentuk sebagai ruang diskusi dan kolaborasi.
Di akhir pemaparan, Like menyampaikan hasil riset Forpasi: Indonesia sedang menghadapi krisis darurat sampah yang membutuhkan penanganan sistemik dan komprehensif. Masalah ini bukan semata teknis, tetapi krisis sistemik yang menyangkut politik, regulasi, kelembagaan, pendanaan, teknologi, dan budaya.

Perubahan di Lio Genteng
Sebagaimana metode khas Kelas Liar, peserta diajak lebih dulu merasakan langsung persoalan yang akan dibahas. Dengan menggandeng River Clean Up, peserta diajak mengutip sampah dari sungai Cikakak, anak Sungai Citarum yang melintasi kawasan Lio Genteng.
Dengan perlengkapan sarung tangan dan sepatu bot karet, peserta mengumpulkan sampah ke dalam karung, dipilah sesuai jenisnya. Sebelumnya, peserta diajak berkeliling kampung untuk melihat kondisi sosial masyarakat.
Alda, perwakilan River Clean Up, menjelaskan bahwa kegiatan ini tak sekadar mengumpulkan sampah, tetapi juga pre-sorting untuk mengetahui jenis pencemar utama sungai. Hasilnya, sampah plastik mendominasi.
“Kita dulu bisa berperilaku zero waste, loh. Kenapa sekarang gak bisa?” tanya Alda.
Ia mengingatkan, dulu orang tua membawa keranjang saat belanja. Kebiasaan ini terkikis sejak plastik hadir dan menawarkan kepraktisan instan.
River Clean Up menjalankan berbagai program di Lio Genteng, seperti Empower dengan Sekolah Sungai Sabtu dan aksi preventif lewat peletakan ecobin di beberapa titik. Alat ini membantu warga membuang sampah plastik agar tidak mencemari sungai.
Di Lio Genteng juga telah dipasang trash barrier. Sampah yang dikumpulkan disortir di material recovery facility, lalu diserahkan kepada pengepul untuk didaur ulang.
“Ikut andil itu penting, sekecil apa pun. Dalam krisis lingkungan seperti sekarang, kontribusi bersama bisa menghasilkan dampak. Hal baik yang kita lakukan untuk alam pasti akan kembali pada kita,” ujar Alda.

Sandy, perwakilan warga Lio Genteng, menceritakan bahwa kampungnya dulu dikenal keras dan penuh stigma, termasuk sebagai kampung preman. Pergaulan anak-anak dinilai terlalu terbuka terhadap minuman keras dan obat-obatan. Namun, perubahan dimulai sejak 2018 dengan berdirinya komunitas Sekolah Rakyat Iboe Inggit Garnasih.
“Kami bergerak tidak hanya di pendidikan, tapi juga isu sosial dan lingkungan. Karena di sini banyak anak-anak,” ungkap Sandy, salah satu pendirinya.
Kini angka putus sekolah menurun drastis. Anak-anak Lio Genteng mulai bersekolah tinggi dan ada yang bekerja di institusi negara.
Di bidang persampahan, RW 5 yang terdiri dari enam RT membentuk komunitas Sidak Panik (jemput bola sampah organik). Lio Genteng memiliki fasilitas pengolahan dengan maggot dan bank sampah. Sandy yakin, persoalan sampah bisa diselesaikan dari tingkat komunitas jika pengelolaannya benar.
Baca Juga: Krisis Sampah di Bandung Raya, Pemerintah tidak Belajar dari Tragedi TPA Leuwigajah dan Kebakran TPA Sarimukti
Pengelolaan Sampah Kota Bandung Membingungkan, dari Sistem Tidak Ramah Lingkungan RDF hingga Tersendatnya Kang Empos

Terjun Langsung dan Terkejut
Setelah pengumpulan sampah, para peserta berkumpul di balai RW. Banyak yang terkejut dengan kondisi padatnya kawasan—satu rumah berukuran 3x5 meter bisa dihuni lima KK. Sebagian juga kaget mengetahui banyak warga tinggal di lahan milik pemkot, dengan bangunan yang mereka dirikan sendiri. Status ini membuat mereka rentan digusur.
Beberapa peserta baru pertama kali memilah sampah di sungai. Salah satunya, Sonya, 26 tahun, mengaku kaget melihat aliran limbah WC langsung menuju sungai.
“Baru pertama lihat (pipa) dari WC langsung keluar (kotoran) ke sungai. Dan ternyata bukan satu dua, tapi sepanjang benteng sungai semua begitu. Berarti sampai sekarang limbahnya gak dikelola. Padahal kita udah mulai pilah sampah organik dan anorganik, tapi limbah infeksius masih dibiarkan. Di sini juga lagi ada DBD, itu bisa picu TBC, tifus,” kata Sonya.
Sudah dua kali mengikuti Kelas Liar, Sonya menyukai metode pembelajarannya yang aplikatif dan berbeda dengan sistem daring di Universitas Terbuka, tempat ia kuliah.
“Kalau sudah darurat, ya langsung aja ada tindakan. Jangan sampai kejadian kayak TPA Leuwigajah terulang lagi,” kata Sonya.
Peserta lain, Novia, 22 tahun, seorang guru PAUD, mendapat banyak wawasan tentang pengolahan sampah. Ia sudah mengenal konsep nol sampah (zero waste) dan menerapkannya di sekolah.
“Kadang bingung ngajarin anak kecil soal ini. Tapi tadi dapat insight, misalnya anak-anak dikasih ruang, disuruh belanja, terus pilah sampahnya,” kata Novia.
Ia menilai Lio Genteng bisa jadi contoh. Lingkungannya mirip dengan tempat tinggalnya yang juga berada di gang sempit. Ia berharap sosialisasi pengelolaan sampah dilakukan lebih rutin.
“Karena kalau sekarang disosialisasikan, nanti ke sananya lupa lagi. Harus repetitif,” tambah Novia.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB