• Berita
  • Kesuksesan Pemilu di Kota Bandung tidak Bisa Diukur dengan Angka Partisipasi Pemilih saja

Kesuksesan Pemilu di Kota Bandung tidak Bisa Diukur dengan Angka Partisipasi Pemilih saja

Ada hal lebih substansial dari angka parstisipasi pemilih, yaitu partisipasi publik dalam setiap pengambilan keputusan politik.

Mahasiswa berunjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di depan DPRD Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung, Rabu (29/3/2023). Unjuk rasa sebagai bentuk komunikasi politik. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana27 Juli 2023


BandungBergerak.idSetiap kali menjelang pemilu, angka partisipasi pemilih selalu menjadi acuan bagi pemerintah dalam mengukur sukses tidaknya hajat demokrasi. Ada yang alfa jika kesuksesan pemilu hanya diukut melalui angka partisipasi pemilih. Sebab angka ini bukan berarti suksesnya pendidikan politik terhadap warga.  

Target mensukseskan pemilu yang mengacu pada angka parsisipasi pemilih tidaklah salah. Namun ada hal yang lebih substansial dari itu, yakni partisipasi publik dalam setiap pengambilan keputusan politik. Warga berhak terlibat dalam urusan politik, misalnya dalam memberikan masukan terhadap regulasi yang dibikin pemerintah atau negara.

Target pencapaian partisipasi pemilih selalu menjadi isu utama dalam setiap acara edukasi politik yang digelar pemerintah, seperti pada acara yang diselenggarakan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kota Bandung di Hotel Horison, Bandung, Kamis (27/7/2023).

Pelaksana Harian Wali Kota Bandung Ema Sumarna mengatakan, kegiatan tersebut dapat menjadi salah satu daya dukung bagi Kota Bandung untuk mengulang kesuksesan penyelenggaraan Pemilu 2019.

"Saya pikir, capaian kita di Pemilu 2019 (partisipasi pemilih mencapai 87 persen) merupakan hal yang luar biasa. Kita berharap adanya pendidikan politik seperti ini dapat mempertahankan hal tersebut," kata Ema Sumarna, dikutip dalam siaran pers.

Selain menjaga tren angka partisipasi yang tinggi, Ema juga berharap pendidikan politik ini dapat memberikan edukasi kepada masyarakat agar Pemilu dan Pilkada 2024 di Kota Bandung berjalan aman serta kondusif.

"Perbedaan dalam memilih figur calon pemimpin adalah hal yang wajar. Tetapi saya ingatkan agar kita tetap menjalankan Pemilu dan Pilkada dalam suasana keakraban dan penuh harmonis," pesan Ema.

Sebagai gambaran, pada Pilwalkot Bandung 2018 mencatatkan jumlah pemilih yang mencoblos sebanyak 1.305.872 orang dari jumlah total pemilih terdaftar 1.704.341 orang. Tingkat partisipasi Pilwalkot Bandung 2018 mencapai 76,2 persen. Saat ini jumlah penduduk potensial pemilih tahun 2024 diperkirakan mencapai 1.900.000 orang.

Data KPU Kota Bandung menunjukkan jumlah pemilih yang terdaftar terus meningkat dari waktu ke waktu. Namun data juga menunjukkan naiknya jumlah pemilih, belum tentu diikuti dengan naiknya tingkat partisipasi masyarakat dalam politik secara umum. 

Cawe-cawe Warga 

Isu partisipasi politik warga selama ini belum dibicarakan secara layak dan bahkan cenderung reduktif, baik di tingkat pusat (pemilu presiden dan legislatif) maupun daerah (pilkada, pilwalkot, pilgub). Detta Rahmawan, Peneliti Pusat Studi Komunikasi Media dan Budaya Fikom Unpad menjelaskan pemerintah dan parlemen perlu membuka kanal partisipasi publik agar tidak hanya bersifat administratif dan belum substansial.

Detta Rahmawan, Peneliti Pusat Studi Komunikasi, Media dan Budaya Fikom Unpad menjelaskan dari hasil wawancara dan diskusi kelompok terpumpun terhadap 37 narasumber sepanjang 2021-2023 dari berbagai kalangan menemukan bahwa isu partisipasi belum dibicarakan secara layak, dan bahkan cenderung reduktif. Selanjutnya, ia juga menjelaskan bahwa diskusi ini didasari oleh pembukaan kanal partisipasi oleh pemerintah dan parlemen yang bersifat administratif, dan belum substansial.

Detta merekomendasikan bahwa isu publik dan partisipasi masyarakat adalah hal yang menjadi prioritas. “Keresahan masyarakat kepada proses legislasi menandai partisipasi yang belum optimal,” kata Detta, dikutip dari Webinar Diskusi Publik bertajuk “Mengajak Warga Cawe-cawe Isu Publik Menuju 2024”, Selasa (11/7/2023). 

Di samping itu, masyarakat perlu berpartisipasi dalam diskusi-diskusi publik mengenai isu-isu politik yang relevan. Dalam webinar yang sama, Bivitri Susanti, dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, mengatakan partisipasi kerap disempitkan dalam lingkup pemilu atau elektoral, di mana “partisipasi warga” dianggap setara dengan “partisipasi pemilih” dan praktik yang dianggap penting hanya semata terkait kehadiran dan keturutsertaan warga terhadap kegiatan pemilihan anggota parlemen dan presiden yang terjadi lima tahun sekali.

Padahal, partisipasi yang benar adalah ketika suara warga benar-benar dipertimbangkan pada setiap aspek kenegaraan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//