Masyarakat Sipil di Bandung: Seni, Literasi, dan Arsip Melawan Ruang Gelap KUHAP
Pembahasan KUHAP memiliki celah penyalahgunaan hukum. Perlindungan terhadap hak asasi manusia menemui jalan terjal.
Penulis Iklima Syaira 22 Oktober 2025
BandungBergerak - Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) masih berlangsung dalam ketidakpastian. Di luar gedung DPR RI, berbagai elemen masyarakat terus menyuarakan penolakan terhadap pasal-pasal bermasalah dalam RKUHAP yang dinilai berpotensi melemahkan perlindungan hukum terhadap warga sipil.
Di diskusi publik bertajuk “Gugat RKUHAP: Ragam Kampanye dalam Membumikan Isu” yang digelar di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Jumat, 3 Oktober 2025, sejumlah komunitas menyampaikan kekhawatiran mereka melalui beragam bentuk kampanye, mulai dari seni pertunjukan hingga literasi publik. Diskusi tersebut juga menghadirkan pandangan kritis dari akademisi dan pegiat HAM.
Yunita, akademisi Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), menyoroti persoalan utama dalam RKUHAP, yakni pada tahap “penyelidikan”. Menurutnya, dalam rancangan terbaru, penyelidikan tidak lagi satu kesatuan dengan penyidikan. Padahal, secara prinsip, penyelidikan adalah proses awal untuk mencari tahu apakah suatu peristiwa merupakan tindak pidana, dan seharusnya berlanjut ke penyidikan jika terdapat cukup bukti.
Namun, dalam versi RKUHAP saat ini, kasus yang dilaporkan dengan bukti kuat tetap bisa berhenti di tahap penyelidikan karena belum masuk dalam pantauan kejaksaan. Akibatnya, penyelidikan menjadi ruang mandiri yang memberi kewenangan besar pada polisi, termasuk untuk melakukan penangkapan, bahkan ketika belum jelas apakah peristiwa tersebut tergolong tindak pidana atau tidak.
“Sekarang polisi dapat kewenangan dalam penyelidikan yang notabenenya menangkap. Padahal dalam penyelidikan belum tahu itu tindakan pidana atau bukan,” kata Yunita.
Salah satu pasal yang disorotnya adalah Pasal 90 ayat (2) yang berbunyi: “Penangkapan dilakukan paling lama 1 hari, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Dalam hal tertentu, penangkapan dapat dilakukan lebih dari 1 hari.” Frasa seperti “dalam hal tertentu” dinilai membuka ruang tafsir yang luas, tanpa definisi yang jelas.
“(Frasa “dalam hal tertentu”) ini siapa yang menafsirkannya? Kan nggak ada,” ujarnya.
Yunita menegaskan, ketidakjelasan seperti itu bisa dimanfaatkan oleh aparat demi kepentingan tertentu.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa perlindungan terhadap kritik seharusnya dijamin dalam hukum acara pidana, bukan justru diserahkan pada tafsir penyidik.
Dalam konteks historis, Yunita menyinggung warisan ketimpangan hukum pidana sejak masa kolonial, di mana hukum acara dibedakan untuk masyarakat Eropa dan pribumi. Ia juga menekankan pentingnya pengakuan terhadap alasan penghapus pidana yang bersifat sosial dan tidak tertulis, seperti dalam kasus demonstrasi damai atau kompetisi olahraga yang disepakati masyarakat.
“Kalau kompetisi di ring tinju apakah itu pidana? Bukan karena masyarakat tidak menganggap kepidanaan,” katanya.
Menurutnya, tindakan publik yang dilakukan demi kepentingan bersama tidak seharusnya dikriminalisasi.
“Kalau kawan-kawan melakukan sesuatu yang memenuhi kebutuhan publik, maka itu bukan tindakan pidana,” tegasnya.
Begitu pula dengan aksi demonstrasi yang dilakukan masyarakat dalam rangka menyampaikan pendapat di muka umum.
“Kalau demo itu tindakan pidana bukan? Ya bukan lah karena kan di undang-undang juga ada perlindungan massa aksi juga,” jelasnya.
Zaky Yamani dari Amnesty International Indonesia juga menyampaikan pandangan senada. Menurutnya, RKUHAP merupakan ancaman serius terhadap hak asasi manusia di Indonesia. Amnesty, sebagai gerakan yang hidup dari kontribusi anggotanya, menaruh perhatian besar terhadap celah-celah pelanggaran dalam hukum acara pidana.
“Yang kita perjuangkan itu hak asasi manusia secara utuh. Pasti itu akan berkaitan dengan tema hari ini RUU KUHAP karena punya ancaman yang paling besar dalam hak asasi manusia,” ujar Zaky.
Ia mengkritik praktik-praktik aparat yang melanggar hukum namun dianggap biasa, seperti penangkapan tanpa prosedur yang jelas atau oleh aparat tak berseragam.
“Saya bisa bilang ini kategorinya penculikan kalau tidak pakai seragam,” katanya.
Menurut Amnesty, lemahnya mekanisme pertanggungjawaban aparat dan normalisasi penyimpangan hukum akan makin diperparah jika RKUHAP disahkan dalam bentuknya sekarang.

Kritik terhadap KUHAP dari Teater Arus Laras
Teater Arus Laras memilih jalur seni untuk mengkritisi KUHAP. Bersama Raws Syndicate dan Kembang Kata, mereka mengadakan lokakarya membahas tiga versi KUHAP: versi tahun 1982, versi pemerintah, dan versi Koalisi Masyarakat Sipil.
“Kalau aku publik, mungkin aku akan malas, acuh, dan bingung. Padahal harusnya kita aware dengan isu ini,” ujar Naufal dari Teater Arus Laras.
Dengan pendekatan alegoris dan performatif, mereka menyusun pertunjukan yang semula direncanakan dalam bentuk teater keliling menggunakan bus, menyusuri situs-situs institusi penegak hukum. Namun karena keterbatasan logistik, mereka mengubah konsepnya menjadi pertunjukan imajinatif di lorong kampung Dago Elos yang disulap menjadi bus lengkap dengan sopir, kenek, dan pengamen jalanan.
Mereka mengajak penonton “berwisata” ke lokasi-lokasi yang memiliki jejak represi hukum, seperti Monumen Perjuangan, lokasi penangkapan massa aksi May Day 2019, Pengadilan Hubungan Industrial, hingga Sukahaji.
“Kita gak nyoba ngasih solusi, tapi refleksikan aja,” kata Naufal.
Pertunjukan itu juga memotret sejarah represi hukum dari era Orde Baru, masa Reformasi, hingga masa kini. Salah satu tokoh bernama Falus menyuarakan narasi politik kekuasaan seperti “Anthek-Anthèk Asing” dan “Hidup Jokowi”, menambah lapisan kritik sosial dan politik dalam karya mereka.

Kritik terhadap KUHAP dari Komunitas Kembang Kata
Sementara Teater Arus Laras bergerak lewat panggung, Komunitas Kembang Kata menyusun perlawanan lewat literasi. Klub buku ini percaya bahwa literasi adalah tindakan politis, dan isu seberat RKUHAP bisa dikupas dengan pendekatan yang santai dan akrab.
“Kami percaya bahwa literasi itu politis,” ujar Reza, salah satu anggota.
Melalui program Piknik Cerita Literasi, mereka mengajak publik untuk membaca, menulis, dan berdiskusi di ruang terbuka. Mereka menyisipkan materi hukum dalam diskusi bertema umum, agar isu berat seperti RKUHAP bisa dikemas dengan ringan. Salah satu alat bantu yang mereka gunakan adalah zine, majalah mini berisi materi hukum yang sudah disederhanakan.
“Takutnya dibaca terlalu berat, akhirnya dibuat lebih ringan dengan bahasa bayi,” jelas Reza.
Proses diskusi juga selalu diakhiri dengan refleksi, agar peserta tak hanya memahami substansi hukum, tapi juga melihat dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.
Baca Juga: Membedah Pasal-pasal Bermasalah RKUHAP yang Dibahas secara Ugal-ugalan
Mempertanyakan Unsur Keberpihakan pada Korban Kekerasan Seksual dalam Revisi KUHAP
Kritik terhadap KUHAP dari Raws Syndicate
Raws Syndicate memilih media visual sebagai saluran ekspresinya. Dalam pameran bertajuk Echoes of Resistance, mereka menampilkan tujuh karya foto yang merekam bentuk-bentuk perlawanan terhadap represi hukum.
“Jadi ada tujuh karya dari peserta pameran dengan makna yang memiliki satu kesamaan yaitu mengingat perlawanan dari KUHAP,” ujar Cacuy dari Raws Syndicate.
Bakti, salah satu kurator, menjelaskan bahwa pameran ini merupakan bentuk pembacaan ulang terhadap praktik perlawanan, khususnya dalam konteks arus media sosial yang serbacepat dan cenderung melupakan.
“Kalau kata teori psikologi efek, kalau ada penyimpangan bisa lebih lama teringat dalam ingatan,” ujarnya.
Menurutnya, karya-karya ini bukan hanya dokumentasi, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap pelupa kolektif masyarakat.
“Yah ini barangkali karena ingatan datang dengan samar dan melompat-lompat; sehingga manusia belajar untuk mencatat, mengikat waktu, dan menjaga napasnya agar tetap hidup,” tutupnya.
Kritik terhadap RKUHAP tidak hanya datang dari ruang akademik atau lembaga hukum, tetapi juga tumbuh dalam ekosistem seni, literasi, dan arsip. Ketiga komunitas, Teater Arus Laras, Kembang Kata, dan Raws Syndicate, menunjukkan bahwa perlawanan dapat berbentuk refleksi kolektif, narasi alternatif, dan pengingat bahwa hukum seharusnya melindungi, bukan menindas.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB