• Berita
  • Kelas Liar #5: Kampus Hari Ini Mahal, Menindas, dan Kehilangan Integritas

Kelas Liar #5: Kampus Hari Ini Mahal, Menindas, dan Kehilangan Integritas

Kelas Liar menjadi ruang kecil untuk membangun nalar kritik dan merawat kesadaran. Di tengah represifnya sistem, ruang diskusi ini menyalakan demokrasi di kampus.

Kelas Liar 5 bertajuk Apa yang Salah dengan Kampus? di Howl Library & Creative Space, Bandung, Sabtu, 13 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Penulis Ryan D.Afriliyana 15 September 2025


BandungBergerakAlih-alih menjadi ruang demokrasi mikro, kampus hari ini justru berubah menjadi institusi yang menindas, mahal, dan kehilangan arah sebagai pusat intelektual. Kebebasan berpikir dan berekspresi yang seharusnya menjadi napas kehidupan akademik, kini perlahan dikikis oleh sistem yang kian otoriter, pragmatis, dan feodal.

Gambaran suram ini disuarakan dalam Kelas Liar #5 bertajuk "Apa yang Salah dengan Kampus?" di Howl Library & Creative Space, Bandung, Sabtu, 13 September 2025. Dalam forum diskusi ini berbagai pihak menyoroti matinya nalar kritis, beban komersialisasi pendidikan, hingga menguatnya relasi kuasa yang tak sehat antara dosen, mahasiswa, dan institusi.

Isman Rahmani Yusron dari Serikat Pekerja Kampus mengatakan, banyak kampus hari ini secara sadar menerapkan praktik necropolitik, yaitu sistem yang menentukan siapa yang "layak" hidup dan siapa yang "harus" dibungkam. Dalam konteks akademik, ini mewujud dalam pemisahan antara mahasiswa "berprestasi" yang patuh dan mahasiswa "pengganggu" yang kritis.

“Yang membuat onar adalah si kritis, dan itu harus segera diancam apakah itu dengan DO, apakah itu dengan pembungkaman,” kata Isman.

Ia menjelaskan bahwa pembungkaman tidak selalu dilakukan dengan cara kasar. Kadang hadir dalam bentuk bungkus moral dan agama. Bahwa seseorang yang berbicara terlalu lantang disebut melanggar adab. Narasi semacam ini, menurut Isman, adalah cara kampus melumpuhkan keberanian mahasiswa dengan mengatasnamakan sopan santun.

Dalam sistem kampus yang masih dikuasai oleh relasi feodal, Isman mengatakan bahwa dosen dianggap selalu benar dan mahasiswa hanya penerima pasif. Pola pikir ini diperkuat oleh sistem pendidikan gaya bank: dosen “mendepositkan” ilmu, mahasiswa “menabung” tanpa bisa membantah.

“Padahal sistem perguruan tinggi itu berbeda dengan pendidikan menengah,” ujar Isman. 

Sistem ini, menurutnya, tidak lain adalah bentuk dari aparatus ideologis negara yang memproduksi kepatuhan dan membungkam kreativitas.

Komersialisasi dan Kehilangan Fungsi Sosial

Tak hanya kehilangan nalar kritis, kampus kini juga terseret dalam logika bisnis. Obsesi terhadap akreditasi, publikasi, dan status world class university membuat kampus lebih fokus pada output pasar ketimbang pengembangan nalar. Pendidikan menjadi investasi mahal yang hanya menguntungkan negara dan pemilik modal.

“Kalau kita katakan bahwa kampus ini netral dari intervensi negara, itu bullshit,” kata Isman tegas.

Ia menyebut, pemerintah menjadikan kampus sebagai alat negara untuk membentuk lulusan patuh, bukan pemikir kritis. Kurikulum pun lebih diarahkan untuk melayani industri, bukan masyarakat.

“Sering kita dengar, kurikulum harus relevan dengan dunia kerja, bukan dengan masalah kemasyarakatan,” tambahnya.

Hasilnya, pendidikan direduksi menjadi tiket menuju pekerjaan, bukan proses menuju pencerahan. Pemotongan anggaran pendidikan oleh pemerintah memperparah situasi. Pemangkasan anggaran Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah sebesar 8,03 triliun rupiah dan Kemendikbudristek sebesar 14,3 triliun rupiah menunjukkan arah kebijakan yang menjauh dari kepentingan pendidikan rakyat.

Semua ini menunjukan bahwa kampus telah menjauh dari cita-cita awalnya sebagai rahim nalar dan keadilan sosial. Pendidikan tinggi semakin mahal, berpihak pada pasar, dan menindas suara kritis.

“Produk pendidikan kini direduksi jadi tiket atau alat tukar untuk mendapatkan pekerjaan,” tegas Isman, seraya menambahkan bahwa lulusan kampus seharusnya menjadi pemikir, bukan hanya tenaga kerja.

Baca Juga: Kelas Liar #3: Krisis Sampah dan Harapan dari Kampung Padat Lio Genteng
KELAS LIAR #4: Kekerasan Seksual Sering Dilatarbelakangi Ketimpangan Kuasa, Respons Membeku, dan Budaya Menyalahkan Korban

Kelas Liar 5 bertajuk Apa yang Salah dengan Kampus? di Howl Library & Creative Space, Bandung, Sabtu, 13 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)
Kelas Liar 5 bertajuk Apa yang Salah dengan Kampus? di Howl Library & Creative Space, Bandung, Sabtu, 13 September 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

Mahasiswa Dibelenggu Sistem

Kondisi represif di kampus juga dirasakan langsung oleh mahasiswa. Arianti Apriani Sagita, mahasiswa UPI, bercerita tentang pembredelan diskusi dan bedah buku oleh organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Gender Research Student Center (Great).

“Kita pernah enggak jadi bahas suatu buku karena diperdebatkan. Kita dibredel dulu sebelum diskusi dibawa ke mahasiswa,” ungkap Gita.

Bahkan untuk menentukan judul skripsi, mahasiswa tidak diberi kebebasan sepenuhnya. Mereka diminta menulis skripsi yang tidak keluar dari lingkup yang ditentukan.

Sementara itu, Marcos Suarez Da Silva, mahasiswa asal Timor Leste yang kuliah di Universitas Katolik Parahyangan, menyebut pentingnya literasi sebagai bentuk perlawanan terhadap relasi kuasa yang sudah mengakar.

“Kita tidak bisa bebas, maka susah untuk kita melawan relasi kuasa ini,” katanya.

Ia mendorong agar mahasiswa keluar dari zona nyaman dan pragmatisme, serta membangun kembali kampus sebagai ruang demokrasi mikro melalui teori pentahelix, yakni kolaborasi antara mahasiswa, dosen, pemerintah kampus, masyarakat, dan sektor lainnya. 

Belajar Riset Kritis, Membongkar Ketimpangan Lewat Metode yang Membebaskan

Dalam sesi Kelas Liar, para peserta diajak mendalami riset kritis sebagai alat untuk menggugat ketimpangan dan membongkar relasi kuasa yang kerap tak terlihat dalam kehidupan sosial. Melalui pendekatan yang reflektif dan berpihak, riset kritis dianggap mampu mempertanyakan serta mengubah struktur sosial yang tidak adil.

Charina Chazali dari lembaga riset Akatiga, yang menjadi pemateri dalam sesi ini, memaparkan pentingnya memahami riset bukan sekadar proses teknis, melainkan juga sikap politis dan etis terhadap realitas. Ia menegaskan, riset kritis dimulai dari penggunaan konsep dan teori yang sudah ada, namun dengan pendekatan pembacaan yang kritis.

“Kita harus membaca dengan kritis konsep dan teori sebelumnya, sangat bergantung dengan jurusan dan peminatan kalian,” ujar Charina.

Dalam riset kritis, kata Charina, peneliti perlu menyadari keberpihakannya dan tak netral secara membuta. Ia menekankan pentingnya menyadari bias peneliti, menantang norma yang selama ini diterima begitu saja, serta memberi ruang emansipasi bagi subjek penelitian.

Desain metodologi dalam riset kritis pun menuntut kedalaman dan keterlibatan. Prosesnya mencakup pencarian data yang mendalam, refleksi yang berulang, dan validasi melalui triangulasi data. Beberapa teknik pengumpulan data yang disarankan antara lain membaca secara kritis, wawancara mendalam, observasi (etnografi), survei, hingga metode Participatory Action Research (PAR).

“Penting ini karena ini bolak-balik kita punya posisi sendiri, kita juga berhadapan sama orang yang kita teliti,” ungkapnya.

Dalam menganalisis data, pendekatan 5W + 1H (apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana) menjadi cara untuk mengidentifikasi struktur ketidakadilan—siapa yang termarjinalkan, apa penyebabnya, bagaimana prosesnya berlangsung, serta apa dampak dan solusi yang mungkin.

Charina juga menekankan pentingnya etika riset. Peneliti diminta memprioritaskan suara komunitas, menghormati subjek penelitian, dan tidak memaksakan temuan yang sesuai dengan asumsi awal. Keterbukaan terhadap data yang bertentangan dan kehati-hatian agar tidak menimbulkan kerugian bagi partisipan menjadi bagian dari tanggung jawab moral seorang peneliti.

Bagi Charina, riset kritis bukanlah upaya untuk menemukan satu kebenaran tunggal, melainkan menggali pemahaman yang kompleks dan kontekstual terhadap masalah sosial. Ia mendorong peserta untuk mulai dari riset-riset kecil yang dekat dengan realitas masing-masing.

“Penelitian kritis bukanlah untuk mencari satu jawaban tunggal, melainkan untuk menggali pemahaman yang lebih dalam dan kompleks tentang isu sosial,” jelasnya.

Sebagai penutup sesi, Charina membagi peserta ke dalam lima kelompok kecil untuk melakukan simulasi riset kritis.   

Diskusi di Kelas Liar menjadi ruang kecil untuk menanam kritik dan merawat kesadaran. Di tengah represifnya sistem, ruang-ruang seperti inilah yang bisa menjaga nyala demokrasi tetap hidup di kampus-kampus.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//