• Liputan Khusus
  • Membedah Pasal-pasal Bermasalah RKUHAP yang Dibahas secara Ugal-ugalan

Membedah Pasal-pasal Bermasalah RKUHAP yang Dibahas secara Ugal-ugalan

Revisi KUHAP awalnya memiliki tujuan mulia. Saat pembahasan justru banyak pasal yang merugikan masyarakat sipil dan penegakan hak asasi manusia.

Seorang mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia Jawa Barat saat bakar ban dalam aksi tolak revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di depan DPRD Provinsi Jawa Barat di Bandung, 30 Juli 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam7 Agustus 2025


BandungBergerak - Peringatan Hari Buruh (May Day) 1 Mei 2025 di Kota Bandung berujung ke pengadilan. Empat orang peserta aksi, sebagiannya masih berstatus mahasiswa, ditangkap polisi lalu diseret ke meja hijau dengan dakwaan pasal berlapis. Prosesnya masih bergulir.

Para terdakwa, FE, AR, TZH, dan BAM, menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Bandung pada Rabu dan Kamis, 23 dan 24 Juli 2025, didampingi oleh keluarga dan kuasa hukum. Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum menjerat para terdakwa dengan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 170 KUHP tentang kekerasan bersama di muka umum, serta Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang, semuanya dikaitkan dengan Pasal 55 Ayat 1 KUHP.

Jaksa menghadirkan sejumlah barang bukti, termasuk botol berisi bensin dan mobil polisi yang rusak dan terbakar. Barang-barang tersebut dianggap sebagai bukti keterlibatan para terdakwa dalam insiden kekerasan saat demonstrasi.

Salah satu kuasa hukum dari LBH Bandung Andi Daffa Patiroi mempertanyakan penggunaan Pasal 160 KUHP terhadap kliennya. Ia menilai pasal tersebut tidak relevan dalam konteks kasus ini. Menurutnya, pasal penghasutan lazimnya diterapkan kepada pihak yang secara aktif menganjurkan orang lain untuk melakukan tindak pidana. Ia tidak menemukan adanya aktor intelektual atau pendorong utama yang secara jelas mendorong terjadinya perusakan.

“Menurut saya, (penggunaan pasal penghasutan) tidak ada kaitannya langsung,” kata Daffa, Kamis, 24 Juli 2025.

Daffa menyebut, penerapan sejumlah pasal dalam perkara ini menimbulkan pertanyaan tentang arah baru penegakan hukum terhadap peserta aksi unjuk rasa. Proses hukum seperti ini dapat menjadi preseden bagi penanganan demonstrasi serupa di masa mendatang.

Mahasiswa berhadapan dengan polisi setelah gerbang jebol dalam aksi unjuk rasa menentang RUU KPK di Gedung DPRD Jawa Barat di Bandung, 24 September 2019. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Mahasiswa berhadapan dengan polisi setelah gerbang jebol dalam aksi unjuk rasa menentang RUU KPK di Gedung DPRD Jawa Barat di Bandung, 24 September 2019. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Ugal-ugalan

Kekhawatiran masyarakat sipil terhadap penanganan para demonstran ataupun pihak-pihak yang menyalurkan ekspresi mereka, semakin menguat dalam konteks  pembahasan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang gencar diprotes oleh Koalisi Masyarakat Sipil. Para aktivis menilai pembahasan RKUHAP terburu-buru, bahkan ugal-ugalan.

Sejak awal, Koalisi memang mendorong pembaruan KUHAP agar sistem hukum pidana melindungi rakyat dan menegakkan HAM. KUHAP yang ada saat ini adalah warisan kolonial Belanda yang sudah usang.

Namun, harapan memiliki KUHAP baru yang menjunjung hak asasi manusia (HAM) terancam pupus. Pembahasan Daftar Isian Masalah (DIM) RKUHAP sebanyak 1.676 poin hanya berlangsung kilat dua hari, 10–11 Juli 2025. RUU KUHAP ini diketahui termasuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 untuk melengkapi UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP yang akan berlaku mulai 2 Januari 2026.

Koalisi mencatat banyak pasal dalam RKUHAP yang berpotensi melanggengkan penyiksaan, mengurangi kontrol yudisial, dan memperlemah perlindungan hak tersangka serta korban. Salah satu sorotan adalah masa penangkapan (Pasal 90). Masa penangkapan yang terlalu panjang, seperti ditemui dalam kasus narkotika, membuka peluang penyiksaan hingga kematian. Koalisi menegaskan perlunya membatasi masa penangkapan maksimal 48 jam sesuai standar HAM internasional.

Koalisi juga menyoroti penghapusan aturan sanksi bagi penetapan tersangka dengan kekerasan (Pasal 85 ayat (6)). Menurut Koalisi, ketentuan ini penting untuk mencegah praktik kekerasan oleh aparat. Selain itu, dihapusnya izin penahanan oleh pengadilan (Pasal 93) juga memicu kekhawatiran. Tanpa kontrol pengadilan, tidak ada jaminan perlindungan sejak awal penahanan.

Heri Pramono, Direktur LBH Bandung yang tergabung dalam Koalisi bersama YLBHI dan kantor-kantor LBH di Indonesia, menekankan dampak pasal penangkapan dan penahanan.

"Orang itu dapat dibilang ditahan tuh ya itu harus ada kejelasan. Penangkapan tuh dilakukan harus dengan pada kondisi apa sih? Makanya kalau dalam tindak pidana tuh kan orang itu telah melakukan tindak pidana dan bisa dibuktikan kebenarannya itu," kata Heri Pramono, Rabu, 16 Juli 2025.

Heri secara khusus menyoroti Pasal 87 dan 90 ayat (2) yang membolehkan penangkapan sampai 7×24 jam. Heri khawatir pasal ini membuka ruang penangkapan sewenang-wenang, salah tangkap, teror, penyadapan, hingga penguntitan.

"Ini kan durasinya sangat panjang. Itu tuh menjadi celah-celah di mana kepolisian bisa mencari kesalahan-kesalahan yang lain justru. Bukan fokus kepada substansi yang dipersangkakan," ujarnya.

Yunita, dosen Hukum Pidana Universitas Katolik Parahyangan, juga menyoroti Pasal 22 ayat (2) yang memungkinkan penyidik memanggil atau mendatangi seseorang tanpa status jelas. “Nah, ini kalau bisa memanggil atau mendatangi seseorang ini takutnya bisa jadi ancaman,” katanya.

Yunita pun mengkritik Pasal 16 ayat (1) poin f tentang "pembelian terselubung" yang membolehkan metode penjebakan. Dia menilai cara ini mendorong orang melakukan kejahatan yang tidak akan dilakukan.

“Ini bermasalahnya adalah dia tidak melakukan tindak pidana, tapi penyidik atau penyelidik itu bisa mendorong seseorang untuk melakukan tindak pidana,” katanya.

Yunita menegaskan perumusan KUHAP memerlukan partisipasi publik yang bermakna. Bukan dikerjakan secara buru-buru hanya untuk menyesuaikan dengan KUHP baru yang akan berlaku mulai awal 2026.

“Pemerintah jangan merasa dia paling tahu semua. Dia harus tanya rakyat,” ujarnya.

Polisi melumpuhkan pengunjuk rasa yang tertangkap saat aksi May Day yang berakhir rusuh di Jalan Singaperbangsa, Bandung, 1 Mei 2019. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Polisi melumpuhkan pengunjuk rasa yang tertangkap saat aksi May Day yang berakhir rusuh di Jalan Singaperbangsa, Bandung, 1 Mei 2019. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penegakan Hukum Rawan Disalahgunakan

Pasal pengakuan bersalah di tingkat penyidikan (Pasal 22 ayat (4) dan (5) serta Pasal 7 ayat (1) huruf m) juga disorot karena rentan disalahgunakan tanpa kontrol memadai. Penggeledahan dan pemblokiran tanpa izin pengadilan (Pasal 106 ayat (5) dan Pasal 132A ayat (5)) dinilai berbahaya karena bergantung pada penilaian subjektif penyidik. Koalisi juga mengkritik teknik investigasi khusus (Pasal 16 ayat (1) huruf f dan g) yang bisa diterapkan sejak penyelidikan tanpa izin pengadilan.

