• Lingkungan Hidup
  • Perpres tentang Penanganan Sampah Perkotaan akan Meningkatkan Beban Keuangan Negara, selain Memperburuk Pencemaran Lingkungan

Perpres tentang Penanganan Sampah Perkotaan akan Meningkatkan Beban Keuangan Negara, selain Memperburuk Pencemaran Lingkungan

Perpres dinilai membuka peluang pembangunan proyek insinerator yang mahal, berisiko tinggi bagi keuangan negara, dan berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat.

Para river warriors dari berbagai kalangan mengambil sampah di Sungai Cikapundung, Bandung, 22 September 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul25 Oktober 2025


BandungBergerak - Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan melalui Pengolahan Sampah menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 10 Oktober 2025 lalu. Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menolak perpres ini karena minim konsultasi publik dan membuka jalan bagi proyek insinerator mahal yang berisiko tinggi secara fiskal. Penerapan pengurangan sampah dari sumber secara sistemik merupakan solusi utama yang perlu dilakukan menghadapi kondisi kedaruratan sampah.

AZWI menilai kebijakan baru ini bertentangan dengan strategi nasional dalam melakukan pengurangan sampah dari sumber. Kebijakan ini dinilai berpotensi menjerat keuangan negara melalui kontrak jangka panjang yang mahal, memperburuk pencemaran, mengancam mata pencaharian jutaan pekerja informal, serta tidak sejalan dengan mandat UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

“Perpres ini bukanlah solusi yang tepat, melainkan perpanjangan dari kegagalan Perpres 35/2018 yang terbukti kurang layak secara bisnis dan teknis. Versi baru ini justru meningkatkan tarif dan memperpanjang kontrak sehingga terkesan menguntungkan, padahal sebenarnya membebani keuangan PLN dan APBN serta menimbulkan risiko signifikan bagi lingkungan,” ujar Atha Rasyadi, Urban Campaign Team Leader Greenpeace Indonesia, dikutip dari siaran pers AZWI yang diterima BandungBergerak, Kamis, 23 Oktober 2025.

Perpres yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup ini mendorong percepatan pembangunan fasilitas pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL) melalui pembangkit listrik tentang sampah (PLTSa). Perpres baru ini memperluas sasaran ke seluruh daerah. Sebelumnya perpres serupa Nomor 35 Tahun 2018 hanya fokus percepatan pembangunan PLTSa di 12 lokasi prioritas, salah satunya Jawa Barat.

AZWI menilik persoalan tersembunyi di balik kebijakan ini. Di balik narasi “energi bersih” dan “modernisasi pengelolaan sampah” yang melibatkan PLN dan Danantara, tersembunyi skema subsidi semu yang berpotensi menguras hingga puluhan triliun rupiah selama 30 tahun ke depan. Setiap proyek PSEL berkapasitas 1.000 ton sampah per hari dikhawatirkan membebani PLN hingga 600 miliar rupiah per tahun yang berpotensi menciptakan risiko jebakan fiskal melalui kontrak panjang.

Perpres ini disusun tanpa analisis kelayakan komprehensif yang membandingkan PSEL dengan skenario pengelolaan sampah alternative (zero waste management), baik dari sisi pendanaan maupun kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan operasional pengelolaan sampah. Anggaran besar untuk proyek PSEL justru dinilai akan mengurangi kemampuan daerah mengelola sampah harian.

Jika PSEL dijalankan dengan menerapkan standar emisi dan keselamatan yang benar, biaya pengolahan per ton akan menjadi sangat mahal, jauh melampaui kemampuan fiskal daerah yang rata-rata di bawah 500 ribu rupiah per ton. Studi terbaru Universitas Wiralodra di Indramayu menunjukkan biaya ideal pengelolaan sampah mencapai 265.000–308.000 rupiah per ton, dan bisa melonjak hingga 1 juta rupiah per ton untuk pengolahan intensif. Kesenjangan ini menandakan eksternalisasi biaya besar-besaran. AZWI mewanti-wanti, ketika kebijakan ini berjalan, beban lingkungan dan sosial akan ditanggung masyarakat, sementara keuntungan dinikmati segelintir pihak.

“PSEL membutuhkan investasi besar dan biaya operasional tinggi, namun untuk insinerator, capex dan opex ditanggung oleh PLN atau disubsidi oleh pemerintah pusat. Meski demikian, sebagian besar pemerintah daerah masih kesulitan membiayai sistem pengumpulan 1 sampah konvensional. Skema ini tetap berisiko mengunci anggaran publik dalam jangka panjang,” kata Dwi Sawung, Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang WALHI Eksekutif Nasional.

Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati menyampaikan, dari aspek teknis, mayoritas kota di Indonesia tidak memiliki timbulan sampah yang cukup untuk memenuhi kapasitas insinerator sebesar 1.000 ton per hari. Mayoritas timbulan sampah di Indonesia, lebih dari 60 persen adalah sampah organik dengan kelembapan tinggi dan bernilai kalor rendah yang tidak layak bakar.

Yuyun menyebutkan, pengawasan emisi dari sumber tidak bergerak, insinerator skala kecil misalnya, masih sangat longgar dan nyaris simbolik. Peraturan Menteri KLH hanya mensyaratkan pengawasan dan uji emisi dioksin-furan lima tahun sekali. Sistem pemantauan emisi dioksin, furan, dan logam berat ini jauh sekali jika dibandingkan dengan standar yang diterapkan di banyak negara-negara Eropa.

“Aturan ini akan sangat membahayakan publik karena dioksin dan furan bisa keluar kapan saja ketika suhu tungku turun atau bahan bakar tidak stabil. Tanpa pemantauan real-time dan akses data publik, PSEL berubah menjadi pabrik racun baru, bukan solusi pengelolaan sampah,” tegas Yuyun Ismawati.

Baca Juga: Memproses Sampah dengan Insinerator di Kota Bandung, Bukan Solusi tapi Polusi
Pembakaran dengan Insinerator Bukan Solusi, Bandung Raya Butuh Pemilahan Sampah yang Ramah Lingkungan

Pembakaran sampah tradsisional maupun dengan teknologi insinerator berpotensi menghasilkan dioksin. (Sumber: Publikasi Seri Teknologi Termal oleh Nexus3 Foundation)
Pembakaran sampah tradsisional maupun dengan teknologi insinerator berpotensi menghasilkan dioksin. (Sumber: Publikasi Seri Teknologi Termal oleh Nexus3 Foundation)

Zero Waste dari Sumber Masih Solusi Utama

Direktur Yayasan Gita Pertiwi, Titik Susanti menyampaikan, secara sosial, proyek-proyek PLTSa di Indonesia menunjukkan pola kegagalan yang berulang. Di PLTSa Putri Cempo di Solo, misalnya yang mengalami hambatan investasi, konflik sosial, dan masalah teknis. Sejak awal pembangunannya, PLTSa Putri Cempo mengabaikan suara dan peran sektor informal, tanpa melibatkan mereka dalam rencana pengelolaan sampah.

“Para pemulung yang selama puluhan tahun menjadi garda terdepan seperti memilah dan mendaur ulang sampah kehilangan mata pencahariannya karena seluruh sampah dialihkan ke fasilitas pembakaraan padahal material-material tersebut seharusnya tidak perlu dibakar. Ini bukti nyata bahwa proyek semacam ini bukan hanya gagal secara teknis, tapi juga menyingkirkan keadilan sosial dan ekonomi lokal,” kata Titik.

Pemerintah Jawa Barat sebenarnya juga sudah membangun fasilitas PLTSa di TPA Legok Nangka, Nagreg, Kabupaten Bandung. Hingga kini, prosesnya masih menunggu investor. TPA ini pun diprediksi baru akan beroperasi pada 2028 mendatang. Kebutuhan Bandung Raya terhadap TPA Sarimukti mutlak adanya, sementara kuota pengiriman sampah terus diturunkan.

Fictor Ferdinand, Direktur Operasional YPBB menyampaikan, solusi dari krisis sampah bukan dengan pembakaran, melainkan perubahan sistemik dari hulu ke hilir. Kebijakan perlu dikuatkan untuk pengurangan sampah dari sumber, pembatasan produk sekali pakai bahkan sejak produksi, dan perluasan sistem pemilahan agar masyarakat dapat berperan aktif. Sekitar 60 persen sampah Indonesia yang bersifat organik dapat dikelola tanpa pembakaran melalui kompos, maggotisasi, atau biogas komunitas.

