• Nusantara
  • Kasus Brigadir J, Momen Penguatan Akuntabilitas Kepolisian

Kasus Brigadir J, Momen Penguatan Akuntabilitas Kepolisian

Adanya keterangan berbeda pada kasus kematian Brigadir J, Amnesty International Indonesia mengingatkan tentang adanya kultur yang melanggengkan impunitas.

Polisi saat berpatroli di kawasan Alun-Alun Bandung, 31 Desember 2021. Polisi melakukan penjagaan di area-area publik setelah pemerintah melarang perayaan malam tahun baru di tengah bertambahnya penularan Covid-19. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Tim Redaksi15 Agustus 2022


BandungBergerak.idPerhatian publik tanah air tertuju pada Polri atas kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J). Dalam konferensi pers pada tanggal 9 Agustus, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengumumkan bahwa Irjen Ferdy Sambo telah menjadi tersangka dalam kasus penembakan Brigadir J.

Kapolri juga mengatakan bahwa, berbeda dengan keterangan yang diberikan oleh kepolisian sebelumnya, tidak ada baku tembak antara Brigadir J dan Bharada E. Sebaliknya, penembakan hanya terjadi satu arah di mana Ferdy Sambo memerintahkan Bharada E untuk menembak Brigadir J.

Menyikapi kasus yang terjadi di tubuh lembaga dengan moto Melindungi Mengayomi dan Melayani Masyarakat tersebut, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan bahwa kasus ini menunjukkan secara gamblang tentang belum idealnya akuntabilitas kepolisian.

Amnesty International Indonesia mengapresiasi keterbukaan dan upaya untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, yang harus menjadi pertanyaan adalah bagaimana keterangan yang awalnya diberikan oleh pihak kepolisian bisa begitu jauh dari fakta dan membuat Irjen Ferdy Sambo malah terlihat sebagai korban.

“Kultur yang terlihat cenderung membela sesama polisi dan melanggengkan impunitas ini harus menjadi perhatian Kapolri. Dalam kasus ini, ada kemungkinan polisi menembak sesama polisi, sehingga perhatian publik sangat besar. Tapi Amnesty mencatat banyak kasus dugaan kekerasan polisi lainnya yang dilakukan terhadap warga, yang belum mendapatkan penyelesaian yang transparan dan akuntabel seperti dalam kasus ini,” kata Wirya Adiwena, dalam keterangan pers yang dikutip Senin (15/8/2022).

Wirya Adiwena menyampaikan, di Papua, misalnya, dari 2018-2022, Amnesty International Indonesia mencatat ada setidaknya 38 kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian maupun aparat gabungan TNI/Polri, dengan total 60 korban meninggal.

“Hanya sedikit sekali dari kasus ini yang hasil investigasinya terbuka terhadap publik, dan hanya sedikit dari itu yang berlanjut ke pengadilan,” katanya.

Amnesty International Indonesia juga mencatat banyak dugaan penggunaan kekuatan berlebihan oleh kepolisian. Selama rangkaian demonstrasi Tolak Omnibus Law (UU Cipta Kerja) pada bulan Oktober 2020, Amnesty mendokumentasikan ada setidaknya 402 kasus kekerasan polisi di 15 provinsi. Dalam kasus-kasus ini, Amnesty International Indonesia tidak terlihat ada langkah-langkah yang diambil untuk mencegah berulangnya kejadian serupa.

Amnesty International Indonesia berharap, Kapolri harus menyadari bahwa masalahnya lebih luas daripada satu kasus Brigadir J ini saja. Amnesty mendesak Kapolri untuk melakukan evaluasi komprehensif terhadap kepolisian untuk mencari akar dari bagaimana pengaburan fakta [pada awal kasus Brigadir J yang disebut baku tembak] seperti ini bisa terjadi dan mengambil langkah sistematis untuk mencegah kejadian serupa terjadi lagi.

Amnesty juga mengingatkan agar Kapolri meninjau ulang kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anggota polisi dan memastikan bahwa kasus-kasus tersebut juga diselesaikan secara transparan dan akuntabel.

“Sudah terlihat dari kasus ini bahwa akuntabilitas kepolisian penting untuk melindungi semua pihak, baik polisi maupun masyarakat umum,” kata Wirya.

Amnesty kemudian mendesak DPR untuk meminta pertanggungjawaban Polri, tidak hanya atas kasus Brigadir J, tapi juga kasus-kasus kekerasan lainnya yang melibatkan polisi.

“Pelaku kekerasan, baik anggota kepolisian maupun tidak, harus dibawa ke pengadilan dalam persidangan yang memenuhi standar internasional tentang fair trial dan tidak berakhir dengan penerapan hukuman mati,” katanya.

Baca Juga: Bisakah Kita Hidup tanpa Polisi?
Catatan YLBHI Terkait Narasi Presisi Polri dan Langgengnya Pelanggaran HAM
Indeks Kepercayaan Publik terhadap Kepolisian dalam Sorotan

Jangan sampai Kasus Brigadir J Menurunkan Kepercayaan Publik terhadap Kepolisian

Kasus pembunuhan Brigadir J juga menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Presiden meminta aparat kepolisian mengusut tuntas kasus tersebut tanpa ada keraguan untuk mengungkapkan kebenaran.

“Sejak awal saya sampaikan, usut tuntas, jangan ragu-ragu, jangan ada yang ditutup-tutupi, ungkap kebenaran apa adanya,” kata Joko Widodo, dikutip dari keterangan resmi, Selasa (09/08/2022).

Presiden menekanan jangan sampai kasus ini menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Menurutnya, citra Polri harus terus dijaga.

“Jangan sampai menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Itu yang paling penting. Citra Polri apapun harus tetap kita jaga,” imbuhnya.

Sebelumnya, Senin (08/08/2022), Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan bahwa Presiden Jokowi telah memerintahkan jajaran terkait untuk mengusut kasus tewasnya Brigadir J secara tuntas.

“Presiden sudah tiga kali menyampaikan dan penyampaiannya sudah sangat terbuka, jangan ada yang ditutup-tutupi, buka apa adanya. Itu kan arahan Presiden. Presiden sebetulnya mengharapkan untuk ini agar bisa terselesaikan, supaya citra Polri tidak babak belur,” ujar Pramono.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//