Pengaturan tentang “Restorative Justice (RJ) di tahap penyelidikan” (Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 78 ayat (3)) juga jadi persoalan. Menurut Koalisi, pada tahap ini belum pasti apakah peristiwa yang diselidiki adalah tindak pidana, termasuk siapa pelaku dan korbannya. Hal ini dapat memicu praktik manipulatif dan koruptif dalam menentukan suatu perkara layak RJ atau tidak.

Dalam pembelaan, meski advokat bisa mengakses berkas (Pasal 64 ayat (2) dan (6)), Koalisi menilai masih perlu aturan teknis di setiap tahap proses hukum. Penghapusan hak atas bantuan hukum (Pasal 134 huruf c) juga dianggap mempersempit akses keadilan.

Heri Pramono menyoroti Pasal 145 ayat (1) tentang hak memilih penasihat hukum yang dihapus. Menurutnya, penunjukan kuasa hukum oleh penyidik berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

"Sudah jelas pasti ada kepentingan di situ," tuturnya. "Seharusnya orang itu mempunyai hak atas bantuan hukum yang tidak ada batasannya."

Praperadilan juga dibatasi (Pasal 149 ayat (1) huruf a), padahal mekanisme pengujian upaya paksa tetap diperlukan.

Lebih lanjut, Koalisi menyoroti belum adanya pasal yang mengatur secara operasional pemenuhan hak-hak tersangka atau terdakwa, saksi, korban, perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lainnya. Tanpa ketentuan pelaksana, tidak ada jaminan hak-hak tersebut akan diterapkan secara konsisten di seluruh tahapan proses peradilan pidana.

Di ranah penyidikan, Koalisi menyoroti peran TNI yang diperluas dengan menjadi penyidik tindak pidana umum (pasal 7 (5), 87 (4), 92 (4)). Meski kewenangan ini terbatas hanya untuk tindak pidana tertentu, bukan tindak pidana umum, frasa "penyidik tertentu" masih menimbulkan pertanyaan akan ruang lingkup kewenangan TNI dalam menangani tindak pidana umum.

Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Menggalang Petisi Penolakan Revisi KUHAP yang Disusun Ugal-ugalan
BEM SI Jabar Turun ke Jalan, Menolak Pengesahan RKUHAP

Polisi menangkap sejumlah orang muda yang terlibat aksi unjuk rasa menentang PPKM darurat di Bandung, 21 Juli 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Polisi menangkap sejumlah orang muda yang terlibat aksi unjuk rasa menentang PPKM darurat di Bandung, 21 Juli 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Data Pelanggaran

Bahkan sebelum diberlakukan KUHAP dan KUHP baru, pelanggaran terhadap hak warga negara kerap terjadi. Amnesty International Indonesia mencatat sepanjang 2024 ada 40 kasus penyiksaan oleh aparat, dengan 59 korban. Pelanggaran juga terjadi dalam unjuk rasa. Contohnya, 579 orang menjadi korban pada Peringatan Darurat, Agustus 2024. Amnesty juga mencatat 123 kasus serangan terhadap 288 pembela HAM, termasuk jurnalis. 

Di sepanjang 2024, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Iqbal Tawakal Lazuardi, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, menyoroti Pasal 253 ayat (3) RKUHAP versi Pemerintah dan DPR yang membatasi liputan langsung persidangan. Ruang gerak jurnalis untuk mendapatkan informasi dibatasi. 

Iqbal juga mengkritik Pasal 124 tentang penyadapan yang bisa dilakukan atas dasar subjektivitas aparat. Rancangan KUHAP baru versi DPR dan Pemerintah memang mewajibkan izin ketua pengadilan untuk penyadapan, tapi dalam situasi "mendesak", penyidik bisa langsung menyadap. Iqbal khawatir terjadi  penyalahgunaan penyadapan dengan sasaran individu atau kelompok yang kritis. Menurutnya, pembatasan kebebasan sipil akan berdampak pada kebebasan pers, dan begitu juga sebaliknya.

"Dengan adanya pasal ini mungkin bisa menjadi legitimasi kembali (tentang) bagaimana negara mengontrol masyarakat melalui penyadapan," ujarnya, Selasa, 15 Juli 2025.

Sementara itu, SAFEnet mencatat pelanggaran hak digital melonjak pada 2025, terutama saat berlngsung aksi penolakan revisi UU TNI. Ada 137 kasus serangan digital ke para aktivis yang didokumentasikan. Angka ini meningkat dua kali lipat dibandingkan periode yang sama pada 2024. 

Heri Pramono, Direktur LBH Bandung, mengingatkan bahwa KUHAP baru seharusnya mengatur tindakan aparat agar tidak sewenang-wenang. Namun alih-alih memperkuat perlindungan HAM, yang terjadi, rancangan versi DPR dan Pemerintah justru dikhawatirkan  bakal dipakai negara untuk merampas hak warga.

“Saya enggak kebayang orang-orang yang di luar sana ketika berhadapan dengan hukum, ada jaminan haknya atau tidak," kata Heri.

Menanggapi gelombang kritik dan penolakan, Pemerintah dan DPR sudah berulang kali menyampaikan pernyataan. Dikutip dari Tempo, pada Kamis, 10 Juli 2025 lalu Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej mengklaim bahwa rancangan ini telah mengakomodasi kepentingan masyarakat. Berbagai pemangku kepentingan, termasuk koalisi masyarakat sipil, sudah berulang kali diajak diskusi yang kemudian hasilnya dijadikan pertimbangan dalam penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RKUHAP. Hal senada disampaikan Ketua Komisi Hukum DPR RI Habiburokhman.

Polisi menyisir Jalan Dipati Ukur, Bandung, setelah demo May Day ricuh, 1 Mei 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Polisi menyisir Jalan Dipati Ukur, Bandung, setelah demo May Day ricuh, 1 Mei 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Dari Hukum Kolonial ke KUHAP

Lahirnya wacana revisi KUHAP saat ini dilatarbelakangi kebutuhan aturan hukum yang relevan dengan kondisi saat ini. Gina Raudhatul Jannah dalam jurnal bertajuk ‘Sejarah Hukum Acara Pidana, Alur Beracara, dan Asas-asas falam Hukum Acara Pidana’ menyebut, mulanya RKUHAP Indonesia merupakan hukum warisan Belanda yang berapatok pada hukum Eropa dan hukum adat. Setelah kemerdekaan, proses penyusunan KUHAP dilakukan antara tahun 1965-1981. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disahkan  dan mulai berlaku pada 3 Desember 1981, menggantikan aturan-aturan hukum acara pidana produk Belanda.

Namun, KUHAP 1981 memiliki banyak kelemahan, termasuk pasal-pasal multitafsir yang bisa disalahgunakan aparat penegak hukum. Temuan-temuan di lapangan membuktikannya. 

Yunita dari LBH Pangayoman Unpar berpendapat, memang sudah seharusnya revisi dilakukan. Namun, perubahan ini harus dibarengi dengan kebutuhan masyarakat. Jika tidak, muatan RKUHAP rentan diselewengkan. Di sisi lain, dia menduga pemerintah dan DPR mengebut menyusun KUHAP baru untuk menyesuaikan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah disahkan pada 6 Desember 2022 silam dan mulai berlaku awal tahun 2026.

Pada 2022, revisi KUHP memicu gelombang protes karena dinilai membatasi kebebasan masyarakat sipil. Pasal 240 KUHP, misalnya, memulihkan pasal larangan penghinaan Presiden yang sempat dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pasal ini merupakan warisan hukum di zaman Belanda.

Antara 20 Agustus - 15 Desember 2022 masyarakat di berbagai kota di Indonesia tumpah ke jalan untuk menunutut pencabutan KUHP baru. Syahfa Evangeline dalam esai berjudul "KUHP Baru Wajah Kemunduran Demokrasi" menyebut, keberadaan pasal penghinaan yang multitafsir akan  membatasi penyampaian kritik warga negara terhadap lembaga negara sebagai pemerintah. 

"Rumusan pasal seperti ini hanya akan berakhir menjadi pasal karet yang berpeluang untuk meredam serta mengekang kebebasan berekspresi warga negaranya,” tulisnya.

***

*Liputan ini merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak dengan Amnesty International Indonesia

 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//