Palestina dan Netizen yang Nirempati dalam Bermedsos
Pada situasi kebrutalan perang Israel terhadap Palestina, diskursus apa pun yang dimunculkan di media sosial tetap harus berdasarkan empati dan kemanusiaan.
Fikri Arigi
Pegiat Kreatif Media Digital. Bisa dihubungi melalui [email protected]
4 November 2023
BandungBergerak.id - Hari-hari ini, lini masa sosial media dipenuhi dengan perbincangan seputar eskalasi konflik Israel Palestina yang semakin panas. Mulai dari berita peristiwa, gerakan-gerakan boikot yang dilakukan netizen, sampai fakta-fakta sejarah dari tanah yang sekian lama jadi sumber sengketa.
Terkait hal terakhir, di antara netizen ada yang berinisiatif dan mengangkat diskursus sejarah tersebut. Kemudian tidak jarang informasi yang disampaikan bersinggungan dengan arus kemarahan publik pada Israel. Netizen pertama, memaparkan bahwa Palestina di tahun-tahun sebelum kedatangan pendudukan Israel, belum berbentuk negara karena tidak memenuhi syarat untuk memproklamirkannya. Netizen kedua, merentangnya lebih jauh sampai genealogi penduduk tanah Kanaan (sekarang Palestina), yang diklaim sudah dihuni oleh Yahudi.
Selain itu ada pula yang mengangkat diskursus HAM, dan mencoba membandingkan antara konflik Israel-Palestina dan Indonesia-Papua. Mereka menangkap fenomena yang berbeda dalam resepsi publik untuk dua isu yang mirip. Seperti yang bisa diduga, penerimaan publik media sosial atas konten-konten tadi, tidak terlalu baik.
Di luar perdebatan soal kebenaran informasinya, yang terjadi unggahan-unggahan tadi mendapat respons kritik dan cibiran. Dituding tidak pro-Palestina, mendukung kolonialisme-pendudukan yang dilakukan Israel, dan hanya membentur-benturkan persoalan saja. Padahal menurut pengakuan pengunggahnya, konten-konten yang mereka buat bertujuan justru untuk menghadirkan diskursus publik.
Apa yang dilakukan pengunggah konten sebetulnya tidak keliru, bahkan sebetulnya merupakan upaya yang sangat baik dalam mendewasakan publik. Mengingat media sosial memang didorong jadi public sphere baru, dengan harapan bisa melahirkan diskursus publik yang berbobot.
Namun perlu diperhatikan juga, dalam situasi seperti apa diskursus ini bisa diterima sesuai intensi dari pengunggah. Rasa-rasanya dalam konteks Israel-Palestina, yang terjadi masyarakat kadung emosional karena saban hari digempur konten-konten yang menunjukkan genosida, perbuatan melanggar hak asasi manusia secara brutal dan perlu segera dihentikan. Lantas bila seperti ini situasinya, bagaimana caranya agar diskursus publik yang baik tetap bisa berjalan tanpa membuyarkan fokus pokok persoalan?
Bijaksana dalam Bermedsos
Secara tradisional literasi media diartikan sebagai kompetensi atau kemampuan seseorang untuk mengakses, menganalisa, dan memproduksi informasi (Aufderheide, 1993). Faktor-faktor ini yang diharapkan akan membentuk kebijaksanaan seseorang, baik dalam mengkonsumsi atau memproduksi informasi di media. Namun seiring dengan bertumbuhnya penggunaan internet dan perbedaan pola konsumsi media, konsep literasi media dianggap tidak kompatibel dengan media-media baru di era digital. Karenanya muncul sebuah konsep baru yang lebih kontekstual; literasi media sosial.
Terdapat perbedaan tingkat kompleksitas kebijaksanaan dalam menggunakan media sosial. Pada media baru hal ini menjadi sedikit lebih rumit ketimbang pendahulunya. Peneliti Ohio State University Hyunyi Cho (Cho et al. 2022) dalam penelitiannya menambahkan ‘dimensi konten’ untuk melengkapi ‘dimensi kompetensi’ yang sebelumnya sudah eksis. Dimensi konten meliputi kesadaran, pemahaman, dan pengetahuan yang diperlukan seseorang untuk mencapai kebijaksanaan dalam menggunakan media sosial.
Mengingat akses media sosial yang luas dan sifatnya yang inklusif, Cho juga memperbaharui dimensi kompetensi. Dalam konsep literasi media sosial, kemampuan untuk mendemonstrasikan kebijaksanaan saat memproduksi konten lebih ditekankan daripada kebijaksanaan dalam mengkonsumsinya. Meskipun perlu digarisbawahi keduanya sama-sama penting.
Menurut Cho kompetensi bermedsos mensyaratkan komitmen pengguna media sosial untuk berkontribusi dalam diskursus sosio-kultural dan politik yang berorientasi pada kemaslahatan publik. Komitmen ini harus didasarkan pada; kesadaran, pemahaman, dan pengetahuan, seseorang akan kesesuaian informasi dengan realitas yang terjadi (the reality), kebijakan dan karakter dari media yang digunakan (the medium), serta motif dari individu dalam menggunakan sosial media (the self).
Artinya dalam menggunakan media sosial, utamanya saat proses produksi informasi, seseorang perlu menyadari betul dampak-dampak apa saja yang bisa ditimbulkan. Sama halnya dalam konteks memunculkan diskursus terkait konflik Israel Palestina, yang sekarang ini jadi isu yang sangat sensitif di media sosial. Karena itu tiga kesadaran; the reality, the medium, dan the self, semakin relevan dan wajib menjadi panduan dan pertimbangan, bagi siapa pun yang berselancar di jagat sosial media.
Baca Juga: Dari Parit Milisi Jerman ke Dago Elos
Menggoda Pemilih Muda
Parpol: Lo Itu Gak Diajak
Sadar akan Dampak
Pertama, kesadaran akan realitas. Seperti yang disebut sebelumnya genosida yang dilakukan Israel pada masyarakat Palestina membuat masyarakat cenderung mengedepankan emosi ketimbang rasionalitas. Pada situasi ini akan lebih bijaksana untuk menghindari konten-konten dengan informasi yang sumir dan multitafsir.
Misalnya konten sarkastik. Belum lama ini ada unggahan berisi tulisan yang menjustifikasi pengambilalihan lahan di Amerika Utara oleh orang-orang Eropa pada abad ke-16. Konten ini secara eksplisit menyebut bahwa perampasan lahan di Amerika Utara dari penduduk aslinya merupakan tindakan yang sah-sah saja. Karena saat pertama kali orang Eropa datang, orang penduduk asli Amerika Utara tidak memiliki kedaulatan berupa negara dan sistem kepemilikan lahan belum lahir, maka lahan tersebut menurutnya bebas diklaim alias free for the taking.
Padahal bisa jadi secara implisit, konten ini mencoba masuk ke logika masyarakat yang kini sudah mulai menyadari bahwa apa yang dilakukan Eropa di Amerika Utara merupakan praktik kolonialisme, dan terjadi penentangan atas hal itu. Sehingga mungkin apa yang diharapkan oleh pengunggah konten adalah menghadirkan diskursus kepada publik yang pro-Israel melalui runutan logika yang sudah familiar di benak mereka.
Kedua, kesadaran akan medium yang digunakan. Masih dengan contoh konten sarkastik yang beredar di X tadi, pengunggah perlu menyadari bahwa X adalah platform dengan potensi viral yang tinggi. Konsep microblogging yang diusung membuatnya praktis, ditambah dengan tools berupa retweet, like, dan share yang menambah kemudahan para penggunanya untuk menyebarkan konten. Keluwesan platform ini dalam membagikan informasi, cukup efektif untuk membuat lebih banyak orang terpapar dan berinteraksi dengan sebuah konten. Karena itu informasi sumir sangat mungkin disalahpahami oleh orang-orang yang tidak mengerti konteks atau poin dari sarkasme tersebut.
Konten-konten bernada sarkasme atau informasi serupa yang berpotensi disalahpahami seperti yang dicontohkan sebelumnya, mungkin bisa lebih dulu dimunculkan dalam ruang-ruang dengan audiens yang terkurasi. X sudah menyediakan fitur circles yang memungkinkan pengunggah konten mengatur siapa saja yang bisa menerima konten yang disebarkan. Selain itu ada pula fitur membatasi retweet, membatasi kepraktisan membagikan konten ini diharapkan bisa membantu mengontrol potensi sebuah konten menjadi terlalu viral, dan menyebabkan kesalahpahaman yang lebih masif.
Sama halnya dengan platform-platform lain, seperti Tiktok, Facebook, Instagram, dan lainnya. Sebisa mungkin kenali bagaimana cara kerja masing-masing platform, dalam upaya mengontrol dan bertanggung jawab pada informasi-informasi yang diproduksi dan dibagikan.
Ketiga, kesadaran akan motif individu. Selain harus memahami motif diri sendiri, kita juga perlu memahami motif pengguna lain dalam bermedsos. Saat ini kita mengenal entitas unik yang muncul di era media digital yaitu pendengung atau buzzer dan influencer. Dua entitas ini menggunakan media sosial untuk mengangkat sebuah narasi demi motif ekonomi. Kehadiran mereka bisa menjadi noise atau gangguan yang memperumit proses diskursus sehat yang diharapkan.
Buzzer dan influencer dalam konsep Jürgen Habermas masuk dalam golongan strategic rationality. Golongan ini tidak bisa terlibat dalam diskursus organik, atau apa yang disebut Habermas sebagai communicative rationality, yakni sebuah upaya komunikasi yang dilakukan untuk mencapai sebuah kesepakatan bersama. Communicative rationality atau komunikasi rasional mensyaratkan orang-orang terlibat dalam diskursus secara organik, dan memiliki argumen yang benar-benar mereka yakini. Sementara buzzer dan influencer tidak bisa terlibat diskursus publik semacam itu karena mereka memiliki tujuan khusus untuk mengangkat narasi apa pun itu sesuai dengan pesanan.
Sebelumnya mari kita sepakati dan asumsikan bahwa pengunggah konten sarkastik di X tadi bertujuan benar-benar untuk menghadirkan diskursus publik. Maka bisa jadi dengan kehadiran segala macam bentuk noise di media sosial kontennya tadi dimanfaatkan untuk kepentingan yang kontras dengan tujuan sebenarnya. Hal ini sangat mungkin terjadi akibat dari informasi yang sumir. Konten tadi jadi bola liar yang bisa ditafsirkan secara bebas.
Secara esensi, kata dan fakta memang akan selalu netral. Keduanya hadir tanpa pretensi dan akan tetap begitu. Setidaknya sampai ia bertemu dengan konteks; situasi yang terjadi, intensi pengunggah, dan persepsi penerima. Terutama pada situasi seperti ini, penting untuk menyadari, kalau diskursus yang dimunculkan di media sosial tetap harus didasarkan pada empati, bukan pembahasan-pembahasan diskursif namun tidak peka pada nilai-nilai kemanusiaan.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain Fikri Arigi, atau artikel-artikel tentang Palestina