Kekecewaan pada Pejabat Membuat Pemilu 2024 di Kota Bandung Dibayangi Golput
Pemkot Bandung menargetkan tingkat partisipasi yang tinggi pada Pilwalkot maupun Pemilu 2024. Target ini dibayangi golput.
Penulis Iman Herdiana25 Mei 2023
BandungBergerak.id - Kekecewaan pada kinerja maupun perilaku pejabat di tingkat pusat maupun daerah turut menjadi faktor pada tinggi rendahnya partisipasi pemilihan umum (Pemilu). Menjelang Pemilu 2024 ini, angka partisipasi masyarakat menjadi taruhan. Secara historis, angka golput cenderung naik.
Hal serupa terjadi di Kota Bandung yang menargetkan tingkat partisipasi yang tinggi pada Pemilu 2024. Namun warga atau calon pemilih menghadapi fakta yang mengecewakan. Seperti diketahui, Pemkot Bandung saat ini sedang disorot Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah Wali Kota Yana Mulyana ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus tersebut sedikit banyak akan mempengaruhi penilaian calon pemilih dalam menggunakan hak pilihnya. Pilwalkot Bandung sendiri akan diselenggarakan secara serentak bersama Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif, dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada baik Pilgub, Pilbup, maupun Pilwalkot).
Persiapan Pemilu di Kota Bandung
Kota Bandung kini bersiap menyongsong Pemilu 2024. KPU Kota Bandung mengklaim siap menyelenggarakan hajat demokrasi ini dengan dukungan penuh dari Pemkot Bandung, mulai dari dukungan anggaran hingga sosialisasi.
Ketua KPU Kota Bandung Suharti mengatakan, sosialisasi tersebut telah dilakukan sampai tingkat RT. “KPU selalu didukung data dari Disdukcapil Kota Bandung sehingga memudahkan kita. Alhamdulillah proses tersebut memudahkan kami dalam pemuktahiran data pemilih kota Bandung. Sehingga semakin akurat," kata Suharti, dikutip dari siaran pers.
Di Kota Bandung terdapat 7.438 Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan lebih dari 1,8 juta pemilih. Untuk itu ia meminta seluruh stakeholder untuk bersama dapat menyukseskan Pemilu 2024.
Baca Juga: OTT KPK Yana Mulyana Menjadi Bukti Mentalitas Korup di Pemkot Bandung masih Ada
Anak Muda Bukan sekadar Lumbung Suara
Anak Muda Diharapkan Aktif Berkomunikasi Politik di Media Sosial
Dibayangi Golput
Meski demikian, pemilu di Kota Bandung maupun daerah lain di Indonesia berada dalam baying-bayang golput atau orang-orang yang memilih untuk tidak memilih. Sikap golput mereka lakukan dengan berbagai alasan, salah satunya kecewa terhadap kinerja maupun prilaki pejabat politik.
Pengaruh kekecewaan calon pemilih yang kemudian melahirkan golongan putih dikaji Haris Alfarisi dalam publikasi ilmiah Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta (2021).
Haris Alfarisi menejalaskan soal jenis golongan putih politis. Golput jenis ini disebabkan karena mereka merasa tidak memiliki pilihan dari kandidat, tidak mempercayai bahwa pemilu yang diselenggarakan akan berdampak dan memberi perubahan pada hidup mereka. Haris menyebut beberapa hasil penelitian dengan topik golput.
“Rasa enggan yang timbul pada masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum baik itu pemilihan presiden, kepala daerah, maupun legislatif, dikarenakan rasa kecewanya terhadap sistem politik yang ada dan pemilu yang dirasa tidak banyak memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan mereka,” tulis Haris, diakses Kamis (25/5/2023).
Haris menuturkan, fenomena golput merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Golongan putih merupakan sebuah sebutan untuk orang yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya di dalam pemilu atau juga didefinisikan untuk sekelompok orang yang tidak memilih partai manapun yang berpartisipasi dalam pemilu.
“Akan tetapi orang-orang yang termasuk golongan ini bukanlah orang-orang yang pasif dan hanya diam ketika masyarakat kecil dicekik oleh permasalahan politik yang ada. Golongan putih lahir dari pemikiran fundamental yang rasional dengan mempertimbangkan kenyataan dengan janji-janji politik yang dikampanyekan oleh kandidat-kandidat calon. Golongan putih menyimpulkan bahwa keadaan yang ada di pemerintahan dan masalah politik yang ada, tidak akan memiliki suatu perpecahan masalah,” demikian tulis Haris.
Dalam sejarah perjalanan sistem demokrasi di Indonesia dalam empat periode pelaksanaan pemilu yang dimulai sejak tahun 1999, terjadi penurunan partisipasi politik di setiap penyelenggaraannya. Berdasarkan data KPU, penyelenggaraan pemilu yang digelar pada tahun 1999, partisipasi pemilih berjumlah sebesar 92 persen, kemudian pada pemilu tahun 2004 sebesar 84 persen, pemilu tahun 2009 sebesar 71 persen, pemilu tahun 2014 sebesar 70 persen, akan tetapi pada pemilu tahun 2019 persentase partisipasi pemilih naik menjadi 81 persen.
Haris menyatakan, faktor-faktor penyebab penurunan tingkat partipasi politik antara lain yaitu ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja politik yang tidak memberikan pengaruh yang baik bagi kehidupan mereka, jenuh dengan penyelenggaraan pemilu yang memiliki frekuensi tinggi, terdapat kesalahan yang bersifat administratif yang dilakukan oleh panitia penyelenggara pemilu, dan yang paling utama adalah menurunnya kesadaran masyarakat akan berpolitik, dalam hal ini yaitu berpartisipasi dalam pemilu.