• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: KUHP Baru Wajah Kemunduran Demokrasi

MAHASISWA BERSUARA: KUHP Baru Wajah Kemunduran Demokrasi

Beberapa pasal dalam KUHP baru berisi pasal karet yang berpeluang membatasi dan mengekang kebebasan berekspresi.

Syahfa Evangeline Amabel

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Massa aksi memegang poster saat unjuk rasa menentang pengesahan RKUHP di depan gedung DPRD Jawa Barat di Bandung, Selasa, 6 Desember 2022. Mereka menuntut pemerintah merevisi sejumlah pasal di RKUHP yang mengancam kebebasan berpendapat masyarakat sipil dengan hukuman penjara. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

8 Juli 2023


BandungBergerak.id – Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia seharusnya menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak-hak yang dimiliki oleh rakyatnya. Masyarakat Indonesia memiliki hak untuk mengeluarkan pendapatnya dan mengekspresikan diri, sebab kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan bersifat mutlak serta tak terbatas.

Hal ini telah jelas diatur di dalam  Pasal 28E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Dan juga tertera dalam pasal Pasal 28E ayat (3) bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Secara umum, makna dari kebebasan berekspresi sendiri adalah kebebasan untuk berbicara dan mengemukakan pendapat tanpa adanya intervensi pihak manapun (United Nations Information Centre, 1948).  Namun pada praktiknya, masyarakat Indonesia tidak pernah  memiliki  kebebasan yang mutlak untuk mengeluarkan pendapat dan mengekspresikan dirinya. Hal ini dikuatkan dengan disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, yang mana di dalamnya terindikasi berbagai pasal baru yang dianggap sebagai pembatasan kebebasan berpendapat serta berekspresi bagi masyarakat tersebut.

Pesatnya perkembangan zaman melahirkan cara baru dalam kebebasan berekspresi, salah satunya dengan menyebarluaskan informasi atau gagasan menggunakan teknologi informasi. Salah satu pasal yang dinilai bertentangan dari hakikat kebebasan berekspresi itu sendiri yakni terdapat dalam Pasal 218 KUHP yang menyebutkan tindakan penyerangan terhadap kehormatan, harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan. Bahkan, Pasal 219 KUHP menyebutkan apabila tindakan tersebut dilakukan melalui teknologi informasi dipidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan.

Keberadaan kedua pasal ini dinilai mengabaikan prinsip persamaan di depan hukum karena membedakan antara harkat dan martabat dari jabatan seorang Presiden dan Wakil Presiden dengan pribadi seseorang secara personal. Sedangkan, dalam konteks negara yang menganut Presidensialisme, Presiden tidak bisa ditempatkan sebagai simbol negara karena kedudukan seorang Presiden tidak sama dengan raja atau ratu yang mana Presiden lahir dari pemilihan langsung yang dilakukan oleh rakyat (Saputro dkk., 2023:14-26). 

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Alasan Perusahaan Tidak Membagikan Dividen
MAHASISWA BERSUARA: Belajar dari Keberhasilan Singapura Mengolah Sampah
MAHASISWA BERSUARA: Mengolah Limbah Minyak Jelantah Menjadi Sabun Sebagai Upaya Mengurangi Limbah Rumah Tangga

Pasal Karet

Selanjutnya, terdapat juga Pasal 240 KUHP yang berbunyi “Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”. Keberadaan pasal ini dianggap dapat membatasi penyampaian kritik warga negara terhadap lembaga negara sebagai pemerintah.

Rumusan pasal seperti ini hanya akan berakhir menjadi pasal karet yang berpeluang untuk meredam serta mengekang kebebasan berekspresi warga negaranya. Pada akhirnya, pasal ini dikhawatirkan hanya akan mengkriminalisasi suara-suara rakyat yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah. Padahal, dalam sistem negara demokrasi seharusnya negara memberikan hak kepada rakyat untuk mengawal jalannya pemerintahan serta untuk memberikan respon atas tindakan para pemimpinnya.  

Posisi kita sebagai rakyat memegang kedaulatan tertinggi pada sistem negara demokrasi memperkuat kedudukan kita untuk menggunakan “hak oposisi” dan mengekspresikannya dalam berbagai bentuk. Namun, Pasal 256 KUHP dianggap membatasi kebebasan berekspresi karena memberi ancaman pidana penjara 6 bulan bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. Eksistensi pasal ini dinilai telah menempatkan penyampaian pendapat dengan cara demonstrasi sebagai sebagai suatu kejahatan.

Padahal, sesuai yang telah diatur sebelumnya dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, kewajiban untuk melakukan pemberitahuan penyelenggaraan demonstrasi kepada polisi hanya akan berbuntut pembubaran demonstrasi apabila tidak dipatuhi. Penerapan hukuman pidana terhadap demonstrasi semakin memperjelas bahwa ruang gerak kita sebagai masyarakat dipersempit, mengingat demonstrasi merupakan salah satu cara masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya.

Kehadiran beberapa pasal tersebut dalam KUHP baru pada akhirnya hanya menimbulkan anggapan bahwa telah terjadinya kemunduran demokrasi dalam negara Indonesia itu sendiri. Konsep negara demokrasi yang tersemat kepada negara Indonesia dapat luntur seiring berjalannya waktu apabila negara terus membatasi hak kebebasan berpendapat serta berekspresi bagi masyarakatnya.

Bagaimana suatu negara dapat mempertahankan citra negara demokrasi apabila pemerintahnya anti kritik? Lalu, dengan cara apalagi kita bisa tetap mempertahankan arti dari negara kita tercinta ini sebagai negara demokrasi apabila semua cara kita untuk berpendapat, berekspresi dan menggunakan “hak oposisi” dibatasi dan tidak diindahkan sama sekali? Apakah masyarakat hanya akan terus terbelenggu oleh pembatasan tersebut?

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//