RKUHP: Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Penguasa
LBH Bandung, AJI Bandung, Keluarga Mahasiswa ITB, dan BEM Kema Unpad sepakat menyatakan bahwa RKUHP adalah aturan yang disusun dengan semangat kolonial.
Penulis Iman Herdiana4 Agustus 2022
BandungBergerak.id - RKUHP bukanlah topik milik orang-orang dengan latar belakang ilmu hukum saja. RKUHP adalah aturan untuk semua orang yang akan berdampak besar pada berbagai sendi kehidupan. Karena dampaknya yang luas inilah, maka pembahasan RKUHP harus melibatkan masyarakat. Dan ini tidak dilakukan oleh pemerintah dan DPR.
Menurut Heri Pramono, Staf Kampanye LBH Bandung, RKUHP mengatur masyarakat dengan ancaman hukum pidana penjara dan denda. Siapa pun tidak akan mau terkena denda dan dipenjara. Yang menjadi masalah, hukum yang berdampak luas ini tidak melibatkan masyarkat dalam penyusunannya.
"Jadi masyarakat yang akan paling terdampak jika RKUHP ini disahkan. Maka masyarakat harusnya didengar [oleh pemerintah dan DPR]. Ini yang ga pernah didengar,” kata Heri Pramono, saat membuka diskusi publik #Semuabisakena: RKUHP dan Senjakala Kebebasan Berekspresi di Indonesia, pada live Instagram AJI Bandung dan LBH Bandung, Kamis (4/8/2022).
LBH Bandung mencatat banyak sekali pasal-pasal kontroversial di dalam RKUHP, mulai dari pasal yang membungkam kebebasan pers dan berekspresi, penghinaan presiden dan wakil presiden, penghinaan institusi negara, hingga pidana yang mengatur demonstrasi atau unjuk rasa, sampai pasal yang ikut campur pada urusan pribadi.
Selain LBH Bandung, diskusi ini menghadirkan narasumber dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Keluarga Mahasiswa ITB, dan BEM Kema Unpad. KM ITB yang memiliki latar belakang ilmu eksak, telah menyatakan sikap menolak RKUHP yang draftnya beredar secara luas. Begitu juga dengan BEM Kema Unpad dan AJI Bandung.
Revanka Mulya, perwakilan dari KM ITB, mengatakan bahwa berbicara RKUHP tidak harus mengerti ilmu hukum sebab ada substansi hukum yang bisa dimengerti oleh siapa pun, misalnya pasal-pasal multitafsir seperti penghinaan. Pasal ini bisa diarahkan kepada orang yang melakukan kritik.
“Mungkin krtitiknya bagus, tapi bisa ditafsirkan sebagai penghinaan,” kata Revanka.
RKUHP Melanggengkan Kolonialisme
Sudah diketahui umum bahwa KUHP yang saat ini berlaku di Indonesia merupakan warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Belanda membuat KUHP berdasarkan kepentingan politik hukumnya, yaitu menciptakan ketertiban di negeri terjajah agar mereka bisa leluasa mengeruk keuntungan (kapital).
Revanka melihat politik hukum yang dilakukan penguasa sekarang dalam menyusun RKUHP memiliki motif yang sama dengan penguasan zaman kolonial, yakni untuk membuat ketertiban dan meraih kapital bagi lingkaran kekuasaannya. Maka dibentuklah UU Cipta Kerja dan UU Minerba yang lebih berpihak kepada penguasa daripada buruh atau rakyat. Sedangkan untuk membungkam kritik dari rakyatnya, dibentukalah RKUHP.
“Pemerintah membatasi dengan membuangkam masyarakat menggunakan RKUHP untuk membatasi gerakan masyarakat. Demi akumulasi kapital pada kelompok mereka,” katanya.
Isi RKUHP dinilai sangat berlawanan dengan cita-cita pendirian bangsa yang adil dan makmur sebagaimana digariskan Pancasila, serta bertentangan dengan semangat reformasi yang salah satu tujuannya melakukan reformasi di bidang hukum. Tetapi hadirnya RKUHP yang berbau kolonial menjadikan negeri ini menuju kemunduran ke masa lalu, ke masa penjajahan oleh Belanda.
“Harusnya Indonesia semakin maju dan beradab, semua rakyatnya sejahtera, tapi malah kembali ke zaman kolonial yang dibatasi kehidupannya. Kenapa pemerintah bisa seperti ini. Bukan maju malah mundur ke zaman kolonial,” katanya.
