• Berita
  • KUHP Berpotensi Memicu Kriminalisasi, Mengancam Demokrasi, dan Kemerdekaan Pers

KUHP Berpotensi Memicu Kriminalisasi, Mengancam Demokrasi, dan Kemerdekaan Pers

Dari LBH Bandung hingga Dewan Pers mengkritik pengesahan KUHP yang tergesa-gesa. Demokrasi dalam ancaman serius.

Aksi Diam 17 Menit Menolak Pengesahan 17 Pasal RKUHP di depan Gedung DPRD, Jalan Diponegoro, Bandung, Senin (5/12/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul8 Desember 2022


BandungBergerak.idPengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh DPR RI menuai gelombang penolakan dari masyarakat sipil di berbagai tempat di Indonesia. Penolakan dilakukan melalui aksi demonstrasi maupun ekspresi di media sosial.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung melalui postingan Instagramnya menyebut bahwa produk hukum baru ini bisa memenjarakan siapa saja. Tanda pagar (#)semuabisakena pun menggema.

Dewan Pers juga menyayangkan keputusan pengesahan KUHP yang diambil dengan mengabaikan minimnya partisipasi dan masukan masyarakat, termasuk komunitas pers. Mengingat masih terdapat pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman bagi pers dan wartawan. Sejumlah pasal dinilai sungguh mengancam kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

Wisnu Prima dari LBH Bandung mengatakan, selain poin-poin pasal yang banyak ditolak, proses penyusunan KUHP pun bermasalah. Menurutnya, selama ini DPR dan pemerintah mengklaim bahwa dari segi penyusunannya KUHP sudah menjalani banyak tahap diskusi, sosialisasi, dan mengakomodasi banyak pihak.

Tetapi nyatanya di lapangan tidaklah demikian. Sebab suara-suara penolakan yang muncul sejak demonstrasi besar pada 2019, ternyata tidak didengar. Sederet pasal-pasal kontroversial masih ada di KUHP.

“Kami melihatnya enggak hanya isi dari pasalnya yang bermasalah, prosesnya juga bermasalah. Masyarakat tidak dilibatkan dalam partisipasi aktif yang bermakna. Adapun sosialisasi hanya notifikasi saja ke masyarakat, gak mempedulikan input-input dari masyarakat sipil. Kenapa saya bilang begitu, karena terbukti masih ada pasal yang ditolak oleh kawan-kawan,” ungkap Wisnu Prima, kepada BandungBergerak.id, Rabu (7/12/2022).

KUHP yang baru disahkan misalnya memiliki masalah di bidang hak asasi manusia. Banyak pasal yang bertentangan dengan semangat penegakan HAM, seperti hukum pidana bagi pelaku demonstrasi. Padahal demonstrasi atau mengemukakan pendapat di mua umum bagian dari HAM.

Menurut Wisnu, pengesahan KUHP menunjukkan sejauh mana komitmen Indonesia terhadap pemajuan HAM Internasional. Indonesia melalui DPR meratifikasi HAM Internasional untuk melakukan dukungan pelaksanaan dan pemajuan.

Namun dengan KUHP, Indonesia menunjukkan pengingkarannya terhadap konvensi HAM Internasional. Wisnu juga berpendapat, menjelang hari HAM yang akan jatuh pada 10 Desember, seharusnya negara menunjukkan komitmenya terhadap penyelesaian kasus HAM berat yang terjadi di masa lalu, tapi malah negara mengingkari komitmenya terhadap penegakan hak asasi manusia.

“Indonesia terikat dalam sebuah perjanjian internasional dengan komitmen internasional akan melakukan pemajuan-pemajuan HAM. Tapi melalui KUHP ini kita bisa lihat ternyata dia gak berkomitmen, dia mengingkari. Padahal komitmen tersebut disahkan oleh DPR RI tapi kemudian DPR RI-lah yang mengingkari komitmen penegakan HAM,” jelas Wisnu.

Semakin Banyak Kriminalisasi

LBH Bandung memprediksi dengan adanya KUHP akan berdampak terhadap banyaknya orang yang rentan untuk dipidanakan, khususnya bagi masyarakat yang sedang melakukan penolakan kebijakan ekonomi Indonesia yang pro dengan investasi. Selain itu, akan muncul praktik penggembosan gerakan rakyat melalui pemidanaan. Dengan kata lain, KUHP bisa menjerat gerakan rakyat.

Selain dampak KUHP secara luas, pada kerja-kerja LBH Bandung juga akan berdampak. Wisnu memprediksi akan banyak kasus kriminalisasi yang masuk dalam laporan LBH di tahun mendatang.

“Sebelum ada KUHP saja kita banyak mendapatkan laporan kriminalisasi, apalagi setelahnya. Tentunya ini akan banyak kasus kriminalisasi yang masuk ke LBH Bandung. Artinya gak hanya kerja LBH Bandung yang akan banyak. Secara general ketika kasus kriminalisasi itu gede di LBH Bandung, kita bisa lihat kalau penegakan HAM di Jabar itu berjalan mundur, bahkan mungkin di Indonesia,” papar Wisnu.

Wisnu juga menilai KUHP baru ini menegaskan kepastian kemunduran HAM di Indonesia karena adanya pasal-pasal di dalam KUHP yang bertentangan dengan HAM.

Di sisi lain, Wisnu Prima mempertanyakan waktu sosialisasi KUHP yang memerlukan tiga tahun setelah pengesahan.

