• Opini
  • Parpol: Lo Itu Gak Diajak

Parpol: Lo Itu Gak Diajak

Mereformasi partai politik lebih mendesak ketimbang membolak-balik sistem dari proporsional tertutup atau proporsional terbuka untuk perbaikan kualitas pemilu.

Fikri Arigi

Pegiat Kreatif Media Digital. Bisa dihubungi melalui [email protected]

Pemilu 2024 mulai terasa dengan hadirnya poster kampanye terselubung dari tokoh partai politik. Sementara KPU Jawa Barat juga tengah menyiapkan tahapan Pemilu 2024, di Bandung, 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

3 Juni 2023


BandungBergerak.id – Seperti salah satu meme populer di media sosial yang menggambarkan situasi anekdotal, di mana ada pihak yang berencana lalu ada pihak yang tak dilibatkan. Kondisi ini mencerminkan riuh perdebatan sistem proporsional terbuka atau proporsional tertutup yang akan diterapkan di Indonesia. Wacana yang jauh dari masyarakat, lebih nampak seperti pertempuran kepentingan partai politik yang didorong ke permukaan. Karena baik tertutup atau terbuka -setidaknya yang berlaku saat ini- keterlibatan publik di sistem demokrasi kita memang masih sangat minim.

Mahkamah Konstitusi (MK) kini tengah membahas sistem Pemilu proporsional tertutup. Berawal dari enam orang yang mengajukan gugatan terhadap Undang-Undang Pemilu tentang sistem proporsional terbuka, dan berharap MK mengembalikan ke sistem proporsional tertutup. Salah seorang dari pemohon adalah pengurus PDI Perjuangan cabang Probolinggo. Proses di MK sudah berjalan sejak November 2022, tapi baru ramai belakangan karena cuitan Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Baca Juga: Perubahan Pemilu ke Sistem Proporsional Tertutup Menutup Partisipasi Rakyat
Menanti Langkah Elite-elite Politik untuk tidak Menggunakan Politik Identitas di Pemilu 2024
Mempersenjatai Media Sosial

Yang Fana Sistem, Oligarki Abadi

Sistem proporsional tertutup pernah digunakan di Indonesia pada pelaksanaan Pemilu 1955, Pemilu selama Orde Baru, Pemilu 1999, dan 2004. Sistem ini dinilai buruk karena penunjukan anggota legislatif jadi kewenangan eksklusif bagi partai politik. Sistem ini dinilai bisa membuat kedaulatan partai ada di atas kedaulatan rakyat. Karena dipilih oleh partai, kader yang bakal menjadi anggota legislatif ditakutkan hanya akan melayani kepentingan partai, bukan rakyat -ironisnya kekhawatiran ini nyatanya masih terjadi di sistem proporsional terbuka hari ini-.

Karena alasan yang sama juga dikhawatirkan politik uang terjadi. Politik uang bisa dilakukan di ruang nirpengawasan publik, dalam domain internal partai. Dampaknya alih-alih calon legislatif dipilih karena alasan ideologis, atau kualitas, partai dapat secara leluasa memilih orang yang menyuntikkan dana lebih banyak sebagai anggota legislatif. Praktik ini melahirkan oligarki karena demokrasi dikuasai oleh segelintir elite, dan proses legislasi bisa disetir dan berujung pada produk Undang-Undang yang berpihak hanya pada kepentingan elite.

Karena pertimbangan-pertimbangan itu, proporsional terbuka akhirnya diterapkan pada Pemilu 2009 dan berlaku hingga saat ini. Mulanya sistem proporsional terbuka diberlakukan untuk menutup kekurangan dan kelemahan proporsional tertutup. Namun untuk menyebut sistem proporsional terbuka sebagai sistem yang lebih baik, hanya karena pemilih bisa melihat dan mencoblos langsung wajah para calon di surat suara, agaknya terlalu mengerdilkan arti partisipasi itu sendiri. Pada praktik Pemilu seperti yang terjadi saat ini, partisipasi pemilih dimulai dan berakhir di kotak bilik suara.

