• Opini
  • Dari Parit Milisi Jerman ke Dago Elos

Dari Parit Milisi Jerman ke Dago Elos

Peristiwa di Dago Elos ini jadi momentum yang tepat untuk kembali memunculkan diskursus penggunaan gas air mata dalam praktik pengendalian massa oleh aparat.

Fikri Arigi

Pegiat Kreatif Media Digital. Bisa dihubungi melalui [email protected]

Situasi mencekam di Dago Elos, Bandung, Senin (14/8/2023) malam. Warga memblokir jalan. (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

18 Agustus 2023


BandungBergerak.id – Senin 14 Agustus 2023, gas air mata pecah di pukul 22.50 WIB ditembakkan personel kepolisian Polrestabes Bandung. Peristiwa ini jadi puncak konflik antara warga Dago Elos dengan kepolisian yang bermula sejak pagi harinya, saat warga melaporkan dugaan tindak pidana kasus sengketa lahan seluas 6,9 hektare di Dago Elos. Kecewa dengan sikap polisi atas laporan mereka, dua jam sebelum gas air mata ditembakkan, warga dilaporkan memblokir jalan Dago.

Seperti dilaporkan BandungBergerak konflik berlanjut hingga lewat tengah malam. Esok paginya media sosial juga dipenuhi gambar-gambar peristiwa itu.

Seperti konflik lain yang melibatkan gas air mata, pada kasus ini juga terjadi perbedaan keterangan perihal penggunaan selongsong berisi zat kimia tersebut. Kesaksian warga menyebutkan kalau gas air mata ditembakkan ke wilayah pemukiman, sementara Polrestabes Kota Bandung menyanggah ada anggotanya yang menembak ke tempat mukim warga. Gas air mata disebut hanya ditembakkan ke jalanan untuk membuka jalan.

Mengesampingkan sebentar pencarian fakta yang tengah bergulir, peristiwa di Dago Elos ini jadi momentum yang tepat untuk kembali memunculkan diskursus penggunaan gas air mata dalam praktik pengendalian massa oleh aparat. Masihkah teknologi kuno ini diperlukan, atau justru sudah tak lagi relevan?

Baca Juga: Bahaya Gas Air Mata bagi Kebebasan Sipil
Temuan Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil Terkait Pelanggaran HAM di Stadion Kanjuruhan
Kronologi Kaos Penutupan Jalan di Dago Elos, Gas Air Mata Melukai Warga

Zona Perang ke Ruang Sipil

Kembali ke 124 tahun yang lalu, pada 1899 negara-negara Eropa sebetulnya telah mengutuk penggunaan racun dan peluru beracun dalam peperangan di Konferensi Den Haag. Termasuk melarang penggunaan proyektil yang mengakibatkan sesak napas atau merusak. Namun tetap saja, kenyataan ini tidak menghentikan gas air mata meletus 15 tahun kemudian di Perang Dunia pertama.

Gas air mata modern dipercaya pertama kali digunakan oleh tentara Perancis untuk mengasapi parit-parit pertahanan tentara Jerman di perbatasan kedua negara, pada 1914 (The Atlantic, 2014). Penggunaannya ditujukan untuk membuyarkan pertahanan lawan, memanfaatkan sensasi terbakar dan sesak dari zat kimia dalam selongsong gas air mata. Efek-efek tadi merupakan reaksi dari zat bromobenzyl cyanide (BBC). Pada perkembangannya gas air mata juga mengandung chloroacetophenone (CN), chlorobenzylidene malononitrile (CS), chloropicrin (CP), dan dibenzoxazepine (CR).

Reaksi gas kimia yang ditimbulkan ini sangat cocok untuk tujuan mengisolasi individu dari kerumunan. Asap yang keluar dari selongsong memberikan tekanan kepada orang yang terpapar. Menyebabkan pengerucutan pikiran orang yang terpapar, fokusnya satu; melegakan perasaan tersiksa. Konsepnya jadi bisa ditangkap, kenapa gas air mata kemudian dianggap efektif sebagai alat kontrol massa.

Kepala Korps Senjata Kimia militer Amerika Serikat, Amos Fries, mengatakan “lebih mudah bagi seseorang untuk mempertahankan semangat tempur di hadapan peluru dari pada dari kehadiran gas yang tak terlihat”. Fries nantinya jadi salah satu tokoh yang membawa teknologi peperangan itu ke ranah sipil. Saat Perang Dunia pertama berakhir Fries berupaya mengembangkan dan mengomersialkan teknologi perang itu.

Menurut Daniel P. Jones (1978) sepanjang 1919-1920 Amerika Serikat dilanda banyak kerusuhan, kejadian-kejadian ini membuat pemerintah federal harus menurunkan tentara untuk mengendalikan situasi. Agustus 1919 Kepala Kepolisian New York saat itu berkirim surat pada Korps Senjata Kimia militer Amerika Serikat, isinya kepolisian menanyakan efektivitas gas air mata bila digunakan untuk alat kontrol massa. Surat yang sama juga dikirimkan oleh Kepolisian Boston setahun kemudian.

Kepolisian New York, Philadelphia, Cleveland, San Francisco, dan Chicago tercatat belanja gas air mata pada akhir 1920. Efektivitas gas air mata dalam memecah massa tanpa meninggalkan lebam dan luka, jadi salah satu alasan lakunya barang militer tersebut. Namun pertimbangannya bukan didasarkan pada kemanusiaan, melainkan pencitraan. Kepolisian Amerika Serikat sejak awal abad ke-20 mereformasi kepolisian dan memoles citra mereka dari korps yang korup menjadi institusi profesional.

Amerika Serikat menemukan peluang bisnis yang besar, mereka lantas mengekspornya ke India, Panama, dan Hawai. Paman Sam bahkan mendagangkannya sebagai alat perlindungan pribadi, pernah diiklankan dalam selebaran dengan grafis mirip produk rokok atau minuman soda botolan pada 1932. Saat ini alat perlindungan serupa dikenal dengan nama pepper spray. Walaupun penggunaannya berbeda tapi fungsi utamanya tetap sama; memberikan rasa menyiksa.

Belum ada riset mengenai kapan tepatnya otoritas Indonesia mulai menggunakan gas air mata untuk keperluan kontrol massa. Namun tercatat Perancis dan Afrika Selatan sama-sama mulai menggunakannya di waktu yang berdekatan dengan Amerika Serikat, di era 1920an. Dugaannya penyebaran gas air mata di dunia ditengarai oleh bangsa-bangsa Eropa yang membawa selongsong berisi zat kimia tersebut ke wilayah jajahan masing-masing, guna menekan gerakan perlawanan orang-orang dalam koloni (Vox, 2020).

Bahaya Penggunaan Gas Air Mata

Konvensi Senjata Kimia menggolongkan gas air mata ke dalam riot control agent. Artinya penggunaannya dilegalkan sebagai alat penegakan hukum, namun tidak bisa digunakan dalam peperangan. Meski dilabeli sebagai senjata yang tidak fatal, namun dalam banyak kasus penggunaannya sering kali menimbulkan korban. Meskipun tingkat keparahannya tergantung dari banyak faktor; bagaimana, kapan, dan di mana gas air mata tersebut digunakan.

Efek destruktif utama pada senjata kimia bukan terletak di daya ledaknya tetapi pada sifat racun yang melumpuhkan syaraf, merusak sel darah, mencekik pernafasan, membakar dan melepuhkan kulit, yang semuanya berujung pada kematian (ICJR, 2023). Meski begitu proyektil gas air mata bukannya tidak menyimpan bahaya. Amnesty International menemukan kasus proyektil gas air mata yang bisa menghancurkan tengkorak saat diarahkan langsung pada kepala atau anggota tubuh pada jarak tertentu. Sadar akan daya destruktifnya Amnesty International lantas membuat panduan khusus menggunakan gas air mata guna mengurangi fatalitasnya.

Polri sebetulnya juga sudah mengatur penggunaan gas air mata oleh anggotanya. Aturan terkait penggunaan gas air mata eksis di beberapa aturan Polri, seperti Prosedur Tetap Kapolri Nomor 1 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarki. Pengunaan kata Anarki di aturan ini tidak merujuk pada spektrum gerakan kiri, tapi berarti bentuk pelanggaran hukum yang membahayakan keamanan dan mengganggu ketertiban umum masyarakat.

Poin d dalam Protap No. 1/2010 ini mengatur apabila pelaku melakukan perlawanan fisik terhadap petugas, maka dilakukan tindakan melumpuhkan dengan menggunakan: kendali tangan kosong lunak; kendali tangan kosong keras; kendali senjata tumpul seperti senjata kimia (gas air mata atau alat lain sesuai standar Polri); kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain.

Selain itu beleid penggunaan gas air mata juga diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Serta Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru-hara.

Namun lemahnya pengawasan dan tidak tegaknya aturan dalam penggunaan gas air mata justru menambah kekusutan. Konsekuensi wajar dan sebetulnya terukur sejak awal dan dengan mudah dijumpai dalam setiap kasus penembakan gas air mata adalah situasi kaos. Kekacauan yang ditimbulkan jadi faktor lain yang menambah kefatalan.

Berkaca pada Tragedi Kanjuruhan

Rasanya masih segar dalam ingatan bangsa kita soal tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang. Tragedi yang menewaskan 135 orang penonton laga sepakbola Arema FC melawan Persebaya. Kuat dugaan gas air mata adalah penyebab dari banyaknya korban dalam peristiwa nahas tersebut. Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam tidak menyangkal bahwa gas air mata dalam tragedi Kanjuruhan menyebabkan kematian. Menurutnya sebagian suporter sempat terkendali sebelum anggota polisi menembakkan air mata (BBC Indonesia, 2022). Gas air mata menimbulkan kepanikan sehingga suporter berebut keluar stadion, sehingga kondisi kacau terjadi. Massa yang berdesakan dengan mata sakit dan dada yang sesak jadi sebab tingginya angka kematian.

Amerika Serikat negara yang termasuk pengembang awal gas air mata nyatanya juga belum bisa mengontrol penuh penggunaannya. Kepolisian Philadelphia pada 2020 tertangkap video menembakkan gas air mata pada massa yang terperangkap dalam pagar di pinggir jalan tol. Ini disebut sebagai contoh praktik penggunaan gas air mata yang paling membahayakan. Situasi ini sangat mirip dengan Stadion Kanjuruhan, meski tingkat fatalitas di Malang berkali lipat lebih besar karena ditembakkan di ruang semi tertutup.

Reliabilitas gas air mata pada situasi dan kondisi membuat kerumitan protokol yang berlapis. Menjadikan gas air mata sebagai piranti yang sangat sulit dikendalikan di bawah banyak protokol sekalipun. Banyak hal-hal taktis di lapangan yang perlu dipertimbangkan, agar tidak timbul korban dari penggunaannya.

Menimbang kerumitan dan banyaknya contoh bahaya ketimbang efektivitas penggunaan gas air mata, hari ini rasanya kita perlu memikirkan kembali dengan serius, klaim bahwa zat kimia dalam gas air mata tidak membahayakan. Klaim usang yang digaungkan lebih dari 100 tahun lalu. Polri perlu sesegera mungkin menemukan cara lain dalam mengendalikan massa, yang bukan demi memoles citra tapi benar-benar mengedepankan prinsip kemanusiaan dan nihil kekerasan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//