• Dunia
  • Menelisik Kolonialisme Pendudukan Israel terhadap Palestina

Menelisik Kolonialisme Pendudukan Israel terhadap Palestina

Konflik antara Israel dan Palestina telah merentang lama. Amnesti Internasional menilai Israel telah mempraktikkan sistem apartheid pada Palestina.

Ilustrasi serangan militer Israel terhadap bangsa Palestina. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Sherani Soraya Putri27 November 2023


BandungBergerak.id – Situasi Palestina semakin memprihatinkan serangan balasan Israel pada Hamas. Serangan tersebut dipicu oleh serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu yang menewaskan 1.400 warga orang. Dalam agresi militernya kali ini, Israel tiada henti meluluh lantahkan kawasan Gaza tanpa pandang bulu. Warga sipil, tenaga medis, fasilitas publik, hingga rumah sakit turut menjadi korban serangan Israel.

“Dilaporkan hingga saat ini 10.500 orang yang menjadi korban,” ujar Ketua Direktorat Program Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP) Muhammad Syarief pada Kamis, 9 November 2023 lalu.

Syarief menyesalkan respons dunia yang sangat lambat apalagi dengan adanya pemberlakuan standar ganda pemerintah negara-negara Barat yang berpihak kepada Israel. Ini adalah krisis kemanusiaan yang perlu diperhatikan oleh semua pihak, khususnya masyarakat internasional.

Warga Palestina telah hidup terjajah dari tanahnya setelah bangsa Arab kalah perang dengan Israel tahun 1948. Sedikitnya 750 ribu orang menjadi pengungsi di sejumlah negara seperti Lebanon, Suriah, Yordania, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.

“Sejak saat itu hidup mereka bergantung kepada bantuan,” tambahnya.

Wilayah Gaza yang menjadi jantung konflik Palestina dan Israel tersebut sejak tahun 2007 telah diblokade Israel. Pasca serangan Hamas tersebut, Israel makin mengetatkan blokade.

KNRP menjadi satu dari sejumlah lembaga yang ikut menggalang dana untuk membantu warga Palestina di jalur Gaza. Dalam konflik kali sedikitnya telah dua kali melakukan penyaluran bantuan pada korban konflik di Gaza. Namun penyaluran bantuan tidak mudah.

“Sudahlah mereka diblokade, ditambah sekarang diagresi habis-habisan di hari ke 34 ini, makanan tidak bisa masuk, bahkan listrik dan air putus, jadi menambah kondisi berat mereka,” terang Syarief.

Ia menerangkan bahwa akses yang memungkinkan untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan melalui selatan jalur Gaza, tepatnya Mesir. Bantuan tersebut menumpuk di penyeberangan Rafah, setelah akhirnya dibuka pertama kali pada Sabtu,21 November 2023. Distribusi bantuan pun berjalan lambat akibat mitra KNRP di Palestina juga banyak yang menjadi korban di Gaza.

Lembaga Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sedikitnya 15 rumah sakit, dari 35 rumah sakit di Gaza tidak berfungsi karena serangan terdampak serangan Israel.  Salah satu yang terbesar yakni Rumah Sakit Al Shifa terkena serangan bom pada 11 November 2023 dan mengakibatkan 13 orang meninggal dunia. Rumah Sakit Indonesia di Gaza menjadi salah satu rumah sakit yang menjadi sasaran serangan Israel.

“Tidak ada tempat aman di sana, Rumah Sakit, Gereja, Sekolah, semuanya dibom,” kata Syarief.

Syarif berharap agar segera terjadi gencatan senjata di jalur Gaza. Lebih jauh lagi, adanya desakan dari dunia internasional agar Israel mencabut blokade kawasan Gaza yang sudah terjadi sejak tahun 2007 lalu.

Baca Juga: Seruan Palestina Merdeka dari Ibu Kota Asia Afrika terus Menggema
Palestina dan Netizen yang Nirempati dalam Bermedsos
Organisasi-organisasi Pewarta Dunia Mengutuk Pembunuhan Jurnalis dalam Serangan Israel ke Palestina

Akar Konflik Israel di Tanah Palestina

Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani) I Wayan Aditya Harikesa menilai bahwa pendudukan Israel terhadap Palestina itu dilatarbelakangi oleh sisi religius dan politik non-religius. Dari sisi religius bangsa Yahudi selalu mencari tanah yang dijanjikan sebagaimana yang diyakini dari  kitab suci mereka. Bangsa Yahudi meyakini Yerusalem merupakan tanah yang dijanjikan tersebut. Namun sejak lama daerah tersebut sudah dihuni oleh warga Arab-Palestina.

Sedangkan aspek politik non-religiusnya dilihat dari sisi sejarah dunia. Sebelum

Perang Dunia I bangsa Yahudi banyak yang berdiaspora ke sejumlah negara. Bangsa Yahudi umumnya tersebut di hampir seluruh wilayah Eropa. Kala itu dikenal istilah The Powerfull Brothers yaitu sebutan bagi Raja Inggris, Raja Perancis, dan Tsar Rusia sebagai kekaisaran yang menguasai dunia. Pada masa itu, seorang pebisnis, saudagar, politikus Yahudi Ben-Gurion mendekati para kaisar ingin membuat sebuah pemukiman bagi mereka sebagai suatu tanah yang dijanjikan.

The Powerfull Brothers menyetujui hal tersebut, dengan syarat bangsa Yahudi harus menaklukan kekuasaan Turki Ottoman yang dianggap sebagai pihak penghalang mereka masuk ke Jazirah Arab,” ungkap I Wayan, Senin, 6 November 2023.

Ia meneruskan bahwa bangsa Yahudi itu telah dianggap berhasil membantu pihak sekutu Inggris, Perancis, dan Rusia semasa Perang Dunia I. Grasi diberikan oleh Inggris kepada Yahudi dengan menghadiahkan tanah di Yerusalem.

Melalui Deklarasi Balfour dari Menteri Luar Negeri Arthur Balfour kepada Lord Rothschild selaku pemimpin komunitas Yahudi Inggris pada 02 November 1917, Inggris menyatakan dukungan tegas akan pembentukan kediaman nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina.

“Karena itu, bisa dikatakan bahwa dari sisi kepentingan, Perang Dunia I itu ada tujuan untuk menjatuhkan Turki Ottoman, yang akhirnya terbukti jatuh, dan disitulah mulai adanya Zionisme” ujar Wayan.

Diskursus tentang pendirian negara Israel semakin menggema. Ditambah tidak sedikit diaspora Yahudi di negara-negara lain menduduki posisi strategis, salah satunya Miliarder John D. Rockefeller yang memberikan pengaruh besar dalam dinamika perekonomian Amerika Serikat.

Politisi Amerika Serikat, Benjamin Ginsberg  dalam tulisannya yang berjudul "The Fatal Embrace: Jews and the State" (1993) menyampaikan bahwa Yahudi memang jumlahnya sedikit di Amerika, namun peran mereka signifikan sedari tahun 1960an, baik di sektor ekonomi, politik, budaya, maupun pendidikan Amerika. Tidak heran jika Amerika Serikat terlibat dalam pendirian negara bagi bangsa Yahudi.

Wayan menilai pendudukan Israel pada Palestina tidak murni sebagai kolonialisme. “Israel itu murni adalah politik sebetulnya, bukan sebuah koloni. Karena kan tadinya negara Israel, kita tidak pernah tahu ada,” ujarnya.

Melemahnya Kekuatan Arab

Momentum penting terjadi saat Palestina telah jatuh ke tangan kekuasaan Inggris. Pada tahun 1947 organisasi internasional Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) menyetujui berdirinya negara Israel  dengan membagi kawasan Palestina menjadi dua bagian, mencakup bagian Yahudi dan Arab.

Respons penolakan datang dari negara-negara Arab. Akan tetapi, deklarasi pembentukan negara Israel tetap dilakukan di bawah pimpinan Ben Gurion pada 14 Mei 1948 di museum Tel Aviv, walaupun mereka belum menetapkan batasan-batasan wilayahnya.

Penolakan pendirian negara Israel memicu konflik Arab-Israel. Konflik semakin panas setelah nasionalisasi Terusan Suez oleh Mesir pada tahun 1956.

Konflik Arab-Israel berujung pada peperangan. Pertempuran yang dikenal kemudian dengan sebutan Perang Enam Hari (5-10 Juni 1967) dimenangkan Israel dengan merebut Dataran Tinggi Golan.

Setelah perang, negara-negara Arab menyusun Resolusi Khartoum. Resolusi tersebut buah dari pertemuan negara Mesir, Suriah, Lebanon, Suriah, Yordania, Irak, Aljazair, Kuwait, dan Sudan yang berlangsung 29 Agustus 1967 – 1 September 1967. Resolusi Khartoum pada dasarnya merupakan penalakan terhadap Israel. Isinya, “No Peace with Israel, No Recognition of Israel, No Negotiations with it.”

