Uji Materi UU Pers Dinilai akan Menimbulkan Disharmonisasi
Legal standing pemohon uji materi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dinilai tak jelas. Kesalahan ini seharusnya membuat Mahkamah Konstitusi menolak uji materi ini.
Penulis Delpedro Marhaen24 Maret 2022
BandungBergerak.id - Ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers) yang mengatur Dewan Pers tengah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah pegiat pers berharap agar uji materi ini ditolak oleh Hakim MK karena dinilai akan menimbulkan disharmonisasi hukum. Selain itu, uji materi ini sarat ditumpangi kepentingan kelompok tertentu.
Permohonan uji materi UU Pers dengan nomor registrasi perkara 38/PUU-XIX/2021 ini diajukan oleh Heintje Grontson Mandagie, Hans M. Kawengian, dan Soegiharto Santoso pada 12 Agustus 2021 lalu. Dalam Petitumnya pemohon meminta kepada MK untuk memutuskan bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Para Pemohon menilai pasal tersebut telah mencederai kemerdekaan dan kebebasan pers. Dengan adanya pasal tersebut disebut menghilangkan hak organisasi-organisasi pers dalam menyusun dan membuat peraturan-peraturan di bidang pers. Hal ini menjadikan Dewan Pers memonopoli semua pembentukan peraturan pers dan tidak memberdayakan organisasi-organisasi pers yang sudah ada.
Saksi Ahli yang dihadirkan Dewan Pers, Bagir Manan mematahkan anggapan tersebut. Menurutnya kehadiran Dewan Pers justru menjadi penjaga dan pelindung kemerdekaan pers dengan menjaga wartawan tetap taat pada kode etik pers. Dewan Pers, kata dia, sangat diperlukan menjadi pihak ketiga yang netral dalam penegakan hukum.
“Pertanyaannya, benarkah ketentuan tersebut tidak jelas? Benarkah setiap yang tidak jelas adalah bertentangan dengan konstitusi? Setiap peraturan Dewan Pers menghambat kemerdekaan pers?,” kata Bagir Manan dalam sidang MK, Kamis (24/03/2022).
Bagir Manan menjelaskan apabila ketentuan pasal tersebut dihapuskan akan menimbulkan disharmonisasi. Sebab, nantinya akan muncul organisasi serupa dewan pers. Hal tersebut akan merusak keseluruhan organisasi pers karena nantinya masing-masing organisasi pers akan membuat dan mempunyai aturan sendiri-sendiri yang kemudian ditegakkan sendiri-sendiri.
“Inilah yang selama ini dijalankan Dewan Pers segala peraturan, atau pedoman, petunjuk yang dibuat dewan pers disusun bersama atau hasil persetujuan bersama anggota atau konstituen Dewan Pers. Perlu pula dicatat penegakan peraturan Dewan pers, pedoman, penegakan peraturan Dewan Pers, penegakan pedoman, petunjuk Dewan Pers, begitu pula keputusan Dewan Pers senantiasa diserahkan kepada satuan-satuan komunitas dalam lingkungan Dewan Pers,” paparnya.
Bagir Manan juga lantas menjelaskan maksud pasal 15 Ayat (2) huruf f yang mengamanatkan Dewan Pers sebagai fasilitator bagi organisasi pers untuk penyusunan peraturan dan peningkatan kualitas profesi kewartawanan. Fasilitator, kata dia, bertujuan untuk memudahkan hubungan hukum, penegakan hukum, dan menjamin perlindungan hukum. Jadi peraturan Dewan Pers yang berlaku untuk seluruh komunitas pers adalah kemudahan atas fasilitas untuk menjaga dan mempertahankan kepentingan bersama pers.
“Itulah makna ‘memberi fasilitas’ harus juga dimaknai ‘membuat, menjadikan, peraturan, petunjuk, pedoman yang akan menjamin peri kehidupan bersama pers, baik untuk kepentingan ke dalam maupun ke luar,” ungkapnya.
Selanjutnya Bagir Manan menerangkan terkait eksistensi Dewan Pers dan peraturan Dewan Pers dalam UU Pers. Ia mengatakan salah satu prinsip UU Pers adalah meniadakan bentuk keikutsertaan dan campur tangan pemerintah dalam urusan rumah tangga pers. Hal itu sepanjang mengenai urusan rumah tangganya, pers mengatur dan mengurus sendiri segala urusan rumah tangga pers.
Namun, kata dia, pers merdeka, pers yang bebas sama sekali bukan sesuatu yang masing-masing berdiri sendiri, melainkan sebuah komunitas yang memiliki kode etik, kode tingkah laku yang disusun bersama-sama melalui satu lembaga yang menjalankan fungsi pers sebagai komunitas. Dalam keadaan tertentu, lanjutnya, berbagai aturan rumah tangga tersebut harus dapat ditegakkan secara fair, tidak berpihak, dan adil. Hal ini membutuhkan kehadiran lembaga komunitas pers, UU Pers menetapkan adanya Dewan Pers yang mewakili dan bertindak atas nama komunitas pers.
Baca Juga: Cerita Jurnalis Bandung Saat Mengabadikan 731 Hari Pandemi Covid-19 di Jawa Barat
BUKU BANDUNG (21): Jurnalis Juga Manusia
AJI Mengecam Serangan Peretasan dan Disinformasi terhadap Sasmito Madrim
Penumpang Gelap
Dalam sidang sebelumnya, konstituen Dewan Pers mempersoalkan kedudukan hukum atau legal standing pemohon uji materi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang dinilai tak sinkron. Pihaknya menilai kesalahan itu seharusnya bisa membuat MK menolak uji materi ini.
Konstituen Dewan Pers terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Kuasa Hukum Konstituen Dewan Pers, Ade Wahyudin, menyatakan legal standing para pemohon uji materi tak terpenuhi. Pasalnya, para pemohon seolah-olah merupakan representasi organisasi pers.
“Padahal dalam permohonannya pemohon disebut sebagai warga negara Indonesia,” dikutip dalam risalah MK pada sidang Selasa (11/1) lalu.
Dengan demikian, kata dia, seharusnya pemohon mewakili sebuah organisasi sehingga yang digunakan adalah legal standing organisasi, bukan orang-perorangan. Sehingga jelas pula bentuk kerugian yang diterima berdampak pada seorang warga negara atau kerugian organisasi pers.