• Berita
  • Perubahan Pemilu ke Sistem Proporsional Tertutup Menutup Partisipasi Rakyat

Perubahan Pemilu ke Sistem Proporsional Tertutup Menutup Partisipasi Rakyat

Perubahan pemilu ke dari sistem proporsional terbuka ke proporsional tertutup membuat pemilih hanya memilih gambar partai. Partisipasi rakyat menjadi berkurang.

Pemilu 2024 mulai terasa dengan hadirnya poster kampanye terselubung dari tokoh partai politik. Sementara KPU Jawa Barat juga tengah menyiapkan tahapan Pemilu 2024, di Bandung, 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau31 Mei 2023


BandungBergerak.id - Suhu politik di tataran elite bergejolak dengan mencuatnya isu pemilihan umum (Pemilu) 2024 dengan sistem proporsional tertutup. Selama ini pemilu diselenggarakan secara proporsional terbuka. Perubahan pemilu ke sistem proporsional tertutup dinilai akan mengganggu proses tahapan Pemilu 2024, menutup partisipasi rakyat, dan bahkan menyebabkan penundaan Pemilu.  

Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Muhammad Pebriansah berpendapat sistem pemilu memang memiliki plus minusnya. Namun ia menyoroti terkait keterlibatan publik atau partisipasi publik.

Dengan sistem proporsional tertutup, masyarakat tidak akan tahu siapa saja calon legislatif (caleg) bakal duduk menjadi anggota dewan. Sebab pada sistem proporsional tertutup, pemilih hanya memilih gambar partai, bukan orang.  

Muhammad Pebriansah juga menilai sistem proporsional tertutup akan lebih memperkuat partai politik yang berdampak pada semakin menguatnya oligarki dan dinasti partai politik. Ia menepis argumentasi bahwa sistem proporsional tertutup akan memperkuat sistem kaderisasi di partai politik. Alasannya, pemilih tidak akan tahu siapa saja kader yang akan mereka pilih pada pemilu sistem proporsional tertutup.

“Kalau sampai sejauh ini sebetulnya belum terlalu sepakat (dengan sistem proporsional tertutup), karena kita juga belum mengetahui dalam artian rekrutmen dari kaderisasi partainya itu bagaimana. Karenakan yang kita lihat pun juga istilahnya kita yang di luar partai melihatnya partai ini mengambil anggota partai itu asal-asalan, artis dan sebagainya. Kita kan gak tahu,” ungkapnya, kepada BandungBergerak.id, Selasa (30/5/2023).

Pemilu Proporsional Terbuka

Pengamat Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Firman Manan menjelaskan kelemahan-kelemahan sistem proporsional terbuka yang saat ini diadaptasi. Pada sistem ini, partai politik menghadapi kesulitan mendisiplinkan kadernya.

Selain itu, dalam konteks kampanye memang lebih berpusat kepada calon anggota legislatif atau kader partai dibandingkan partai polisik. Dampak negatif sistem proporsional terbuka membuat identifikasi pemilih terhadap partai menjadi rendah.

Persoalan lainnya pada sistem proporsional terbuka adalah politik uang. Calon anggoata legislatif melakukan transaksi politik dengan warga karena langsung berhadapan dengan pemilih.

Pemilu Proporsional Tertutup

Sistem proporsional tertutup membuat pemilih hanya memilih partai, bukan orang atau kader partai. Kekurangan sistem ini, kata Firman, warga tidak memiliki kesempatan untuk lebih dalam mengetahui dan memilih langsung kandidat atau figur calon anggota legislatif karena sudah ditentukan oleh nomor urut dari partai.

Persoalan politik uang justru akan tetap ada. Hanya saja caranya bergeser dari calon legislatif ke pemilih menjadi dari calon anggota legislatif ke elite partai. Hal ini berkaitan dengan penentuan nomor urut.

“Nah, kan itu menyangkut penempatan nomor urut, misalnya calon anggota legislatif yang ingin mendapatkan nomor urut di atas nomor satu misalnya itu bisa saja kan melakukan transaksi dengan elite-elite partai,” ungkapnya kepada Bandungbergerak.id.

Di sisi lain, kekuatan partai politik menjadi lebih besar dalam sistem pemilu proporsional tertutup. Mereka bisa menentukan calon-calon anggota legislatif. Kelebihan ini bisa digunakan untuk memenuhi keterwakilan perempuan di legislatif yang selama ini kurang. Partai politik menjadi bisa memprioritaskan calon perempuan.

“Itu kan akan lebih mempercepat keterwakilan perempuan atau kelompok-kelompok marginal lain. Karena tadi kekuasan untuk menetukan nomor urut itu ada di partai,” terangnya.

Mengganggu Tahapan Pemilu

Mengubah sistem pemilu merupakan sesuatu yang lazim dilakukan untuk mencari mana yang paling relevan. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kelemahan. Akan tetapi, perlu dilakukan diskusi dan analisis secara mendalam apakah kelemahan-kelemahan tersebut memang betul terkait dengan sistem pemilihan sehingga sistem pemilihan harus dirubah.