Selama rentang waktu Perang Dunia I, Perang Dunia II, dan Perang Dingin, termasuk pasca resolusi tersebut, I Wayan tak menampik banyak terjadi permainan politik sebagai dukungan dari negara-negara barat pada Israel. Negara-negara barat mempengaruhi sejumlah negara di Timur Tengah untuk kemudian malah memihak pada Israel.

Terbaru Uni Emirat Arab menormalisasi hubungan dengan Israel dan Amerika dengan menandatangani Abraham Accords pada 13 Agustus 2020. Pada April 2021 Kabinet Presiden Sudan turut melakukan pencabutan Undang-undang Tahun 1998 yang memboikot Israel.

Wayan menilai, dukungan negara-negara Timur Tengah pada Palestina sangat penting di tengah keterbatasan PBB dalam penyelesaian konflik di Palestina akibat pendudukan Isreal.

Amnesti Internasional Kecam Kejahatan Politik Apartheid Israel pada Palestina

Amnesti International melakukan demonstrasi di Kedutaan Besar Amerika untuk menekan pemerintah AS agar menghentikan serangan Israel ke Gaza. Termasuk di dalamnya permintaan untuk berhenti menyuplai senjata, terutama senjata seperti bom fosfor putih yang dilarang dipergunakan di dalam etika perang di dunia.

Juru Kampanye Amnesti Internasional Zaky Yamani mengatakan, yang terjadi di Palestina adalah kolonisasi pendudukan. Amnesti Internasional menyematkan istilah Occupied Territory atau Wilayah Pendudukan terhadap Palestina.

Amnesti Internasional mengecam aksi represi Israel di wilayah Gaza. Namun aksi Hamas yang memprovokasi serangan tersebut juga tidak bisa dibenarkan karena menyasar warga sipil di Israel. Lebih dari, serangan balasan yang dilakukan Israel juga sangat berlebihan.

“Segala bentuk kekerasan, Amnesty akan menentang itu,” kata Zaky, Selasa, 7 November 2023.

Berdasarkan hasil investigasi yang sudah dilakukan oleh Amnesty International, yang terjadi di Palestina merupakan Politik Apartheid. Terbukti oleh tindakan Israel yang menindas warga Palestina, dengan mendominasi secara penuh. Laporan tersebut terurai dalam judul Apartheid Israel terhadap Palestina: Sistem Dominasi dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang Kejam.

Amnesti Internasional menilai Israel telah mempraktikkan sistem apartheid pada Palestina. Di antaranya ditunjukkan dengan penyitaan tanah dan properti rakyat Palestina secara besar-besaran, pemindahan paksa, pembunuhan di luar hukum, pembatasan gerakan secara drastis, dan penolakan kewarganegaraan terhadap orang Palestina. Dengan demikian, Amnesti International meminta agar Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang didukung oleh yurisdiksi universal untuk membawa pelaku kejahatan apartheid ke pengadilan.

Zaky menyerukan agar negara-negara besar yang selama ini menjadi pendukung Israel agar membantu menghentikan sikap keras kepala Israel untuk menghentikan krisis kemanusiaan di wilayah Gaza. “Ini kembali lagi kepada good will para pemangku dunia, pihak-pihak yang mendukung Israel harus secara jujur menilai dan menegur negara itu, agar merefleksi diri, bahwa apa yang mereka lakukan itulah yang menjadi penyebab lingkaran kekerasan yang terjadi di negara itu,” ujarnya.

Sanksi dunia internasional yang terjadi di dunia nyata maupun dunia maya, dengan menerapkan label-label, setidaknya bisa dipertimbangkan oleh warga Israel sendiri untuk menekan perbaikan pemerintahnya dari internal.

“Tekanan-tekanan semacam itu masih berfungsi untuk mengubah pendekatan Israel terhadap konflik ini,” ucap Zaky.

Publik seluruh dunia hampir semuanya mengecam tindakan Israel, Indonesia menjadi bagian dari pergerakan tersebut. Diplomasi Indonesia memiliki peranan penting di dalam politik dunia untuk bersolidaritas dengan negara lain agar memberi tekanan yang lebih keras terhadap Israel, agar menghentikan serangannya, karena ini adalah krisis kemanusiaan.

“Saya pikir warga dunia harus menunjukkan solidaritasnya terhadap krisis kemanusiaan ini, harus melampaui batas-batas ras, keyakinan. Solidaritas yang harus kita tunjukan adalah solidaritas terhadap kemanusiaan itu sendiri,” tutupnya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//