• Nusantara
  • AJI Mengecam Serangan Peretasan dan Disinformasi terhadap Sasmito Madrim

AJI Mengecam Serangan Peretasan dan Disinformasi terhadap Sasmito Madrim

Serangan digital terhadap aktivis dan organisasi AJI sebagai ancaman serius bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Ilustrasi ancaman kebebasan pers dan berekspresi. Indonesia subur dengan pasal-pasal karet yang mengancam kebebasan pers dan berekspresi. (Sumber: Aliansi Jurnalis Independen (AJI))

Penulis Iman Herdiana24 Februari 2022


BandungBergerak.idAliansi Jurnalis Independen (AJI) mengecam serangan peretasan dan disinformasi terhadap Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito Madrim. Praktik tersebut dinilai sebagai bentuk serangan terhadap aktivis dan organisasi AJI yang selama ini memperjuangkan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.

“Peretasan dan serangan disinformasi terhadap Ketua Umum AJI adalah ancaman serius bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi,” demikian siaran pers AJI tertanda Ika Ningtyas, Sekretaris Jenderal AJI Indonesia dan Erick Tanjung, Ketua Bidang Advokasi, Kamis (24/2/2022).

Peretasan terjadi pada Rabu (23/2/2022) sekitar pukul 18.15 WIB pada akun Whatsapp, Instagram, Facebook dan nomor handphone pribadi Sasmito. Peretasan pertama kali pada Whatsapp saat dia menerima notifikasi di WhatsApp bahwa nomornya telah didaftarkan pada perangkat lain. Sekitar pukul 19.00 WIB, peretasan meluas ke akun Instagram dan Facebook miliknya.

Unggahan seluruh konten di Instagram Sasmito dihapus dan peretas mengunggah konten yang menyebarluaskan nomor pribadinya. Sedangkan di Facebook, profile picture diubah dengan gambar porno. Nomor handphone Sasmito diketahui juga tidak bisa menerima panggilan telepon dan menerima SMS.

Usaha untuk mengambil alih akun-akun tersebut telah diupayakan tim keamanan digital. Facebook telah berhasil diambil alih, tapi Instagram dan Whatsapp belum bisa dipulihkan.

Pada 24 Februari 2022, AJI Indonesia memantau terjadi serangan disinformasi yang mencantumkan nama dan foto Ketua Umum AJI Sasmito di media sosial dengan narasi:

1. Sasmito mendukung pemerintah membubarkan FPI;

2. Sasmito mendukung pemerintah membangun Bendungan Bener Purworejo;

3. Sasmito meminta Polri menangkap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti

AJI Indonesia menyatakan bahwa ketiga pernyataan tersebut adalah palsu atau tidak pernah diucapkan Ketua Umum AJI Sasmito.  AJI Indonesia adalah organisasi yang mendukung dan turut berjuang untuk kebebasan berkumpul dan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan hak warga untuk mendapatkan informasi.

Ketiga disinformasi tersebut nyata-nyata mengadu domba AJI Indonesia dengan organisasi masyarakat sipil lainnya, termasuk membenturkan AJI dengan warga Wadas yang sedang berjuang menolak eksploitasi sumber daya alam di kampungnya.

Dengan serangan yang menimpa Ketua Umum Sasmito, AJI Indonesia menyatakan:

1. Peretasan dan serangan disinformasi terhadap Ketua AJI Sasmito Madrim adalah upaya teror terhadap aktivis yang memperjuangkan kebebasan berekspresi dan demokrasi;

2. Meminta publik untuk tidak mempercayai narasi disinformasi yang beredar di media sosial;

3. Meminta publik untuk mendukung AJI Indonesia untuk memperjuangkan kebebasan pers, hak kebebasan berekspresi, berkumpul, berpendapat, dan hak atas informasi.

Baca Juga: Cinta Seniman di GPK Bandung
NGULIK BANDUNG: Belajar dari Kasepuhan Ciptagelar, Sejarah dan Tugas yang Diemban (Bagian 2)
Proses Penyusunan RUU Sisdiknas Kurang Melibatkan Publik

Marak Serangan Digital

Serangan berupa peretasan terhadap Ketua Umum AJI menambah daftar kejahatan siber yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan pemantauan SAFEnet selama 2020, terdapat 147 insiden serangan digital atau rata-rata 12 kali tiap bulan. Puncak serangan digital terjadi pada Oktober 2020 dengan jumlah insiden sebanyak 41 kali. Naik lebih dari tiga kali lipat dibandingkan rata-rata per bulan. Adapun insiden terendah terjadi pada Maret 2020 dengan 3 insiden.

Dari sisi korban, serangan digital paling banyak terjadi pada lembaga pemerintah dengan 38 insiden (25, 85 persen), serangan digital pada warga umum sebanyak 30 insiden (20, 41 pesen), jurnalis 26 insiden (17, 01 persen), aktivis 25 insiden (17, 01 persen), mahasiswa 19 insiden (12, 93 persen), dan organisasi masyarakat sipil 15 insiden (10, 20 persen).

Data tersebut menunjukkan bahwa serangan digital tetap paling banyak menyasar kelompok kritis kepada pemerintah, yaitu jurnalis, aktivis (mahasiswa), dan organisasi masyarakat sipil yang jika digabungkan jumlahnya mencapai 66 insiden (44, 90 persen).

SAFEnet menyatakan, temuan itu diperkuat fakta bahwa serangan-serangan semakin meningkat ketika ada isu politik nasional. Puncak serangan pada Oktober 2020 terjadi karena banyaknya penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja.

Jenis serangan digital yang diidentifikasi Tim SAFEnet dikelompokkan ke dalam dua kategori, yakni serangan secara kasar seperti peretasan, penyadapan, dan serangan DDoS (Distrubed denial of service). Serangan ini memerlukan teknologi dan kemampuan tertentu.

Lalu, serangan secara halus yang lebih bertujuan intimidasi psikologi korban atau menjatuhkan kredibilitas korban di mata publik. Serangan dilakukan secara terbuka di media sosial pelaku, baik profil anonim maupun nyata.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//