WALHI Mendesak Pemerintah agar Menghentikan Impor Sampah Usai Temuan Pencemaran Radioaktif di Cikande
Pengelolaan limbah B3 di Indonesia dinilai longgar. Pencemaran limbah nuklir seperti radioaktif di Cikande yang tidak kasat mata memerlukan aturan yang tegas.
Penulis Iman Herdiana21 Oktober 2025
BandungBergerak - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mendesak pemerintah untuk menghentikan impor sampah dan limbah dari luar negeri, serta memperketat pengawasan terhadap bahan baku industri, menyusul temuan cemaran radioaktif Cesium-137 di kawasan industri peleburan logam Cikande, Banten.
Cemaran ini terdeteksi setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) menemukan unsur radioaktif dalam produk udang yang diekspor dari Indonesia. Investigasi lanjutan mengungkap bahwa sumber cemaran bukan berasal dari proses budidaya udang, melainkan dari aktivitas peleburan logam di dekat fasilitas pengemasan udang.
Cesium-137 adalah isotop radioaktif yang umum digunakan dalam industri, termasuk untuk alat pengukur. Namun, keberadaannya di luar kendali menimbulkan kekhawatiran serius, karena dapat memasuki rantai pangan dan membahayakan kesehatan masyarakat.
“WALHI meminta pemerintah untuk menghentikan impor sampah ataupun limbah dari luar negeri dan melakukan pengawasan ketat terhadap impor bahan baku industri tertentu,” tegas Dwi Sawung, Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang WALHI, dalam pernyataan resminya, diakses Selasa, 21 Oktober 2025.
Menurut WALHI, hingga saat ini belum jelas apakah logam bekas yang terkontaminasi radioaktif di Cikande berasal dari dalam negeri atau dari luar negeri. Industri peleburan logam di kawasan itu diketahui mengandalkan bahan baku dari berbagai sumber, termasuk impor.
WALHI mencatat bahwa celah masuknya bahan berbahaya melalui impor sudah pernah terjadi, seperti pada kasus masuknya limbah elektronik bekas yang mengandung bahan terlarang di Pelabuhan Batu Ampar, Batam, pada September 2025. Dwi menegaskan bahwa semua jenis impor limbah, baik logam, elektronik, plastik, maupun kertas—berisiko tinggi disusupi zat berbahaya yang dapat lolos dari pengawasan.
Regulasi Longgar, Limbah Radioaktif Menyebar
Temuan Cesium-137 di Cikande juga memperkuat kekhawatiran WALHI terhadap dampak pelonggaran regulasi lingkungan, terutama setelah diberlakukannya PP 22 Tahun 2021 sebagai turunan dari UU Omnibus Law. Aturan ini menghapus slag peleburan besi dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), yang sebelumnya wajib dikelola secara ketat.
WALHI menyatakan, slag yang dulunya termasuk limbah B3, kini dibebaskan dari pengelolaan khusus. Ini membuka jalan bagi penyebaran cemaran radioaktif tanpa kendali.
Investigasi menunjukkan bahwa cemaran radioaktif tak hanya ditemukan di dalam kawasan industri, tetapi juga menyebar ke lokasi-lokasi reklamasi dan area timbunan di luar Cikande, dengan tingkat radiasi yang dinilai sangat tinggi.
Atas temuan ini, WALHI mendesak pemerintah untuk segera merevisi PP 22/2021, khususnya Lampiran XIV, agar slag peleburan kembali dikategorikan sebagai limbah B3. Selain itu, WALHI juga meminta dilakukan penelitian epidemiologi terhadap masyarakat yang tinggal atau beraktivitas di sekitar lokasi pencemaran radioaktif.
WALHI menilai bahwa kasus ini adalah peringatan serius terhadap lemahnya pengawasan limbah industri dan bahaya dari pelonggaran aturan lingkungan demi kepentingan investasi.
Bagaimana Udang Bisa Terpapar Radioaktif?
Pencemaran radioaktif pada udang ekspor asal Indonesia yang pertama kali dilaporkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) jelas memicu kekhawatiran terhadap keamanan pangan di tanah air. Kepercayaan pasar internasional pun dipertaruhkan.
Bagaimana zat radioaktif bisa sampai mencemari udang? Pakar teknologi pangan dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Lukman Hudi menjelaskan, kontaminasi radioaktif bisa terjadi jika lingkungan perairan, tempat udang dibudidayakan, terpapar limbah radioaktif, baik dari sumber alami maupun aktivitas manusia.