Ia kembali menegaskan, bahwa RKUHP ini masalah seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya untuk mahasiswa saja. Khusus bagi mahasiswa, mereka tidak bisa bersikap masa bodoh pada RKUHP.
“Kita semua ingin hidup sejahtera. Kalau kita masa bodo amat dengan RKUHP, keinginan kita untuk sejahtera tidak akan tercapai,” katanya.
Tidak Ada Penghapusan Pasal Kolonial
Tujuan dari disusunnya RKUHP sebenarnya untuk menghilangkan karakter kolonialismenya yang terstruktur, sistematis, dan masif ditanamkan oleh Belanda. Dengan kata lain, kata Iyang dari BEM Kema Unpad, Indonesia memang membutuhkan KUHP yang baru. Tetapi bukan KUHP yang antikritik dan membahayakan bagi demokrasi, melainkan RKUHP yang bertujuan menciptakan kesejahteraan umum dan masyarakat demokratis.
Iyang mengajak melihat persoalan RKUHP ini tidak hanya pada pasal per pasal, melainkan dari politik hukum di baliknya. Bahwa RKUHP yang kini dibahas DPR tidak lagi menempatkan Indonesia sebagai negara hukum, melainkan sebagai negara kekuasaan dengan mazhab Leviathan yang mengedepankan ketertiban. Motif ini bisa dilihat dari masih banyaknya pasal-pasal kolonial, seperti penghinaan, yang akan merampas kebebasan rakyat. Tak hanya itu, negara melalui RKUHP juga terlalu jauh masuk ke urusan personal rakyatnya.
“Hari ini Republik Indonesia punya mazhab leviathan di mana stabilitas jadi kunci. Padahal kata republik sendiri berasal dari kata res dan publica, kepentingan umum. Jadi agak aneh kalau pemerintah gatal pada kritik (dari publik), mengaatur kohabitasi, zina, ini kebalikan [dari republik],” kata Iyang.
Di sisi lain, Iyang tidak melihat konsep dekolonisasi pada RKUHP. Malahan, struktur hukum RKUHP dengan KUHP yang saat ini berlaku masih sama, tidak banyak perubahan. Alih-alih berubah, RKUHP justru mencerminkan kekuasaan yang otoriter.
Iyang menganalogikan RKUHP dengan diktator zaman Romaiwi, Caligula, yang mengedepankan ketakutan pada rakyatnya. Sebab dengan ketakutan, maka tidak akan ada lagi kritik dan demonstrasi terhadap pemerintah.
Heri Pramono pun sepakat bahwa RKUHP bukanlah Kitab Undang-undang Hukum Pidana melainkan Kitab Undang-undang Hukum Penguasa yang dalam pembuatannya tidak melibatkan rakyat.
“Ada yang lebih urgent, kita dilangkahi, tidak dilibatkan dalam membuat peraturan perundangan ini,” katanya.
Baca Juga: SUARA SETARA: Karut-marut RKUHP, Beraroma Pembungkaman hingga Ikut Campur Negara pada Urusan Pribadi
Pasal-pasal Kontroversial RKUHP
RKUHP Mengancam Kebebasan Berekspresi, Pembahasannya tidak Transparan
Memberangus Kebebasan Pers
Ahmad Fauzan dari AJI Bandung menyoroti dampak RKUHP pada pers. Menurutnya, RKUHP berusaha menjadikan pers tidak lagi lex specialis seperti yang diatur dalam UU Pers sekarang, melainkan diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dampaknya, pers akan sangat mudah dikriminalisasi.
Menurut Fauzan, sebelum adanya RKUHP, jurnalis sebenarnya sudah diancam dengan UU ITE yang mengatur tentang pasal karet pencemaran nama baik. Hingga saat ini, kata Fauzan, sudah ada 15 jurnalis yang dikriminalisasi dengan pasal-pasal UU ITE.
“Lewat UU ITE saja sudah banyak jurnalis dilaporkan dan dipenjara. Ditambah lagi dengan RKUHP yang juga banyak menyinggung kerja-kerja jurnalis,” kata Fauzan.
Ia menjelaskan, jurnalis bekerja untuk publik. Melalui karya jurnalistiknya, jurnalis mengkritik dan mengawasi kekuasaan. Namun jika RKUHP disahkan, kritik dan pengawasan dari jurnalis ini rentan ditafsirkan sebagai penghinaan.
“Kerja pers yang mengkritik kekuasaan kemudian bisa dianggap penghinaan pada kekuasaan. Ada pasal kolonial tentang penghinaan pada presiden dan lain-lain. Maka kerja jurnalis yang dianggap menghina itu bisa dikriminalisaikan,” kata Fauzan.