• Opini
  • Menggoda Pemilih Muda

Menggoda Pemilih Muda

Merekrut kader-kader muda dan eksis di media sosial hanya mengantarkan transformasi partai politik sampai di tataran gimik belaka.

Fikri Arigi

Pegiat Kreatif Media Digital. Bisa dihubungi melalui [email protected]

Pemilu 2024 mulai terasa dengan hadirnya poster kampanye terselubung dari tokoh partai politik. Sementara KPU Jawa Barat juga tengah menyiapkan tahapan Pemilu 2024, di Bandung, 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

9 Agustus 2023


BandungBergerak.id – “PAN, PAN, PAN, selalu terdepan,” adalah potongan syair dari materi kampanye Partai Amanat Nasional (PAN) yang belakangan sangat sering terdengar di ruang publik milik anak muda; media sosial. Strategi aktif di media sosial juga tengah digencarkan partai politik lain.

Pasalnya eksis di media sosial adalah langkah mimikri anak muda yang paling dekat dan terlihat. Hasilnya kita banyak temukan di media sosial hari ini, di mana ada politisi berjoget, melawak, menunjukkan kisah cinta, dan melakukan hal-hal remeh temeh lainnya. Agaknya hal ini berangkat dari anggapan khas generasi senior dalam memandang generasi di bawahnya; dangkal dan kosong.

Bila menutup mata pada sentimen yang dihasilkan, jingle PAN merupakan kesuksesan komunikasi politik. Konten itu berhasil menjangkau publik yang luas dengan cara organik (istilah komunikasi digital untuk interaksi yang alami, bukan buatan buzzer atau robot).

Sampai saat tulisan ini dibuat video tersebut sudah ditonton sebanyak 17,5 juta kali di TikTok. Belum lagi konten yang dibuat ulang oleh banyak akun, syair jingle itu dinyanyikan oleh anak-anak muda yang mungkin sebelumnya tidak mengenal PAN. Syairnya bahkan diubah menjadi lebih dekat dengan anak muda, yang menyinggung isu eksistensial, pekerjaan, sampai romansa. Seperti “PAN, PAN, PAN, naik gajinya kapan?” video ini diunggah oleh @ibongtalks, saat ini sudah ditonton 3,3 juta kali di Instagram.

Meski demikian ukuran keberhasilan komunikasi politik tetap berbeda dengan ukuran keberhasilan politik elektoral. Keberhasilan komunikasi politik utamanya di media – konvensional, digital, dan sosial – ukuran dihitung dengan engagement rate atau tingkat keterlibatan audiens terhadap sebuah konten. Sementara politik elektoral dihitung dengan berapa banyak suara yang diraup dalam Pemilihan Umum. Bila digambarkan dalam bisnis. entitas lain yang aktivitasnya sama-sama berhubungan erat dengan kampanye dan media, engagement rate tidak berbanding lurus dengan sales atau tingkat penjualan, meskipun hal kedua dipengaruhi oleh hal pertama.

Brand awareness atau singkatnya popularitas sebuah objek atau subjek, merupakan konsekuensi dari engagement rate. Semakin besar tingkat keterlibatan audiens pada sebuah konten promosi, maka makin besar pula popularitas sesuatu atau seseorang yang dibahas dalam konten tersebut. Sementara sales atau dalam hal ini elektabilitas, jauh lebih kompleks, karena dipengaruhi bukan hanya oleh popularitas tetapi juga faktor-faktor lainnya seperti kepentingan rasional pemilih.

Baca Juga: Menjelang Pemilu 2024, Pemilih Muda Bersuara
Anak Muda Bukan sekadar Lumbung Suara
Kesuksesan Pemilu di Kota Bandung tidak Bisa Diukur dengan Angka Partisipasi Pemilih saja

Berpihak pada Isu-isu Anak Muda

Strategi partai politik mendekati anak muda bisa dibilang wajar, mengingat di Pemilu 2024 anak muda jadi ceruk pemilih paling besar dengan persentase 52 persen. Potensi besar ini membuat partai politik fokus bertransformasi agar lebih relevan dengan anak muda. Beberapa partai bahkan mengambil langkah lebih jauh dari sekedar tampil di media sosial. Golkar sudah sejak lama melakukan regenerasi kader, pada Pilkada 2020 mereka jadi partai yang paling banyak menyodorkan kader muda berusia 25-40 tahun untuk jadi kepala daerah.