Selain itu, perubahan sistem pemilu tidak tepat di saat tahapan pemilu sudah berjalan. Firman menyebutkan bahwa mengubah sistem pemilu ke prorposional tertutup saat pemilu sudah mulai berjalan akan memberi dampak terganggunya beberapa hal.

“Apalagi dengan seleksi di partai kita yang belum demokratis, akuntabel, transparan. Sehingga memang sebetulnya perlu ada kajian yang mendalam. Kalau kemudian mau mengubah sistem pemilu, itu memang perlu kajian analisis yang mendalam. Dan itu idealnya dilakukan pascapemilu selesai,” katanya.

Ia menyarankan, mengubah sistem pemilu sebaiknya dilakukan setelah pelaksanaan pemilu, bukan di saat tahapan pemilu sudah berlangsung. Mengubah sistem pemilu di saat tahapan pemilu sedang berlangsung akan membuat pelaksanaan pemilu bisa terganggu. Diketahui, tahapan pemilu 2024 saat ini sudah masuk tahap pendaftaran bakal calon anggota legislatif ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Artinya secara internal calon anggota legislatif itu sudah siap untuk berkontestasi dengan sistem proporsional terbuka,” ungkapnya.

Perubahan sistem pemilu ke proporsional tertutup juga merugikan calon legislatif yang sudah mendaftar saat ini. Mereka yang berada di nomor urut tiga ke bawah kemungkinan tidak mau berkampanye atau menarik diri dari kontestasi karena kesempatan terpilih langsung oleh pemilih atau masyarakat sudah tidak ada. Berbeda dengan proporsional terbuka di mana semua calon anggota legislatif punya kesempatan terpilih.

Banyak Perubahan dan Membingungkan Calon Pemilih

Perubahan sistem pemilu di saat tahapan pemilu sudah berjalan akan memerlukan banyak dampak, termasuk regulasi dari tingkat pusat hingga daerah. Kemudian diperlukan penyesuaian-penyesuaian persiapan tahapan oleh penyelenggara, yakni KPU.

Lalu yang tak kalah penting kesiapan warga atau pemilih. Firman mengatakan walaupun sistem tertutup dianggap seakan-akan lebih mudah tinggal memilih partai saja, tetapi selama ini warga sudah teredukasi bahwa pola pemilihannya memilih calon langsung dengan sistem proporsional terbuka.

“Kalau tiba-tiba di tengah-tengah itu berubah itu bisa menimbulkan persoalan di tingkat akar rumput,” ungkapnya.

Baca Juga: Tambal Sulam Aspal Jalan Kota Bandung
Kekecewaan pada Pejabat Membuat Pemilu 2024 di Kota Bandung Dibayangi Golput
Menjelang Pemilu 2024, Pemilih Muda Bersuara

Penundaan Pemilu

Firman tidak melihat adanya urgensi saat ini untuk mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka ke sistem proporsional tertutup. Perubahan sistem saat ini justru lebih banyak mudorotnya daripada manfaatnya.

“Kekhawatirannya sebetulnya kekhawatiran terbesar walaupun ini asumsi tapi kalau kemudian ekstrem bahkan ada penundaan. Dan itu yang kita juga hindari sebetulnya,” katanya.

Digugat oleh Warga

Perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup berawal dari gugatan warga terhadap UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur sistem proporsional terbuka Mahkamah Konstitusi. Di antara para penggugat ada kader dari PDI Perjuangan dan bakal calon legislatif.

Mereka berdalih parpol memiliki fungsi merekrut calon anggota legislatif yang memenuhi syarat dan berkualitas. Oleh sebab itu, parpol berwenang menentukan caleg yang akan duduk di lembaga legislatif.

Sistem proporsional tertutup disebutkan memiliki karakteristik pada konsep kedaulatan parpol. Parpol memiliki kedaulatan menentukan kadernya yang akan mendapat kursi memiliki kualitas dan kemampuan sebagai wakil rakyat.

Namun, Firman Manan menilai alasan gugatan tersebut justru menunjukkan kegagalan partai politik untuk melakukan proses rekrutmen dan kaderisasi. Jika yang terpilih oleh rakyat calon yang kurang berkualitas, itu menunjukan kelemahan partai politik yang memilih calon anggota legislatif.

Pemilih hanya dalam posisi memilih. Jika parpol telah melakukan kaderisasi yang baik, partai politik percaya diri tidak perlu merekrut tiba-tiba menjelang pemilu, seperti merekrut selebritis dengan tujuan mendapatkan suara.

“Karena mereka sudah percaya diri mereka punya kader yang baik, berkualitas siap berkompetisi ya selesai alasan itu. Jadi alasan itu justru menunjukakan ketidak berhasilan partai politik untuk melakukan kaderisasi,” katanya.

Isu perubahan sistem pemilu itu semakin mencuat setelah pakar hukum tata negara Denny Indrayana mencuit di twitternya mengenai hasil gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Dalam cuitnya ia menyatakan Mahkamah Konstitusi akan memutuskan pemilu dengan sistem proporsional tertutup.

“Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja,” cuit Denny Indrayana.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//