Koalisi Masyarakat Sipil Menggalang Petisi Penolakan Revisi KUHAP yang Disusun Ugal-ugalan
Koalisi Masyarakat Sipil membeberkan pasal-pasal Revisi KUHAP yang disusun ugal-ugalan dan membahayakan hak asasi manusia.
Penulis Tim Redaksi12 Juli 2025
BandungBergerak.id - Koalisi masyarakat sipil menggalang petisi daring melalui laman change.org/TolakRKUHAP. Koalisi menyatakan, Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang pembahasannya dikebut DPR dan pemerintah, mengandung banyak pasal bermasalah yang berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Menurut Koalisi, Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) seharusnya menjadi momen penting untuk memperkuat perlindungan hak asasi manusia bagi seluruh kelompok masyarakat dalam sistem peradilan pidana, termasuk melalui penguatan mekanisme kontrol atas kewenangan besar aparat penegak hukum serta jaminan perlindungan hak saksi dan korban dalam proses hukum.
Namun, proses penyusunan draf RKUHAP terbaru oleh pemerintah dan DPR justru menunjukkan praktik penuh kejanggalan, praktik meaningful manipulation, yakni manipulasi makna partisipasi publik dalam penyusunannya. Selain itu, pasal-pasal yang diatur dalam substansi RKUHAP justru bermasalah dan gagal menjawab masalah faktual praktik KUHAP selama ini seperti laporan mandek (undue delay), salah tangkap, kriminalisasi, penyiksaan, penjebakan, dan lain sebagainya.
"Kini, RKUHAP yang sedang dibahas dan dikebut untuk disahkan secara kilat telah menjadi "Rancangan Kitab Undang-Undang Harapan Palsu" karena berpotensi memperkuat impunitas, melemahkan hak-hak tersangka dan terdakwa, serta mempertahankan praktik korup dan penyalahgunaan wewenang aparat," demikian kata Koalisi, di laman petisi daring, diakses Sabtu, 12 Juli 2025.
Menurut Koalisi, poin-poin bermasalah di dalam RKUHAP di antaranya:
1. Polri jadi makin superpower dalam proses penyidikan membawahi Penyidik non-polri dikecualikan hanya untuk KPK, Kejaksaan, dan TNI. Penyidik Polri menjadi penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana.
2. TNI semua matra bisa menjadi penyidik tindak pidana (Pasal 7 Ayat (5), Pasal 87 Ayat (4), Pasal 92 Ayat (4)). Ini membuka ruang bagi TNI untuk menjadi Penyidik dalam Tindak Pidana Umum.
3. Polisi bisa melakukan penangkapan sampai dengan 7 hari. Pasal ini bertentangan dengan standar HAM internasional dan lebih buruk dari KUHAP lama yang membatasi waktu penangkapan maksimal 1x24 jam. Pasal ini dinilai akan merugikan bagi korban salah tangkap.
4. Polisi bisa melakukan penahanan kapan saja tanpa izin pengadilan dengan dalih mendesak. Makna mendesak diserahkan kepada penyidik. Ruang diskresi yang rentan disalahgunakan!
5. Alasan penahanan dipermudah. Jika dianggap tidak bekerja sama dalam pemeriksaan atau dianggap memberikan informasi tidak sesuai fakta dapat ditahan oleh penyidik (Pasal 93 Ayat (5)).
6. Penggeledahan bisa dilakukan tanpa izin pengadilan jika dalam keadaan mendesak dan bukan hanya pada benda yang terkait dengan tindak pidana. Makna mendesak diserahkan kepada penilaian subyektif Penyidik (Pasal 105 jo Pasal 106).
7. Penyitaan bisa dilakukan tanpa izin pengadilan jika dalam keadaan mendesak. Makna mendesak diserahkan kepada penilaian subyektif penyidik (Pasal 112 Ayat (3)).
8. Pengaduan atau laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti berpotensi terus menumpuk karena tidak tersedia mekanisme penyelesaian yang jelas dan independen.
9. Bantuan hukum untuk kelompok rentan tidak diakomodir. Hak untuk memilih kuasa hukum sendiri dihapus dalam draf KUHAP baru. Jika tersangka tidak mampu atau tidak punya kuasa hukum, justru penyidik yang akan menunjuk pengacara — bukan si tersangka yang memilih (Pasal 145 ayat (1)).
10. Penyadapan sewenang-wenang. Poin ini diatur dalam Pasal 124 bahwa penyidik dapat menyadap tanpa izin pengadilan dengan alasan mendesak yang salah satu indikatornya adalah situasi berdasarkan penilaian subyektif penyidik.
Koalisi mendesak DPR dan pemerintah untuk menghentikan pembahasan RKUHAP dan melakukan penyusunan ulang dengan partisipasi bermakna yang benar.
"Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa klaim penguatan RKUHAP yang disampaikan DPR dan pemerintah menyesatkan karena RKUHAP yang disusun justru jauh dari konsep hukum acara peradilan yang jujur dan adil yang berpedoman pada prinsip negara hukum dan penghormatan hak asasi manusia," kata koalisi.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menegaskan, pentingnya percepatan penyelesaian Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Ia menekankan bahwa prinsip keadilan yang substantif harus menjadi roh dari KUHAP yang baru.
Adies juga mengungkapkan alasan lain mengapa pembahasan KUHAP perlu dipercepat. Ia menyebut bahwa ada dua rancangan undang-undang penting yang menunggu kejelasan posisi KUHAP sebagai acuan dasar, yakni RUU Kepolisian dan RUU Perampasan Aset.
Dengan mendorong percepatan pembahasan RUU KUHAP, DPR RI berharap dapat menyediakan sistem hukum acara pidana yang tidak hanya modern dan relevan dengan perkembangan zaman, tetapi juga menjamin keadilan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
Baca Juga: KUHP Berpotensi Memicu Kriminalisasi, Mengancam Demokrasi, dan Kemerdekaan Pers
KUHP Baru Wajah Kemunduran Demokrasi
Tidak Transparan
Pernyataan DPR RI dikiritik Koalisi, bahwa proses penyusunan Revisi KUHP sangat terburu-buru. Koalisi mengingatkan pentingnya materi muatan RKUHAP secara komprehensif menghormati dan memenuhi hak warga negara yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana dalam kapasitas sebagai pelapor/pengadu, saksi, korban, ahli, tersangka/terdakwa. Sementara RKUHAP 2025 belum memenuhi hal tersebut, bahkan lebih buruk dari draft RKUHAP 2012.
"Mengingat kepentingan yang besar untuk pelindungan hak warga negara dari ancaman penyalahgunaan kekuasaan melalui hukum acara pidana, Koalisi menyusun draft tandingan dan menuntut pembahasan yang tidak terburu-buru, cermat dan partisipasi yang bermakna" kata keterangan resmi Koalisi.
Saat ini, pada 24 Juni 2025 masa sidang telah dimulai dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KUHAP sudah rampung ditandatangani oleh Pemerintah. Namun hingga saat ini DIM tersebut belum dipublikasikan. Sehingga kembali hak atas informasi tidak dipenuhi oleh para pembentuk peraturan perundang-undangan.
Maka, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP sekali lagi mengajak semua pihak untuk memberikan perhatian serius, memastikan bahwa setiap langkah dalam proses legislasi ini benar-benar mencerminkan kepentingan publik dan dilakukan dengan tidak tergesa-gesa dan tidak terburu-buru.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB