• Opini
  • Gencatan Senjata dan Basa-basi Manusia

Gencatan Senjata dan Basa-basi Manusia

Perang menghancurkan semua sendi kehidupan kemudian dibangun lagi lalu dihancurkan kembali. Perang berulang sekian kali dan mengabaikan kemanusiaan.

Minhajuddin

Pengajar Program Studi Perdagangan Internasional Universitas ‘Aisyiyah Bandung

Ilustrasi serangan militer Israel terhadap bangsa Palestina. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

10 Januari 2024


BandungBergerak.id – Apa gunanya gencatan senjata? Pertanyaan ini sudah muncul di benak saya sejak rencana kesepakatan gencatan senjata antara pejuang Hamas dan pihak Israel diwacanakan. Pertanyaan ini semakin mengganggu pikiran saya sesaat setelah kesepakatan gencatan senjata berakhir dan kekhawatiran saya terbukti. Israel langsung melancarkan serangan brutal ke Jalur Gaza yang menewaskan penduduk Palestina mencapai 240 jiwa.

Lalu kemudian buat apa gencatan senjata ketika hanya menunda kehancuran atau semacam waktu istirahat dalam permainan olahraga. Hanya sekadar untuk memulihkan tenaga dan melancarkan serangan yang lebih dahsyat di babak kedua untuk menghancurkan rival. Umumnya, serangan kedua akan lebih mematikan karena amunisi semakin diperkuat untuk para pihak.

Perang memang sangat membingungkan bagi kita rakyat jelata yang hanya ingin hidup damai untuk sekadar melanjutkan hidup. Bagaimana tidak, perang menghancurkan semua sendi kehidupan kemudian dibangun lagi lalu dihancurkan kembali.

Berbagai bantuan kemanusiaan dikirim ke Palestina dalam masa gencatan senjata tetapi semua seakan tidak berguna ketika gencatan senjata berakhir. Apakah memang manusia merupakan serigala bagi manusia lain.

Apa artinya semua itu?

Sebegitu tidak rasionalnya manusia untuk berpikir tindakan yang lebih bermanfaat kepada manusia lain. Tidak untuk mengamini, namun masih bisa diterima akal sehat jika pada perkembangan awal peradaban manusia, perang masih menjadi instrumen paling efektif untuk menggapai kepentingan bagi negara lain.

Peradaban yang sudah semakin berkembang seharusnya ditandai dengan kemampuan manusia untuk saling memahami dengan sesamanya tanpa saling merusak. Peradaban tidak hanya dikalkulasi dengan perkembangan teknologi dan penemuan-penemuan lain yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, tetapi peradaban sudah seharusnya diukur juga dari bagaimana manusia memaknai kehidupan secara manusiawi.

Tidak bisa dipungkiri bahwa orientasi karakter dasar manusia memang berada pada dua aspek, egoisme dan altruisme. Kedua karakter tersebut secara naluriah ada pada manusia tetapi ada begitu banyak instrumen pengetahuan yang bisa difungsikan oleh manusia untuk menentukan mana yang lebih pantas untuk ditonjolkan. Setidaknya ini menurut Erich Fromm dalam bukunya mempunyai atau mengada.

Tetapi lain lagi dengan Karl Marx yang tidak percaya dengan watak manusia yang abstrak. Marx lebih cenderung menggambarkan manusia dalam dua jenis dorongan yaitu dorongan yang konstan dan dorongan yang relatif. Lapar, mengantuk, dan seksual adalah contoh dorongan yang konstan dalam diri manusia sedangkan dorongan relatif berupa keinginan mendominasi orang lain, memerangi kelompok lain dan sejenisnya. Dorongan relatif ini bukan merupakan bagian utuh dari manusia sehingga seharusnya bisa dikontrol dan dikendalikan.

Watak ini juga terbentuk karena diproduksi oleh kondisi material dan ekonomi dalam tatanan masyarakat. Perang sejatinya akan terus berlangsung dalam kondisi corak produksi seperti saat ini karena perang adalah salah satu instrumen paling ampuh untuk memaksimalkan akumulasi keuntungan dari industri senjata.

Baca Juga: Palestina dan Netizen yang Nirempati dalam Bermedsos
Menelisik Kolonialisme Pendudukan Israel terhadap Palestina
Ancaman Konflik Israel-Palestina terhadap Perekonomian Dunia

Relasi Manusia dalam Konteks Negara

Dalam diskursus hubungan internasional, dikenal perspektif realisme yang dapat menggambarkan dengan sangat presisi kelompok yang tidak menempatkan moral sebagai bagian dari pertimbangan keputusan politik. Perspektif ini berkembang sangat pesat pada masa perang dunia karena meyakini bahwa perang adalah hal yang wajar untuk mencapai kepentingan negara.

Perspektif ini dijustifikasi oleh beberapa tokoh terdahulu yang menggambarkan nature manusia yang cenderung egoistik dan menjadi ancaman bagi manusia lain. Niccolo Machiavelli dan Thomas Hobbes merupakan dua tokoh awal yang sering dicatut namanya bagi kelompok realisme.

Machiavelli meyakini bahwa seorang penguasa harus menjadi pribadi yang kuat dan diperbolehkan untuk menempuh jalan kekejaman demi mencapai kepentingan, sementara Hobbes mengatakan bahwa manusia pada dasarnya ada serigala bagi manusia lain. Konsep ini yang kemudian menjadi acuan bagi kelompok realisme dalam konteks hubungan internasional.

Dalam pandangan realisme, kematian rakyat Palestina tidak lebih hanya sekadar kalkulasi angka yang memang harus dikorbankan demi mencapai kepentingan negara Israel. Seruan moral yang dilakukan oleh berbagai pihak kepada Benjamin Netanyahu untuk menghentikan perang, sama sekali tidak akan berhasil karena moral bukan pertimbangan utama dalam pandangan ini. Eksistensi Israel berada di atas segalanya bahkan juga jauh lebih berharga dari hanya pertimbangan kemanusiaan.

Perspektif ini sebenarnya pernah diprediksi akan usang pasca perang dunia kedua karena dianggap bahwa semua negara cenderung bekerja sama untuk mencapai kepentingan mereka. Hal ini ditandai dengan didirikannya berbagai organisasi internasional untuk mewadahi keinginan negara-negara untuk mempererat kerja sama dalam berbagai bidang.

Namun, perang kembali berulang sekian kali dan mengabaikan kemanusiaan. Peradaban manusia yang dianggap semakin maju dengan perkembangan teknologi yang canggih ternyata tidak menjamin manusia mengalahkan hasratnya untuk mendominasi kelompok yang berbeda dengannya.

Relasi konfliktual akan terus terjadi selama corak produksi yang diamini oleh umat manusia tetap sama seperti saat ini. Hasrat untuk mengakumulasi kekayaan menjadi salah satu alasan utama kenapa perang tidak pernah benar-benar dihentikan.

Masa Depan Peradaban Manusia

Apa yang kita bayangkan tentang masa depan kehidupan manusia di sekian tahun kemudian dan sejauh mana porsi kita untuk melanggengkan agar peradaban manusia ini tetap berlanjut. Ataukah kita tidak perlu untuk memikirkan sejauh itu karena kita tidak punya tanggung jawab moral untuk melakukannya.

Suatu waktu, saya mengikuti kuliah umum Dr. Karlina Supelli. Di salah satu pembahasan, beliau menjelaskan bahwa ilmu tidak bicara tentang nilai tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa ilmu mempunyai implikasi nilai ketika diterapkan. Jika ilmu hanya dipelajari dan dipahami hanya sebatas meningkatkan kemampuan kognitif untuk dipamerkan sebagai seorang terpelajar maka sejatinya manusia secara perlahan menghancurkan peradabannya.

Setidaknya, dari penjelasan Dr. Karlina, kita bisa menyimpulkan bahwa ilmu bukan hanya sekadar basa basi di forum yang memuaskan ego pengakuan dari orang lain, tetapi ilmu punya implikasi langsung terhadap perkembangan peradaban manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Bayangkan betapa mengerikannya penemuan Nuklir jika digunakan sebagai senjata perang, dan betapa bermanfaatnya jika digunakan untuk membangun peradaban manusia. Tentu yang menentukan semua itu adalah nilai yang dilekatkan kepada produk dari perkembangan ilmu pengetahuan.

Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan maka sejatinya, implikasi terhadap peradaban manusia semakin lebih baik selain kemampuan untuk menciptakan benda-benda yang akan memudahkan manusia dalam kehidupannya bukan sebaliknya, menciptakan benda yang dianggap canggih tetapi menghancurkan peradaban manusia itu sendiri.

Kita menyadari bahwa manusia pada dasarnya berjalan menuju ke jurang kefanaan tetapi setidaknya proses yang dilalui seharusnya berjalan alamiah. Penghancuran terhadap manusia tidak boleh terjadi karena dilakukan secara sengaja oleh manusia lain untuk memenuhi nafsu mendominasi.

Jeon Seunghwan, dalam salah satu bukunya mengatakan bahwa “kita harus terobsesi pada hal-hal yang bisa membuat kehidupan kita lebih bahagia dan berarti. Kita harus membuang jauh obsesi yang berdampak negatif bagi orang sekitar.

Masa depan peradaban manusia ada di tangan manusia yang hidup saat ini. Mereka akan menentukan apakah kehidupan ini tetap dilanjutkan dengan merawat kemanusiaan atau kehidupan ini akan dihancurkan melalui tindakan penghancuran terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//