• Berita
  • Jurnalis di Bandung Melakukan Aksi Bungkam 17 Menit Menolak 17 Pasal RKUHP

Jurnalis di Bandung Melakukan Aksi Bungkam 17 Menit Menolak 17 Pasal RKUHP

Aksi bungkam 17 menit yang digagas Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung ini menjadi simbol terancamnya kebebasan pers jika RKUHP disahkan.

Para jurnalis perempuan di Kota Bandung turut mengikuti Aksi Diam 17 Menit Menolak Pengesahan 17 Pasal RKUHP, di depan Gedung DPRD, Jalan Diponegoro, Bandung, Senin (5/12/2022). Sedikitnya, ada 17 pasal bermasalah dalam draft RKUHP yang akan disahkan dalam rapat paripurna DPR besok (6/12/2022) yang mengancam kerja jurnalis. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau5 Desember 2022


BandungBergerak.idSuara sirine mengiringi aksi bungkam 17 menit yang digagas Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, di depan pagar kawat berduri Gedung DRPD Provinsi Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Senin (5/12//2022). Aksi simbolik ini menolak 17 pasal-pasal bermasalah di dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang ngotot akan disahkan DPR RI, 6 Desember 2022.

Dalam aksinya, puluhan jurnalis bergantian mengusung poster bertuliskan menolak pengesahan RKUHP, antara lain: “Jurnalis Tolak RKUHP”, “Cabut 17 Pasal Bermasalah”, dan “Tunda Pengesahan RKUHP”.

”Hidup jurnalis, hidup rakyat yang melawan,” teriak Sasmito Madrim, Ketua AJI Indonesia dalam orasinya.

Sasmito menjelaskan, 17 pasal-pasal RKUHP yang ditolak itu berkaitan kerja-kerja jurnalis dan membahayakan kebebasan pers. Dalam proses penyusunannya, RKUHP ini tidak memberikan ruang kepada publik untuk memberikan masukan yang terbaik.

”Rakyat diminta mendengar tapi kuping ditutup rapat-rapat,” ungkap Sasmito.

Koordinator Aksi yang juga Anggota Divisi Advokasi AJI Bandung, Dikdik Ripaldi mengungkapkan aksi ini dilakukan karena RKUHP memuat banyak pasal kontroversial dengan penyusunannya yang tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna.

Dikdik menjelaskan, awalnya RKUHP memiliki 19 pasal bermasalah. Namun versi draf terbaru tanggal 30 November 2022 ada dua pasal yang dihapus sehingga menyisakan 17 pasal lagi. Dari angka inilah aksi bungkam selama 17 menit dilakukan.

“Dan 17 menit itu menimbulkan 17 pasal bermasalah. Kenapa kemudian bungkam, saya kira sudah banyak selama ini suara-suara yang disampaikan oleh AJI dan koalisi masyakarat sipil lainnya, tapi nyatanya versi-versi draft RKHUP tidak menunjukkan perubahan,” ungkap Dikdik kepada BandungBergerak.id, di lokasi.

“Dan mungkin ga mendengar suara-suara itu. Akhirnya sekarang sudah ga banyak bicara lagi, bahwa sudah jelas kita menolak. Dan kemudian kenapa sirine juga terus meraung itu menjadi tanda bahaya bagi kita semua. Terus tadi ada simbolisasi bagaimana jemuran poster itu dilingkarkan menandakan bahwa pasal-pasal ini bisa menjerat kita semua. Khususnya bagi kita jurnalis,” paparnya.

40 AJI Kota Menolak Pengesahan RKUHP

Aksi menolak pengesahan RKUHP serentak dilakukan oleh 40 AJI kota di seluruh Indonesia. AJI juga mendesak pasal-pasal yang bermasalah di RKHUP agar dicabut.

Ketua AJI Indonesia, Sasmito mengungkapkan beberapa pasal yang harus dicabut dalam RKUHP antara lain terkait pasal penghinaan. Sebagai contoh, pasal penghinaan di pengadilan yang melarang siaran langsung.

Menurutnya, pasal tersebut mengganggu kerja-kerja jurnalis dan bahkan berpotensi terjadinya kriminalisasi pada teman-teman jurnalis. 

“Kita menuntut DPR dan pemerintah untuk menunda pengesahannya karena lagi-lagi kita belum mendapatkan argumentasi yang kuat kenapa pasal-pasal yang sudah diusulkan direformulasi oleh AJI dan Dewan Pers itu tidak diakomodir oleh DPR dan pemerintah. Beberapa anggota DPR menyampaikan kekita nanti akan diakomodir di penjelesannya, tapi begitu kita cek di penjelasannya itu juga tidak ada. Jadi apa yang disampaikan DPR dan pemerintah memang masih sebatas omong kosong dalam beberapa bulan terakhir,” kata Sasmito.

Untuk mengerem pengesahan RKUHP ini, Sasmito juga berharap keterlibatan dari perusahaan media dan organisasi perusahaan media. Karena mereka memiliki tanggung jawab mengontrol kekuasaan.

Ia menegaskan perusahaan media tidak boleh netral dalam menyikapi RKUHP. Menurutnya sudah saatnya perusahaan media dan organisasi perusahaan media yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah organisasi jurnalis, bersuara bersama para jurnalis.

Saat ini sedikitnya ada 7 organisasi perusahaan media yang diharapkan bisa memberikan tekanan besar pada pemerintah dan DPR agar tidak mengesahkan RKUHP.

”Dan kita punya pengalaman UU yang sudah disahkan sekalipun begitu mendapat penolakan dari publik, pemerintah bisa menunda diberlakukan, walaupun sudah disahkan di DPR tapi bisa ditunda,” ungkapnya.

Namun masalahnya, sejauh mana itikad baik dimiliki oleh pemerintah dan DPR. Di sisi lain, RKUHP menjadi momentum bagi warga Indonesia menjelang pemilu 2024. Warga akan bisa melihat partai-partai politik mana saja yang menyetujui RKUHP yang menyengsarakan rakyatnya.

“Harus mencatat kalau mereka membuat UU yang akan memposisikan kita sebagai warga jajahan karena regulasinya lebih buruk dari kolonialisme, maka publik akan mencatat mana saja yang mendukung RKUHP dan itu nanti akan dibalas tuntas nanti di pemilu 2024,” terang Sasmito.

Baca Juga: RKUHP: Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Penguasa
Ramai-ramai (Masih) Menolak Pengesahan RKUHP
Kembali Gelar Aksi Tolak RKUHP

Sasmito Madrim, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, menyampaikan orasinya dalam Aksi Diam 17 Menit Menolak Pengesahan 17 Pasal RKUHP, di depan Gedung DPRD, Jalan Diponegoro, Bandung, Senin (5/12/2022). Sedikitnya, ada 17 pasal bermasalah dalam draft RKUHP yang akan disahkan dalam rapat paripurna DPR besok (6/12/2022) yang mengancam kerja jurnalis. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.ic)
Sasmito Madrim, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, menyampaikan orasinya dalam Aksi Diam 17 Menit Menolak Pengesahan 17 Pasal RKUHP, di depan Gedung DPRD, Jalan Diponegoro, Bandung, Senin (5/12/2022). Sedikitnya, ada 17 pasal bermasalah dalam draft RKUHP yang akan disahkan dalam rapat paripurna DPR besok (6/12/2022) yang mengancam kerja jurnalis. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.ic)

Jurnalis Perempuan Menolak RKUHP

Penolakan terhadap RKUHP ini juga turut disampaikan oleh jurnalis perempuan. Salah satunya Catur Ratna Wulandari yang juga Bendahara AJI Bandung. Ia mengungkapkan selama ini banyak pembahasan hukum seperti RKUHP hanya menjadi konsumsi elite. Sementara masyarakat tidak pernah dilibatkan. Pada akhirnya warga sipil disodorkan dengan klausul-klausul yang merugikan.

“RKHUP ini kan sebenarnya kita berharap akan ada transparansi untuk mengajak semua elemen berdiskusi untuk mendengarkan masukan kita. Tapi kan ternyata engga. Jadi aku bergabung karena kurasa siapa pun bisa jadi korban,” ungkapnya.

Sebagai seorang perempuan dan juga jurnalis, Ratna mengatakan jurnalis menjadi lebih rentan dengan adanya RKUHP ini. Padahal sebelumnya sudah rentan dengan adanya UU ITE.

Dengan hadirnya RKUHP bahkan membuat posisi masyarakat terancam. Mereka tidak bebas lagi mengemukakan pendapat di ruang-ruang publik.

“Selain di sisi jurnalis juga, yang berpotensi terkena tidak juga jurnalis. Karena KUHP untuk semua. Jurnalis posisinya jadi lebih rentan dan masyarakat biasa juga jadi lebih rentan. Apa lagi ibu-ibu kan sekarang juga kan mereka bukan hanya jadi individu yang di rumah saja, mereka itu aktif bermedia sosual. Mereka aktif berpendapat, mereka aktif bersosialisai berkomunikasi dengan orang,” ungkapnya.

“Nah, kalau ini lolos begitu saja, kita akan menghadapi situasi yang jauh lebih buruk, ketimbang kemarin kita hanya punya UU ITE saja. Jadi kayak semua harus turun tangan untuk menggagalkan supaya ini enggak jadi KUHP. Nanti kita kayaknya akan bukan nyesel dampaknya akan panjang dan sangat buruk. Jadi kita melakukan apa yang kita bisa. Kita menggagalkan ini. Sebelum disahkan,” tambahnya.

Tiga Tuntutan Jurnalis

Pada akhir aksi, para jurnalis yang dipimpin Ketua AJI Bandung, Tri Joko Her Riadi membacakan bersama tiga tuntutan terhadap penolakan RKUHP. Aksi ini diikuti oleh seluruh jurnalis yang hadir.

Pertama, menuntut DPR dan pemerintah mencabut 17 pasal bermasalah di RKUHP yang berpotensi mengekang kerja-kerja jurnalistik dan mengkriminalisasi jurnalis.

Kedua, menuntut penundaan pengesahaan RKUHP karena DPR dan pemerintah tidak memberikan ruang partisipasi yang bermakna bagi publik, termasuk komunitas pers.

Ketiga, mengajak rekan-rekan jurnalis, terutama mereka yang bekerja mengawasi kekuasaan di daerah-daerah, untuk turut serta dalam gerakan penolakan ini.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//