Zat radioaktif seperti Cs-137 tidak terlihat, tidak berbau, dan tidak dapat dirasakan. Namun, ia memancarkan radiasi yang bisa membahayakan kesehatan manusia jika masuk melalui makanan, air, atau udara.
Menurutnya, kontaminasi bisa bermula dari limbah cair yang dibuang ke laut atau tambak, baik dari fasilitas industri, kebocoran reaktor nuklir, maupun hujan radioaktif. Cs-137 larut dalam air, lalu terserap oleh partikel sedimen di dasar perairan.
Fitoplankton dan mikroalga di perairan bisa menyerap Cs-137 karena sifat kimianya mirip kalium, unsur yang dibutuhkan dalam metabolisme mereka. Udang kemudian mengonsumsi organisme ini.
Apa Itu Cesium-137?
Cesium-137 adalah produk sampingan dari reaksi fisi nuklir uranium atau plutonium. Zat ini memiliki waktu paruh sekitar 30 tahun, artinya butuh waktu 3 dekade untuk mengurangi separuh tingkat radioaktifnya secara alami.
“Cs-137 dapat menyebar ke seluruh tubuh, terutama di otot dan jaringan lunak, karena perilakunya mirip kalium,” ujar Hudi.
Radiasi yang dipancarkan Cs-137 adalah beta dan gamma, dua jenis radiasi ionisasi yang berpotensi merusak jaringan tubuh. Hal ini berisiko menyebabkan kerusakan DNA, gangguan fungsi saraf dan jantung, serta peningkatan risiko kanker.
“Manusia juga bisa mengalami gangguan fungsi saraf dan jantung jika terkena paparan tinggi. Hal itu bisa menyebabkan risiko kanker tiroid, hati, atau darah bila terpapar kronis,” tambahnya.
Kelompok yang paling rentan terhadap paparan radioaktif adalah anak-anak, ibu hamil, dan orang dengan sistem imun lemah. Sementara paparan akut bisa menimbulkan gejala fisik langsung, seperti mual, kelelahan, atau penurunan fungsi organ.
Baca Juga: Tentang Paradigma: Dari Proyek Merkuri NASA ke Budaya Lokal Indonesia
Gencatan Senjata dan Basa-basi Manusia
Segera Dekontaminasi Radiasi Cesium-137 di Cikande
Guru Besar Ilmu Fisika Universitas Gadjah Mada (UGM) Gede Bayu Suparta menegaskan pentingnya tindakan dekontaminasi segera di kawasan sumber radiasi yang diduga berasal dari kawasan industri peleburan logam di Cikande, Serang, Banten.
Radiasi nuklir seperti Cesium-137 tidak bisa dideteksi dengan indera manusia. Karena itu, langkah utama yang harus dilakukan adalah inspeksi menggunakan alat survey meter, lalu melakukan dekontaminasi di titik-titik yang terpapar. “Kalau ada sumber radiasi, diarahkan ke situ, maka radiasinya akan bunyi,” paparnya.
Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan, setidaknya 15 orang telah terdeteksi positif terpapar Cesium-137. Meski mayoritas paparan masih tergolong ringan dan bisa ditangani dengan obat-obatan khusus serta pemantauan kesehatan jangka panjang, Prof. Bayu mengingatkan bahwa risiko jangka panjang tetap harus diwaspadai.
Bayu menjelaskan bahwa reduksi paparan radiasi hanya bisa dilakukan setelah titik sumbernya diidentifikasi secara akurat. Setelah itu, dekontaminasi menjadi langkah mutlak untuk menghentikan penyebaran. Ia juga menekankan pentingnya sistem Quality Assurance (QA) dan Quality Control (QC) yang ketat dalam industri yang berisiko memproduksi limbah radioaktif.
Jika suatu objek atau area sudah positif terpapar, maka pilihan yang tersedia hanyalah melakukan penghentian sementara atau permanen terhadap aktivitas di lokasi tersebut.
Ia menambahkan, meskipun radiasi dalam kondisi terkontrol bisa bermanfaat, sifat Cesium-137 justru sebaliknya. Bahaya utamanya adalah kita tidak tahu apakah suatu material atau tempat sudah terpapar atau belum tanpa pemeriksaan khusus.
Bayu menegaskan bahwa semua pihak, baik pemerintah maupun pelaku industri, harus meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko kontaminasi radioaktif. Inspeksi menyeluruh adalah langkah awal. Jika terbukti ada paparan, maka harus segera dilakukan dekontaminasi untuk melindungi manusia dan lingkungan.
“Begitu kita melakukan inspeksi, maka itu akan terlihat. Jika terbukti, berarti kita harus waspada. Jadi, semua itu butuh kewaspadaan,” tegasnya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB