• Nusantara
  • Bahaya Gas Air Mata bagi Kebebasan Sipil

Bahaya Gas Air Mata bagi Kebebasan Sipil

Gas air mata kerap digunakan kepolisian untuk membubarkan unjuk rasa di Bandung. Termutakhir pada demonstrasi mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM.

Polisi menembakkan gas air mata pada demonstrasi menolak Omnibus Law, RUU RKUHP, UU pelemahan KPK, di Bandung, 2020. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Delpedro Marhaen18 Oktober 2022


BandungBergerak.idPerih dan sesak. Itulah kenangan buruk Virdian Aurellio, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Padjadjaran (BEM Unpad), ketika diberondong gas air mata di sekitar posko medis pengunjuk rasa Jalan Tamansari, pada 2020 silam. Polisi memukul mundur massa yang melakukan unjuk rasa di sekitar Gedung Sate dengan gas air mata hingga berlarian ke Jalan Tamansari, setidaknya puluhan orang mengalami luka-luka akibat represi ini.

Penggunaan gas air mata, kata Virdian, kerap digunakan kepolisian untuk membubarkan berbagai unjuk rasa di Kota Bandung tanpa alasan dan pertimbangan yang jelas. Termutakhir pada 23 September 2022, ketika mahasiswa melakukan unjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Catatan LBH Bandung mengungkap sejumlah orang mengalami luka-luka akibat kekerasan aparat kepolisian, salah satunya karena penggunaan gas air mata.

“Penggunaan gas air mata dalam pengendalian massa harus sangat dipertimbangkan dalam konteks hak asasi manusia dan keselamatan publik. Hal ini mengingat frekuensi cedera serius, bahkan hingga kematian akibat gas air mata sehingga aparat harus menggunakan metode yang lebih aman,” kata Virdian ketika dihubungi BandungBergerak.id pada Senin, (17/10/2022).

Virdian menilai penggunaan gas air oleh kepolisian sebagai senjata untuk membubarkan massa ketika unjuk rasa berlangsung adalah bentuk kekerasan dan melanggar kebebasan sipil. Penggunaan gas air mata dipandang sebagai penggunaan kekuatan yang berlebihan. Penggunaanya kerap menyalahi prosedur tetap yang tertuang dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap).

“Gas air mata bagi BEM Kema Unpad adalah simbol excessive use force (penggunaan kekuatan berlebih) dan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) oleh lembaga kepolisian. Gas air mata digunakan tanpa melihat situasi, kondisi, dan lingkungan sekitar,” ungkapnya.

Selain itu, penggunaan gas air mata dapat menimbulkan jatuhnya korban jiwa, seperti yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, pada awal Oktober lalu. Tim Independen Gabungan Pencari Fakta (TGIPF), mengungkapkan sebanyak 131 orang meregang nyawa akibat penggunaan gas air mata, serta ratusan lainnya mengalami luka-luka. Kepolisian didesak untuk mengevaluasi penggunaan gas air mata.

"Sudah terlalu banyak korban lahir dari represivitas aparat, termasuk penggunaan gas air mata. Baik itu dipakai saat aksi damai mahasiswa dan elemen sipil, bahkan ada yang sampai nyaris menewaskan bayi di Ternate, Maluku Utara, dan tentu terakhir tragedi terbesar dalam sejarah sepak bola Indonesia yang menewaskan ratusan orang disebabkan penggunaan gas air mata oleh lembaga kepolisian," tandas Virdian.

Kritik yang sama soal penggunaan gas air mata juga diutarakan Direktur LBH Bandung, Lasma Natalia. Penggunaan gas air mata, kata Lasma, dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan. Hal ini disebabkan karena dampak penggunaan gas air mata yang menyebabkan sesak napas hingga kerusakan organ pernapasan secara berkelanjutan.

Lasma juga mengatakan penggunaan gas air mata merupakan bentuk pembatasan kebebasan berekspresi serta mengancam kebebasan sipil. Hal itu terlihat dari pola penggunaan gas air mata oleh kepolisian yang ditujukan untuk memberangus unjuk rasa. Gas air mata, lanjut Lasma, digunakan sebagai alat untuk menekan dan mengancam siapa pun yang hendak melakukan unjuk rasa.

“Padahal menurut UU masyarakat dilindungi dan mempunyai hak untuk menyampaikan pendapat secara umum,” kata Lasma kepada BandungBergerak.id pada Senin, (17/10/2022).

Lasma menilai penggunaan gas air mata oleh kepolisian sering mendapatkan pembenaran dengan alasan pengunjuk rasa melakukan kerusuhan. Padahal faktanya, polisi sering terlebih dahulu menembakkan gas air mata kepada pengunjuk rasa, bahkan di situasi yang relatif terkendali dan aman. Tindakan itulah yang memicu kepanikan serta kekacauan pada pengunjuk rasa hingga berakhir kerusuhan.

“Hal ini yang kemudian dianggap sebagai kerusuhan sehingga digunakan sebagai alasan kepolisian untuk melakukan kekerasan,” kata Lasma.

Menghamburkan APBN

LBH Bandung menyebutkan Polri sebagai salah institusi yang mendapatkan porsi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tertinggi. Salah satu peruntukannya digunakan untuk pembelian alat keamanan, termasuk gas air mata. Merujuk pada data Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), pada 2014 hingga 2020 sebanyak 1,03 triliun rupiah dipergunakan untuk membeli gas air mata.

Pada tahun 2017, Polri membeli gas air mata lengkap dengan cartridges, paket pengemasan dan pengiriman dengan total harga 332 miliar rupiah. Di tahun 2018, Polri kembali membeli gas air mata seharga 29,9 miliar rupiah. Kemudian di 2019, Polri mengeluarkan 32.9 miliar rupiah untuk pengadaan gas air mata.

"Digunakan untuk membubarkan dan menghukum demonstran Mayday, penolakan RKUHP, dan RUU KPK selama aksi Reformasi Dikorupsi di berbagai kota di Indonesia," kata LBH Bandung.

Berlanjut di tahun 2020, Polri kembali membeli gas air mata dan drone pelontarnya seharga 226 miliar rupiah. Di tahun 2021, anggaran gas air mata menyentuh angka Rp 173 miliar rupiah. Terbaru di 2022, Polri merogoh kocek hingga 160 miliar rupiah untuk membeli gas air mata.

LBH Bandung menyebut besarnya APBN tersebut sebagai bentuk kontribusi negara dalam mencelakakan rakyatnya. Anggaran yang diperuntukan untuk gas air mata tersebut disinyalir sebagai upaya mengantisipasi lonjakan berbagai unjuk rasa pada waktu mendatang. Hal tersebut berkaca pada pengguna gas air mata dalam lima tahun terakhir yang digunkan untuk meredam, menghukum, dan memburu pengujuk rasa.

“Pada aksi BBM yang terpantau di Bandung, terjadi penembakan gas air mata yang kami nilai kontroversi. Bagaimana tidak, polisi menembaknya di tengah-tengah kemacetan Jalan Dago,” kata LBH Bandung.

Baca Juga: Bisakah Kita Hidup tanpa Polisi?
PROFIL PBHI JAWA BARAT: Dari Penggusuran Tamansari sampai Korban Salah Tangkap Polisi
Bandung Hari Ini: Aksi Seniman Pantomim Wanggi Hoed Dihentikan Polisi

Polisi menembakkan gas air mata pada demonstrasi menolak Omnibus Law, RUU RKUHP, UU pelemahan KPK, di Bandung, 2020. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Polisi menembakkan gas air mata pada demonstrasi menolak Omnibus Law, RUU RKUHP, UU pelemahan KPK, di Bandung, 2020. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Stop Penggunaan Gas Air Mata

Penggunaan gas air mata untuk mengurai massa oleh kepolisian menuai penolakan dari publik. Hingga Selasa, 18 Oktober 2022, sebanyak 57 ribu orang menandatangani petisi stop penggunaan gas air mata untuk mengurai massa. Petisi ini ditujukan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Listyo Sigit Prabowo.

Penolakan penggunaan gas air mata juga datang dari BEM Unpad. Mereka menuntut Kapolri Listyo untuk mengeluarkan aturan yang melarang penggunaan gas air mata dalam situasi apa pun. Penggunaan gas air mata dinilai mengancam nyawa manusia.

"Gas air mata ini tidak boleh digunakan dalam situasi apa pun. Kepolisian tidak boleh lagi menembakan gas air mata, apalagi berulang dalam waktu yang singkat untuk membubarkan massa," tegas Virdian.

BEM Unpad juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera melakukan reformasi terhadap Polri karena dinilai sebagai institusi negara yang paling tidak dipercaya publik. Polri dinilai tidak bekerja secara transparan dan akuntabel. Salah satunya, kata BEM Unpad, karena lambat mengadili anggota Polri yang terlibat dalam peristiwa kekerasan di Kanjuruhan. 

"Jangan sampai ke depan Polri betul-betul menjadi Mabes Oknum, dan nantinya tidak satu pun rakyat yang percaya terhadap lembaga ini. Kami mendorong evaluasi total dan reformasi dalam tubuh Polri," pungkasnya.

LBH Bandung mengatakan penggunaan gas air mata oleh kepolisian harus segera dihentikan. Pelarangan gas air mata tersebut, kata LBH Bandung, sebagai upaya untuk mencegah timbulnya korban jiwa di kemudian hari akibat penggunaan gas air mata. Kandungan senyawa kimia dalam gas air mata disebut sangat berbahaya dan mengancam keselamatan publik.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam pengarahan kepada perwira tinggi Mabes Polri, Kapolda, dan Kapolres se-Indonesia, menyatakan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri saat ini ada pada titik rendah. Salah satu yang digarisbawahi Presiden Jokowi adalah soal tindakan represif kepada masyarakat.

“Sewenang-wenang, tolong juga ini diredam pada anggota-anggota. Pendekatan-pendekatan yang represif, jauhi,” kata Presiden, dikutip dari laman resmi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//