“Logika sederhananya adalah jika dibutuhkan waktu selama tiga tahun untuk sosialisasi, kenapa harus sekarang disahkannya, kenapa gak nunggu tiga tahun lagi Saja gitu. Seharusnya setelah disahkan, langsung aktif dan berlaku, misalnya kayak Omnibus Law. Kalau membutuhkan tiga tahun sosialisasi, kepastian hukum bagi orang-orang yang dikenai pidana baru ini nasibnya gimana? Jangan sampai ada orang yang dikenai pidana akibat perbuatan yang tidak diketahui memiliki konsekuensi hukum,” tegasnya.

Aksi Diam 17 Menit Menolak Pengesahan 17 Pasal RKUHP di depan Gedung DPRD, Jalan Diponegoro, Bandung, Senin (5/12/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Aksi Diam 17 Menit Menolak Pengesahan 17 Pasal RKUHP di depan Gedung DPRD, Jalan Diponegoro, Bandung, Senin (5/12/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

KUHP Mengancam Kemerdekaan Pers dan Demokrasi

Pengesahan KUHP juga menjadi masalah serius bagi komunitas pers. Dewan Pers menyatakan kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi kini menghadapi upaya pembungkaman. Pers sebagai pilar demokrasi yang bekerja untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi yang bermakna akan lumpuh karena berhadapan dengan ancaman kriminalisasi oleh pasal-pasal UU KUHP.

Dalam demokrasi, kemerdekaan pers harus dijaga, salah satunya dengan memastikan tidak adanya kriminalisasi terhadap wartawan. Perlindungan itu dibutuhkan agar wartawan dapat bebas menjalankan tugasnya dalam mengawasi (social control), melakukan kritik, koreksi, dan memberikan saran-saran terhadap halhal yang berkaitan dengan kepentingan umum untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Namun kemerdekaan pers menjadi terbelenggu karena UU KUHP dapat menjerat wartawan dan perusahaan pers sebagai pelaku tindak pidana ketika menjalankan tugas jurnalistiknya.

Dewan Pers sebagai lembaga independen sebelumnya telah menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) RKUHP terhadap pasal-pasal krusial yang menjadi ancaman terhadap pers dan wartawan. Dewan Pers juga menyarankan reformulasi 11 cluster dan 17 pasal dalam RKUHP yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers, sebagai upaya mencegah kriminalisasi.

Namun masukan yang telah diserahkan ke pemerintah dan DPR tidak memperoleh timbal balik. Padahal, Dewan Pers juga menyampaikan saran agar dilakukan simulasi kasus atas norma yang akan dirumuskan.

“Kami menilai ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam RUU KUHP yang baru disetujui oleh pemerintah dan DPR untuk disahkan menjadi UU KUHP itu tidak hanya mengancam dan mencederai kemerdekaan pers, namun juga berbahaya bagi demokrasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta pemberantasan korupsi,” kata Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers.

Arif menambahkan, ketentuan-ketentuan pidana pers dalam KUHP, mencederai regulasi yang sudah diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers. Padahal unsur penting berdemokrasi adalah dengan adanya kemerdekaan berekspresi, kemerdekaan berpendapat, serta kemerdekaan pers.

Dalam kehidupan yang demokratis, kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia hakiki.

Dewan Pers mencatat pasal-pasal UU KUHP yang berpotensi mengkriminalisasi wartawan dan mengancam kemerdekaan pers, kemerdekaan berpendapat, dan berekspresi, sebagai berikut:

  1. Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
  2. Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
  3. Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah.
  4. Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.
  5. Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
  6. Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.
  7. Pasal 300, Pasal 301, dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.
  8. Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan.
  9. Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran.
  10. Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati.
  11. Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.

Baca Juga: Jurnalis di Bandung Melakukan Aksi Bungkam 17 Menit Menolak 17 Pasal RKUHP
Berpulangnya Hati Nurani DPR dan Pemerintah atas Pengesahan RKUHP
Kebebasan Pers, Sudah Jatuh Ditimpa RKUHP

Sedikit Oase Bagi Penghayat Kepercayaan

Terlepas dari gelombang penolakan, KUHP baru ini dianggap memiliki kabar baik bagi komunitas penghayat kepercayaan. Bonie Nugraha Permana, salah seorang penghayat kepercayaan di Bandung, mengaku telah dilibatkan dalam penyusunan RKUHP.

Menurutnya, pada BAB VII tentang Tindak Pidana Terhadap Agama, Kepercayaan, dan Kehidupan Beragama terdapat peran komunitas penghayat. Sebelumnya, kata Bonie, teman-teman penghayat kepercayaan sempat memberikan masukan untuk memunculkan frasa “kepercayaan” agar berdampingan dengan frasa-frasa agama.

Pada draft awal, kata Bonie, frasa kepercayaan belum dimunculkan. Tidak adanya frasa kepercayaan membuat komunitas penghayat kepercayaan terdiskriminasikan.

“Kok yang agama saja dilindungi pemerintah, kok kami yang penghayat kepercayaan tidak. Nah, akhirnya masukan dari kami adalah tolong frasa kepercayaan itu dimasukkan berdampingan dengan frasa-frasa agama, apa pun bunyi pasalnya nanti, ketika menyangkut agama juga diikuti oleh kepercayaan. Artinya ada kesetaraan dari pemerintah untuk kami,” ungkap Bonie, saat dihubungi BandungBergerak.id.

Bonie menilai bab tentang agama pada KUHP akan memberikan perlindungan kepada teman-teman penghayat kepercayaan dari diskriminasi. Para penghayat kepercayaan yang jumlahnya minoritas pun akan merasa terlindungi dan setara dengan penganut agama lainnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//