Partisipasi masyarakat dalam Pemilu tidak bisa diartikan hanya sebatas mencoblos langsung wajah-wajah para calon legislatif. Hasil survei yang dilakukan LSI Denny JA pada Pemilu 2019 lalu, hanya 25,8 persen dari 1.200 respondennya yang mengenal calon legislatif dari dapil mereka. Diperkirakan keterasingan calon legislatif dari pemilihnya adalah karena banyaknya calon legislatif instan, yang dipilih berdasarkan kepentingan pragmatis politik elektoral. Biasanya pertimbangannya adalah popularitas tokoh.

Idealnya partai politik terbuka kepada publik sejak tahap perekrutan calon legislatif. Selain sebagai sarana berkampanye, keterbukaan sejak perekrutan juga penting sebagai syarat transparansi agar publik mengenal rekam jejak mereka; bagaimana kontribusinya di masyarakat, dan alasan mengapa ia memenuhi syarat untuk dicalonkan. Bila sejak awal publik dilibatkan dalam proses penyaringan calon, minimal sosok yang muncul bukan orang dengan track record bermasalah.

Selain itu dalam sistem proporsional terbuka, proses kampanye menjadi lebih kapitalistik. Persaingan dibawa ke level personal calon, bukan lagi di tataran partai politik. Artinya calon yang memiliki akses pada modal besar bisa lebih banyak mencetak banner atau baliho, memasang iklan di sembarang media, serta datang lebih sering ke lokasi kantong-kantong suara. Politik uang bukan berkurang, hanya pindah dari mulanya masuk rekening pengurus partai, sekarang langsung ke masing-masing dompet pemilih.

Menurut Burhanuddin (2019) politik uang dalam sistem proporsional terbuka bisa memengaruhi pilihan dari 10 persen pemilih. Angka yang nampak kecil, tapi dalam sistem proporsional terbuka di mana para calon yang bersaing di level individu, 10 persen lebih dari cukup untuk menang. Karena efektivitasnya ini, menurut Burhanuddin, politik uang di sistem proporsional terbuka, dinilai justru lebih meningkat dibandingkan saat proporsional tertutup.

Besarnya ongkos Pemilu -baik kampanye, apalagi ditambah politik uang- membuat Pemilu kita rentan menjadi ajang politik transaksional. Pemilik modal bisa menggelontorkan sejumlah uang untuk mendanai calon, dengan harapan kepentingan politik atau bisnisnya bisa dilancarkan di kemudian hari. Sistem proporsional terbuka nyatanya belum berhasil jadi jalan keluar dari pusaran oligarki.

Reformasi Partai Politik

Berkaca pada dinamika yang terjadi dalam proporsional tertutup dan terbuka, agak sulit membayangkan perbaikan bisa terjadi kalau hanya sebatas membolak-balik sistem Pemilu. Harus ada perbaikan terlebih dulu dalam aturan main partai politik sebagai institusi akar demokrasi kita. Karena itu reformasi partai politik dengan merevisi Undang-Undang Partai Politik, mutlak diperlukan.

Setidaknya ada dua poin yang perlu diatur dalam revisi Undang-Undang. Pertama, transparansi proses rekrutmen calon legislatif dari partai politik. Partai cenderung tertutup dalam melakukan proses rekrutmen. Sehingga yang terjadi di sistem proporsional tertutup maupun terbuka tidak jauh berbeda. Calon legislatif tetap dipilih oleh elite partai. Sementara publik dieksklusikan dari tahap ini, dan baru dilibatkan pada saat kampanye atau malah dalam pemungutan suara. Sehingga tidak heran kalau publik sering kali asing dengan calon legislatif di dapilnya sendiri.

Kedua, transparansi dan akuntabilitas aliran dana ke partai politik. Baik di proporsional tertutup maupun terbuka, politik uang dan praktik oligarki selalu berulang terjadi. Hal ini dipengaruhi salah satunya oleh ketidak jelasan aliran dana partai politik. Saat ini ketentuan yang mengatur dana parpol tersebar di beberapa regulasi, dan tidak ada kejelasan siapa yang harus melakukan pengawasan serta audit, dan siapa yang membiayai. Diperlukan aturan yang jelas dan mewajibkan pelaporan dana partai politik secara berkala, serta sistem audit keuangan partai.

Tanpa reformasi partai politik tidak peduli baik proporsional tertutup atau terbuka, publik hanya akan terus jadi penonton pertunjukan kontestasi politik elite, sambil sesekali dikompori kalau suaranya diperlukan untuk menekan lawan politik.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//