“Model pengelolaan sampah yang dikembangkan anggota Aliansi Zero Waste Indonesia dapat memperlihatkan bentuk pengelolaan sampah lain yang lebih memberikan manfaat untuk masyarakat. Selain pemulung, juga ada para petani kota, peternak, dan komunitas maggot. Mereka-mereka ini sebenarnya yang saat ini melakukan ‘penghabisan’ sampah, namun kenyataannya selama ini tidak mendapat pengakuan dan dukungan yang cukup dari pemerintah” ujar Fictor Ferdinand.

Fictor menegaskan, model zero waste cities (ZWC) yang ada di Bandung, Denpasar, dan Gresik sebenarnya telah membuktikan, pendekatan berbasis masyarakat jauh lebih inklusif dan berkelanjutan dibanding teknologi PSEL yang boros dan berisiko tinggi. Solusi cepat dan tepat adalah percepatan pemilahan sampah serta penerapan Permen LHK 75/2019 mengenai peta jalan pengurangan sampah oleh produsen.

Direktur Ecoton, Daru Setyorini menekankan, pemerintah seharusnya membuat regulasi yang tegas untuk mewajibkan semua orang memilah sampah, serta menyediakan infrastruktur pengumpulan dan pengangkutan sampah terpilah. Ia menegaskan, ini adalah cara jitu untuk mengatasi krisis sampah.

“Pemilahan sampah di sumber adalah syarat utama untuk memudahkan pengolahan sampah di kawasan. Ketika sistem pengelolaan justru mendorong pembakaran, bukan pemilahan, maka kita sedang menyalakan polusi di udara dan menyebarkan racun dioksin dan mikroplastik ke semua media lingkungan dan rantai makanan manusia,” tegas Daru.

AZWI mendesak pemerintah untuk melakukan kajian komprehensif dan berbasis data guna membandingkan berbagai alternatif pengelolaan sampah, termasuk pemilahan dan pengomposan agar kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada efektivitas, keadilan, dan keberlanjutan.

AZWI mendesak pemerintah untuk mencabut Perpres Nomor 109 Tahun 2025 dan mendesak pengalihan subsidi dan investasi public ke solusi berbasis sumber, seperti pemilahan, pengomposan, maggotisasi, biogas komunitas, dan daur ulang, guna ulang yang terbukti lebih efektif dan berkeadilan sosial.

Revolusi Hijau Lewat Perpres 109/2025

Kementerian Lingkungan Hidup telah melakukan sosialisasi percepatan transformasi sistem pengelolaan sampah nasional, selaras dengan Perpres 109/2025. Sosialisasi itu diikuti oleh seluruh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) provinsi serta kabupaten/kota se-Indonesia. Dalam kegiatan itu, KLH memaparkan isi dan mekanisme perpres 109/2025, serta peran pemerintah daerah dalam mendukung implementasi kebijakan baru ini.

“Kami berharap sosialisasi ini dapat memberikan pemahaman yang komprehensif kepada seluruh Pemerintah Daerah sehingga implementasi peraturan ini berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan permasalahan pengelolaan sampah di daerah melalui pengolahan sampah menjadi energi terbarukan berbasis teknologi ramah lingkungan,” ujar Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropiyono, dikutip dari laman resmi KLH.

Sekretaris Kementerian Lingkungan Hidup, Rosa Vivien menyampaikan, pemerintah daerah harus mempersiapkan lahan minimal lima hektar dan menjamin pasokan sampah minimal 1.000 ton perhari. Selain itu, kepala daerah juga harus menyampaikan Surat Pernyataan Kesiapan kepada Menteri Lingkungan Hidup untuk diverifikasi dan dievaluasi besama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian ESDM.

Kementerian Lingkungan Hidup memandang kebijakan waste to energy ini sebagai tonggak penting dalam upaya Indonesia menuju sistem pengelolaan sampah berkelanjutan. Dengan menerapan teknologi ini, sampah akan berkurang signifikan, dan hasil energinya akan berkontribusi terhadap bauran energi bersih nasional.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//