Sayangnya transformasi partai politik jadi partai anak muda tidak menjamin representasi politik anak muda. Merekrut kader-kader muda dan eksis di media sosial hanya mengantarkan transformasi partai politik sampai di tataran gimik belaka. Sedangkan ruang bagi isu-isu yang anak muda anggap penting; kesejahteraan masyarakat, lapangan pekerjaan, pemberantasan korupsi, demokrasi dan kebebasan sipil, kesehatan, dan lingkungan hidup, (CSIS, 2022), tetap minim.

Namun arah kebijakan mayoritas partai politik tidak merefleksikan semangatnya menggaet anak muda. Pada isu lingkungan hidup misalnya, dari sembilan fraksi di parlemen, semua menyetujui poin energi turunan batu bara sebagai ‘energi baru’ dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EB-ET). Padahal transisi energi mensyaratkan pengurangan ketergantungan pada energi berbasis fosil seperti batu bara dan bahan bakar minyak. Kecemasan akan lingkungan hidup yang buruk jadi konsekuensi yang wajar, mengingat anak mudalah yang akan menempati lingkungan itu bagaimanapun kondisinya nanti.

Sama halnya dengan isu lapangan pekerjaan dan kesejahteraan, Bijak Memilih melansir tujuh dari sembilan fraksi parlemen menyetujui poin ketenagakerjaan di Undang-undang Cipta Kerja. Beleid ketenagakerjaan dalam Undang-undang Cipta Kerja banyak dianggap tidak akomodatif bagi pekerja, yang mengakibatkan kecemasan akan kesejahteraan mereka. Padahal sebagian generasi Milenial dan mayoritas Gen Z punya kepentingan besar pada isu ini. Karena saat ini mereka berada di tahap menuju lulus kuliah dan dalam pencarian pekerjaan, tengah membangun karier, atau baru memulai membangun keluarga. Mereka yang cemas akan kelangsungan hidup diri dan keluarganya, tentu akan mendukung partai politik yang memiliki keberpihakan jelas pada kepentingannya. Sebaliknya kekecewaan pada partai politik atau institusi demokrasi secara umum akan menimbulkan sikap apolitis, atau bahkan frustasi pada demokrasi (Harrison, 2020).

Menumbuhkan Kepercayaan Anak Muda

Partai politik jadi institusi yang paling tidak dipercaya oleh anak muda (Indikator Politik Indonesia, 2021). Jurang tinggi ini adalah tantangan nyata yang mensyaratkan kreativitas dan keluwesan partai politik untuk mendekatkan diri pada anak muda. Terbiasa dengan hal-hal serba cepat dan instan, anak muda tidak lagi tertarik pada janji-janji politik. Mereka lebih menyukai tindakan langsung yang konkret.

Menampilkan aksi-aksi nyata partai politik sangat bisa dilakukan di era media sosial. Alih-alih menampilkan hal remeh temeh, atau wacana-wacana bermuatan ideologis yang terlalu tinggi, ada baiknya partai politik mulai menunjukkan aktivitas nyata yang bisa menumbuhkan minat anak muda. Tapi yang perlu diingat, aktivitas yang dilakukan harus tulus dan orisinal.

Membersihkan sampah sebagai aktivitas yang menunjukkan keberpihakan pada lingkungan hidup, misalnya. Tidak cukup dengan mengundang Pandawara Group, lima anak muda yang kontennya viral karena gerakan mereka membersihkan sampah. Riding the wave atau langkah pragmatis dalam memanfaatkan momentum dan sosok saja, memiliki sentimen yang tidak terlalu baik untuk anak muda. Perlu ada aksi turun langsung yang terus dilakukan secara konsisten.

Setelah itu, melampaui politik elektoral, partai politik sendiri membutuhkan regenerasi di internal untuk terus bisa eksis. Regenerasi tidak cukup dengan merekrut anak-anak muda, tapi perlu dipastikan kader muda itu bukan hanya muda secara usia, mereka wajib memperjuangkan isu-isu yang penting bagi anak muda.

Kader-kader muda juga perlu secara aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan untuk langkah partai politik ke depan. Jangan sampai anak muda hanya dijadikan objek pengumpul suara, sementara isu yang diperjuangkan tidak berubah, tetap ‘warisan’ dari orang tua dan senior-seniornya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//